Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENCAPAIAN Partai Komunis Cina dalam seratus tahun terakhir pasti bikin iri hati banyak partai politik di negara lain. Dominasi yang nyaris mutlak dalam segala aspek kehidupan di sebuah negara dengan populasi 1,4 miliar orang jelas bukan hasil perjuangan politik yang hanya mengandalkan keberuntungan. Partai komunis terbesar di dunia itu unggul bukan hanya berkat konsep dan kalkulasi yang matang, tapi juga eksekusi rencana yang disiplin, bahkan brutal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak berdiri pada 1 Juli 1921, Partai Komunis Cina tentu mengalami masa pasang-surutnya sendiri. Tapi, yang jelas, partai yang sejak 2013 dikomandani Xi Jinping itu sekarang telah berhasil mengubah Tiongkok menjadi raksasa ekonomi, pertahanan, sains, dan kebudayaan dunia. Mimpi Mao Zedong seratus tahun lampau telah terwujud.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak mengambil alih pemerintahan dari kaum nasionalis yang mundur ke Taiwan pada 1949, Partai Komunis Cina berhasil membawa Tiongkok ke era kemakmuran. Produk domestik bruto (GDP) Cina pada 2020 hanya kalah oleh Amerika Serikat. Namun kontribusi produk manufaktur Cina, menurut data statistik Perserikatan Bangsa-Bangsa, sudah mengungguli Negeri Abang Sam.
Seiring dengan kemajuan ekonominya, pengaruh internasional Negeri Tirai Bambu juga menguat. Dengan program Belt and Road Initiative, yang disokong pembiayaan jumbo US$ 50-100 miliar per tahun, Cina menebar pesona dan fulus ke banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Banyak proyek infrastruktur, energi, dan perdagangan di Nusantara yang dibiayai lewat program jalur sutra modern itu.
Tak mengherankan jika sebagian politikus di Indonesia, diam-diam atau terang-terangan, berharap bisa meniru resep sukses Partai Komunis Cina. Sistem politik dan ekonomi Tiongkok dinilai berhasil membawa negara itu terbang tinggi, melampaui negara-negara Barat.
Pemikiran semacam itu jelas keliru. Sejarah pergerakan politik dan nilai-nilai yang berlaku di Indonesia amat berbeda dengan Cina. Mereka yang ingin menjiplak sentralisme politik dan model kapitalisme negara (state capitalism) ala Cina harus bersikap realistis. Keberhasilan Cina adalah inspirasi, tapi jalan mereka menuju kesejahteraan bukan petunjuk yang tepat untuk Indonesia.
Bayangkan kerusakan yang timbul jika model kapitalisme Cina diterjemahkan sebagai karpet merah untuk badan usaha milik negara menguasai segala sendi perekonomian Indonesia. Ekonomi menjadi tak efisien karena semua sektor, dari hulu sampai hilir, dimonopoli perusahaan negara.
Belum lagi jika pengendalian ketat yang diterapkan Cina pada perusahaan swastanya berlaku di Indonesia. Apa yang belakangan ini menimpa dua raksasa teknologi Cina, perusahaan teknologi finansial Ant Group dan perusahaan transportasi digital Didi, pasti meresahkan investor dan inovator di seluruh dunia.
Sentralisme kekuasaan politik yang diterapkan di Cina juga bukan pola yang tepat untuk kita. Apa yang dilakukan pemerintah Cina terhadap etnis Uighur di Xinjiang, misalnya, jelas tak bisa dilakukan di Papua. Penggunaan kamp konsentrasi untuk menundukkan aktivis gerakan separatis pasti mengundang perlawanan publik.
Selain itu, langkah Partai Komunis Cina memberangus hak sipil dan kebebasan berekspresi di Hong Kong bertentangan dengan konstitusi kita. Pembatasan ruang publik untuk mengkritik kebijakan pemerintah pasti ditolak beramai-ramai karena tak sesuai dengan tradisi demokrasi di sini.
Kita memang perlu menuntut ilmu sampai negeri Cina. Tapi pengalaman seabad Partai Komunis di sana mengajari kita untuk tidak meniru semua yang mereka lakukan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo