Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Gerakan solidaritas memberikan harapan di tengah ledakan angka penularan Covid-19.
Pandemi tidak bisa dilawan hanya dengan solidaritas dan, karena itu, negara harus hadir.
SOLIDARITAS tak pernah mati dan justru akan selalu menghidupkan. Kesetiakawanan itu pula yang kini memberi harapan, di tengah karut-marutnya pemerintah mengatasi pandemi Covid-19. Kekeliruan antisipasi serangan virus varian baru membuat fasilitas kesehatan terancam ambruk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Inisiatif kelompok-kelompok masyarakat selalu muncul di tengah berbagai bencana. Tahun lalu, setelah Covid-19 “resmi” masuk Indonesia dan diikuti pembatasan pergerakan masyarakat, solidaritas ditujukan untuk menolong mereka yang kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebagian lain membantu menyediakan alat pelindung diri, seperti masker, sanitizer, dan pakaian hazmat. Kini, setelah gelombang kedua pagebluk yang lebih mematikan, inisiatif berfokus pada upaya memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lonjakan tajam jumlah penderita Covid-19 sejak Juni telah membuat limbung fasilitas kesehatan. Jangankan memperoleh layanan unit perawatan intensif, untuk mendapatkan perawatan di kamar biasa di rumah sakit pun sulit bukan main. Banyak rumah sakit membangun tenda di halaman untuk menampung pasien yang terus berdatangan. Hingga pertengahan pekan lalu, jumlah kasus baru Covid-19 mendekati 40 ribu orang per hari, tertinggi kedua di dunia setelah Brasil.
Koalisi Lapor Covid-19 mencatat, sejak Juni, sebanyak 265 orang meninggal lantaran tidak memperoleh fasilitas perawatan memadai. Di Rumah Sakit Dr Sardjito, Yogyakarta, akhir dua pekan lalu, 63 orang dilaporkan meninggal dalam dua hari, sebagian besar akibat rumah sakit itu kehabisan oksigen. Dalam kondisi ini, gerakan solidaritas di tengah masyarakat sering kali menjadi tumpuan.
Inisiatif itu muncul di mana-mana. Sebagai contoh, di Jakarta, Gerakan Sejuta Test Antigen untuk Indonesia bergerak dengan meminjamkan tabung oksigen bagi yang membutuhkan. Warga Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi cuma perlu mendaftar untuk memanfaatkannya. Tabung boleh dipakai secara gratis selama 7 hari atau selama dibutuhkan. Ada juga kelompok masyarakat yang menggalang solidaritas untuk penyediaan obat dan vitamin, donor plasma konvalesen, hingga fasilitas isolasi mandiri.
Semangat saling menolong dan bergotong-royong yang masih kuat ini perlu dihargai. Tapi, mesti diingat, inisiatif masyarakat sukarela ini memiliki banyak keterbatasan. Tak semua gerakan bisa bertahan dalam jangka panjang dan, karena itu, solidaritas sosial bukan solusi mengatasi pandemi. Gerakan peminjaman tabung oksigen hingga akhir pekan lalu baru bisa menyediakan sekitar 130 tabung, jauh di bawah permintaan yang mencapai ribuan.
Inisiatif masyarakat juga bisa menjadi penanda bahwa ada kekurangan dalam penanganan wabah. Karena itu, pemerintah perlu segera melakukan banyak hal, seperti menambah fasilitas perawatan pasien, memperkuat dukungan untuk tenaga medis, memudahkan akses masyarakat kepada layanan kesehatan dan vaksinasi, serta memastikan pembatasan sosial dilakukan.
Solidaritas masyarakat bisa diibaratkan sebagai ventilator, yang menopang harapan ketika negara belum bisa menjangkau banyak orang. Inisiatif ini bisa diperkuat dengan rasa kesetiakawanan yang sama di kalangan elite. Pejabat-pejabat pemerintah—juga para politikus—semestinya memberi contoh baik. Mereka perlu menyingkirkan persaingan politik jangka pendek, lalu bersama-sama mengatasi kondisi yang tidak mudah. Sayangnya, kesadaran seperti itu belum muncul di tengah tragedi kemanusiaan ini. Mereka terus mempertahankan kepentingan elektoral. Alih-alih memperkuat solidaritas, mereka terus mengobarkan polaritas di masyarakat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo