Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kepentingan politik di balik pengalihan operator Blok Rokan.
PLN dipaksa melakukan akuisisi yang merugikan.
Kinerja Pertamina dan PLN berpotensi terganggu.
SUNGGUH ironis nasib Blok Rokan. Ladang minyak raksasa di Riau yang pernah menjadi penyumbang terbesar produksi minyak di Indonesia itu kini berganti menjadi pencetak beban keuangan negara. Kisah Rokan adalah cerminan tentang betapa besar kerugian Indonesia jika perhitungan bisnis yang cermat dan transparan terus diabaikan oleh pemerintah dalam mengelola sumber daya ekonomi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beban baru di Blok Rokan sudah harus dipikul oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Selasa, 6 Juli lalu, PLN meneken perjanjian akuisisi PT Mandau Cipta Tenaga Nusantara (MCTN). Anak usaha Chevron Standard Limited itu dibeli lengkap dengan aset pembangkit North Duri Cogeneration berkapasitas 3 x 100 megawatt milik MCTN, yang selama ini memasok setrum dan gas untuk sumur-sumur produksi di Blok Rokan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PLN masih merahasiakan detail nilai transaksi tersebut. Sebelumnya, negosiasi sempat tersendat lantaran harga yang ditetapkan Chevron dalam pelaksanaan lelang dianggap terlalu mahal, sekitar US$ 300 juta atau setara dengan Rp 4,35 triliun. Yang jelas, selain mengakuisisi pembangkit, PLN harus menyiapkan dana investasi tambahan untuk membangun jaringan transmisi baru dalam tiga tahun ke depan. Pembangkit North Duri Cogeneration sudah uzur sehingga produksi Blok Rokan kelak mesti ditopang oleh sistem kelistrikan Sumatera.
Aksi korporasi PLN itu sungguh tak layak dibanggakan, lebih pantas disebut pemborosan. Akuisisi terpaksa dilakoni PLN untuk memastikan transisi penuh pengelolaan Blok Rokan dari tangan PT Chevron Pacific Indonesia ke PT Pertamina (Persero), yang berlaku efektif 8 Agustus nanti, berjalan lancar. PLN menjadi boros karena harus mengeluarkan dana investasi yang sebetulnya tak perlu ada jika saja pemerintah tak salah urus mengelola Rokan.
Ketika menolak permohonan perpanjangan kontrak Chevron dan menunjuk Pertamina sebagai operator baru Blok Rokan, pada Juli 2018, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengklaim keputusan tersebut murni berdasarkan kalkulasi bisnis. Klaim ini dilontarkan guna membantah tudingan nasionalisasi aset Blok Rokan sarat dengan kepentingan politik praktis menjelang pemilihan presiden 2019.
Apa yang terjadi kemudian justru menguatkan tudingan tersebut. Dalam kampanye pemilihan presiden 2019, Joko Widodo berulang kali "menjual" isu pengambilalihan Rokan sebagai wujud kedaulatan negara di sektor energi. Jokowi sesumbar bahwa pengalihan operator Blok Rokan kepada Pertamina, juga sebelumnya terhadap Blok Mahakam di Kalimantan Timur, akan menggenjot produksi minyak dalam negeri. Dengan begitu, Indonesia bisa segera keluar dari ketergantungan minyak impor.
Jargon-jargon kampanye itu, kita tahu, tak pernah terbukti hingga kini. Masalah kepastian pasokan listrik Blok Rokan, yang akhirnya memaksa PLN ikut merogoh kocek untuk membeli pembangkit milik Chevron tersebut, hanya satu di antara sederet bukti bahwa nasionalisme sempit dalam pengelolaan ekonomi negara hanya akan membuahkan kerugian berlapis bagi Indonesia.
Sejak keputusan itu dibuat, produksi minyak Blok Rokan justru anjlok, sekarang rata-rata hanya 165 ribu barel per hari dari semula 210 ribu barel per hari pada 2018. Sebagai calon operator baru, Pertamina kini harus menyiapkan modal jumbo untuk menahan laju penurunan produksi sekencang itu. Biayanya akan sangat mahal karena Blok Rokan adalah ladang minyak tua yang memerlukan teknologi tingkat lanjut agar tetap bisa berproduksi.
Salah kalkulasi di Blok Rokan itu juga berpotensi mengurangi kemampuan Pertamina dan PLN untuk menggenjot pengembangan energi baru dan terbarukan, energi masa depan yang semestinya diprioritaskan. Inilah kerugian terbesar yang sedang menunggu Indonesia akibat salah kaprah kapitalisme negara.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo