Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEHARUSNYA yang mesti dikedepankan oleh para wakil rakyat dalam masa sulit ini adalah solidaritas dan empati. Tuntutan kenaikan tunjangan oleh DPR dan DPRD Jakarta menunjukkan betapa mereka yang mengaku mewakili kepentingan rakyat itu ternyata tidak memiliki dua sikap tadi. Bahkan, dengan DPR minta kenaikan tunjangan Rp 10 juta dan DPRD Jakarta minta kenaikan 50 persen, satu ketidakadilan sesungguhnya sedang terjadi.
Akibat kenaikan harga eceran minyak, rakyat luas terpaksa sangat-sangat mengencangkan ikat pinggang—untuk ukuran pinggang yang sebenarnya sudah kurus. Pengorbanan rakyat begitu besar. Banyak orang beralih dari memakai minyak tanah ke briket batu bara. Yang tadinya naik taksi beralih ke angkutan lain yang lebih murah. Para sopir taksi pendapatannya anjlok tinggal separuh. Ada yang tadinya makan tiga kali, sekarang cukup dua kali saja. Maka, sangat tak adil rasanya jika para wakil rakyat dengan pendapatan dibawa pulang sebulan di atas Rp 25 juta—bahkan lebih tinggi untuk DPRD Jakarta—masih juga ingin dinaikkan tunjangannya.
Dengan tuntutan ini, seolah-olah para wakil rakyat menempatkan diri di dalam sebuah pulau terasing, tanpa penduduk lain, jauh dari rakyat yang diwakilinya. Dalam kondisi ”normal”, nilai tunjangan yang dituntut barangkali relatif—bisa terasa besar, bisa juga sebaliknya. Tapi lihat saja kenyataan di sekitar kita: jutaan orang miskin hanya memperoleh ”tunjangan” seperseratus dari Rp 10 juta itu akibat kenaikan harga minyak.
Sementara pendapatan wakil rakyat, setelah dipotong untuk keperluan ini dan itu, masih cukup longgar menghadapi harga-harga baru yang lebih tinggi. Untuk keperluan operasional pun semestinya tak ada masalah. Biaya telepon di rumah dinas dan listrik sudah ditanggung negara. Dibandingkan dengan pendapatan di sektor swasta, pada posisi yang setara, tanpa kenaikan tunjangan pun pendapatan anggota DPR boleh dibilang masih tergolong tinggi.
Memang, tak ada satu pun aturan hukum yang dilanggar dalam kasus tunjangan ini. Soalnya cuma miskinnya solidaritas itu. Jika beberapa wakil rakyat berani berteriak lantang menentang kenaikan harga minyak—sebelum DPR akhirnya menyetujui kenaikan itu—seharusnya sekarang ada yang berani menolak usulan kenaikan tunjangan ini.
Yang baru terdengar sekarang adalah tempik-sorak untuk mengegolkan kenaikan tunjangan itu. Padahal, sangat terpuji jika beberapa gelintir saja dari ratusan wakil rakyat itu menyatakan tak mau menerima kenaikan tunjangan. Betapapun dia akan kalah suara dengan mayoritas, dari luar kita cukup puas untuk tahu bahwa di antara wakil rakyat masih ada yang mau merasakan penderitaan rakyatnya.
Sulit dimengerti anggota Dewan di Jakarta, misalnya, ikut-ikutan menuntut kenaikan tunjangan. Padahal mereka tahu beban lain masyarakat Jakarta: penyakit flu burung dan demam berdarah.
Diketahui, anggota Dewan di Jakarta yang terbanyak datang dari Partai Keadilan Sejahtera, partai yang selama ini dianggap mendahulukan kepentingan rakyat kecil. Seperti ketika Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, mantan pimpinan PKS, menolak fasilitas mobil dinas mewah, partai ini akan disebut konsisten jika anggota Dewannya menolak kenaikan tunjangan ini. Selain sakit hati rakyat miskin bisa dihindarkan, akan segera gugur pula kecurigaan bahwa urusan tunjangan ini sebenarnya wujud ”ongkos politik” dukungan terhadap keputusan pemerintah.
Tunjangan seharusnya tidak dijadikan soal politik, Bung. Ini soal membangun solidaritas, rasa senasib, dan empati pada derita yang tak berpunya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo