Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPUTUSAN Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menunjuk Ganjar Pranowo sebagai kandidat presiden 2024-2029 memunculkan pertanyaan penting: apakah ia akan membebek partai pendukung termasuk jika harus berseberangan dengan kewarasan dan kehendak publik?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ganjar adalah kandidat terkuat calon presiden di PDIP. Namanya konsisten berada di posisi tiga besar berbagai survei elektabilitas, bersama Prabowo Subianto yang diusung Partai Gerindra dan Anies Baswedan, calon dari koalisi Partai NasDem, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sempat tertunda, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri baru mengumumkan pencalonan Ganjar pada 21 April lalu, sehari menjelang Idul Fitri. Dia dipercaya telah lolos ujian, yakni ikut menolak kehadiran tim nasional sepak bola Israel di Piala Dunia U-20—yang mengakibatkan badan sepak bola dunia, FIFA, membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah perhelatan akbar itu. Megawati menilai loyalitas Ganjar teruji meski elektabilitasnya turun 8,1 poin menjadi 19,8 persen dalam survei Indikator Politik Indonesia pada Maret 2023.
Megawati menyebut Ganjar sebagai “petugas partai”, predikat serupa yang dia berikan kepada Presiden Joko Widodo. Dalam posisi tersebut—ditambah utang budi kepada Jokowi yang berjasa mendorong pencalonannya—Ganjar diperkirakan tidak akan menawarkan hal baru. Setelah Megawati mendeklarasikannya sebagai calon presiden PDIP, dia menegaskan akan meneruskan semua langkah Jokowi.
Di sini urgensi kita mempertanyakan manfaat pencalonan Ganjar bagi orang banyak. Legasi Jokowi terutama adalah politik kartel yang menelurkan banyak keputusan dan peraturan yang merugikan masyarakat. Meneruskan langkah Jokowi berarti melanggengkan politik dagang sapi dan program-program yang hanya menguntungkan penguasa dan kroninya.
Meneruskan kebijakan Jokowi juga berarti melanjutkan proyek ambisius seperti Ibu Kota Negara yang menyedot biaya publik hampir Rp 500 triliun, terhentinya upaya penegakan hak asasi manusia, hingga melemahnya komitmen pemberantasan korupsi.
Lewat Reformasi 1998, masyarakat berharap keruntuhan Orde Baru membawa banyak perubahan. Nyatanya, sumber daya dan kekayaan berlimpah tetap dikuasai sekelompok kecil oligark. Pada 2022 majalah Forbes mencatat jumlah harta 50 orang terkaya di Indonesia mencapai US$ 180 miliar atau setara dengan Rp 2.527 triliun—sekitar 13 persen dari produk domestik bruto Indonesia.
Kita membutuhkan calon presiden yang berkomitmen membawa negara ini keluar dari jebakan oligarki partai politik. Ketakberdayaan Ganjar Pranowo membuat Gubernur Jawa Tengah ini menjadi kartu aman bagi para elite dan oligark.
Rekam jejak Ganjar memperlihatkan dia memiliki kecenderungan mengutamakan pemodal dan meminggirkan masyarakat. Dalam kasus penolakan masyarakat Pegunungan Kendeng terhadap pabrik semen yang merusak karst di lingkungan mereka, dia berpihak kepada pengusaha. Dia juga tidak pernah mengecam tindakan represif aparat terhadap warga di Wadas, Purworejo, perihal rencana pemerintah menambang batu andesit dan mendepak warga dari tanah mereka.
Masalahnya, calon lain sampai saat ini tidak tampak lebih baik. Belum terdengar Anies Baswedan atau Prabowo Subianto menawarkan sesuatu yang baru sebagai kandidat presiden mendatang. Malah keduanya menyatakan juga akan meneruskan program-program Jokowi.
Baca liputannya:
- Operasi Senyap dari Batutulis
- Nasib Koalisi Partai Setelah Ganjar Pranowo Jadi Calon Presiden
- Manuver Prabowo Subianto Mencari Calon Wakil Presiden
Boleh jadi mereka ingin mengambil hati Jokowi, presiden dengan tingkat kepuasan publik relatif baik—sesuatu yang membuatnya diperhitungkan meski sebentar lagi mengakhiri masa jabatan. Dugaan lain, para calon presiden, termasuk Ganjar Pranowo, tergiur oleh sumber daya yang dimiliki pemerintah, faktor penting yang bisa menjamin kemenangan mereka dalam pemilihan umum tahun depan.
Dalam belenggu politik kartel yang sedemikian kuat, kita membutuhkan calon presiden yang berani melawan arus partai untuk berpihak kepada masyarakat dan membawa perbaikan. Tanpa itu, negara akan terjerumus kian jauh ke dalam kubangan oligarki—sesuatu yang meneguhkan ketidakadilan, keserakahan, dan penguasaan sumber daya oleh segelintir orang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo