Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rancangan perubahan atas UU Pajak mengundang protes dari kalangan pengusaha. Menurut Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, RUU itu tidak mengakomodasi kepentingan pengusaha karena di dalamnya terdapat banyak ketimpangan dalam soal hubungan antara aparat pajak dan wajib pajak. Aparat pajak juga dianggap memiliki kewenangan terlalu luas.
Kewenangan yang terlalu luas itu antara lain dalam pemeriksaan, proses pengajuan keberatan, peradilan, penyegelan, dan pemblokiran rekening wajib pajak yang dinilai melanggar ketentuan perpajakan. Sanksi bagi pengusaha yang melanggar juga terlalu berat, yakni berupa denda dan kurungan. Sebaliknya, kalau aparat pajak yang melanggar, sanksinya hanya administratif.
Karena itu, dalam penilaian Kadin, reformasi perpajakan yang bertujuan menarik investasi justru malah menjadi penghambat. Apalagi, berdasarkan survei Bank Dunia, sistem dan pelayanan perpajakan Indonesia masih buruk. Dari sisi jumlah jenis pajak yang harus dibayar, Indonesia menempati posisi nomor dua terburuk di Asia. Sedangkan dari sisi waktu pengurusan, Indonesia di peringkat ketiga terburuk.
Keberatan pengusaha tersebut bisa diterima sepanjang berkaitan dengan fungsi dan kewenangan Direktorat Jenderal Pajak yang terlalu luas. Direktorat Pajak yang merumuskan dan menetapkan aturan pajak, melaksanakannya, sekaligus menjadi polisi pengawas. Dengan posisi seperti itu, kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan memang sangat besar.
Belum lagi citra Direktorat Jenderal Pajak selama ini juga tidak terlalu bagus. Bukan hanya sekali kita dengar adanya praktek pemerasan dan korupsi di lingkungan ini. Jika kewenangannya ditambah, tak sulit membayangkan penyalahgunaan kekuasaan mungkin akan meningkat.
Karena itu, harus dicari suatu mekanisme kontrol yang tepat agar kemungkinan terjadinya penyalahgunaan oleh aparat pajak bisa dikurangi seminimal mungkin. Mungkin di sinilah peran DPR untuk menciptakan mekanisme pengawasan yang adil bagi semua pihak.
Tujuan reformasi perpajakan untuk meningkatkan pendapatan negara dan keberatan pengusaha atas RUU Pajak tak harus bertentangan. Soalnya peningkatan posisi tawar pejabat pemerintah terhadap wajib pajak, seperti diatur dalam RUU Pajak, bukan jaminan pendapatan pemerintah akan meningkat, malah bukan tak mungkin yang terjadi justru sebaliknya.
Tingkat pajak Indonesia yang lebih tinggi dibandingkan negara lain, misalnya, ternyata tak mampu membuat pendapatan pajak negeri ini lebih hebat. Terbukti rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto baru sekitar 13,4 persen, lebih rendah dari Malaysia atau Thailand.
Itu sebabnya yang perlu ditingkatkan adalah kepatuhan pembayar pajak, tapi menambah wewenang petugas pajak tanpa pertanggungjawaban yang meningkat bukanlah cara yang tepat untuk menggapai tujuan mulia ini. Sebab, wewenang tanpa kendali ini justru berpotensi digunakan oknum petugas pajak untuk menekan wajib pajak agar membayar di bawah meja. Ini godaan yang menguntungkan dua pihak karena uang yang dibayar lebih rendah dan kantong sang oknum tambah tebal, tapi yang rugi pundi negara.
Inilah yang perlu dikoreksi oleh pemerintah melalui reformasi RUU Pajak. Wajib pajak, terutama perorangan, diperluas. Lapisan tarif pajak disederhanakan dan—yang paling penting—mekanisme pelaksanaannya dibuat setransparan mungkin, antara lain dengan pemantauan yang serius terhadap kepatuhan petugas pajak melaporkan kekayaannya. Diharapkan, dengan itu semua, pendapatan pajak akan meningkat dan bisa digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo