Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Peci dan Demokrasi

Ingatan akan tokoh mungkin ditentukan oleh benda yang dikenakan di kepala.

25 Januari 2019 | 07.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bandung Mawardi
Kuncen Bilik Literasi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ingatan akan tokoh mungkin ditentukan oleh benda yang dikenakan di kepala. Benda itu dinamai peci, kopiah, topi, atau surban. Sekian tokoh setia memilih tutup kepala sebagai penjelasan identitas, ideologi, dan religiositas. Di Indonesia, sejarah benda di atas kepala itu sudah berlangsung sejak ratusan tahun silam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengenaan tutup kepala terdokumentasi di relief candi dan kitab sastra. Keinginan mengetahui tutup kepala di masa silam bisa dibaca dalam buku Menelusuri Figur Bertopi dalam Relief Candi Zaman Majapahit: Pandangan Baru terhadap Fungsi Religius Candi-candi Periode Jawa Timur Abad ke-14 dan ke-15 (2014) garapan Lydia Kieven. Semula, ia beranggapan topi cuma persoalan mode busana. Penelitian ke Candi Jago, Candi Surowono, Candi Penataran, Candi Selotumpuk, Candi Gajah Mungkur, Candi Yudha, Candi Penampilan, dan Candi Selokelir mengubah anggapan itu. Kieven mulai terpikat narasi dalam relief figur bertopi. Figur itu penting untuk menguak sejarah, mengantar kita menelusuri selebrasi imajinasi mengacu ke cerita Panji. Topi tak cuma urusan busana, tapi juga menjelaskan status sosial, identitas, religiositas, pekerjaan, situasi batin, politik, dan asmara.

Hal itu bersambung ke awal abad XX. Kita mengingat kaum muda bingung memilih tutup kepala dalam mengungkapkan tanah asal, modernitas, dan nasionalisme. Abdul Rivai, Tjipto Mangoenkoesoemo, Mas Marco Kartodikromo, Semaoen, Sukarno, dan kaum elite terpelajar mulai mempertimbangkan jenis tutup kepala dan dampaknya. Kita membedakan mereka dari kebiasaan mengenakan blangkon, peci, dan topi. Pemberi makna besar atas tutup kepala adalah Sukarno, sejak ia muda dan menempuhi jalan politik pada 1920-1930-an. Ia memilih peci. Tutup kepala itu dipropagandakan sebagai makna revolusioner dan kepribadian Indonesia.

Sukarno mengakui peci itu sebagai simbol populisme. Dalihnya memilih peci saat adalah: "Aku memutuskan untuk mempertalikan diriku dengan sengaja kepada rakjat djelata." Peci menjadi komunikasi dalam gerakan nasionalisme (Cindy Adams, 1966). Seruan Sukarno: "Kita memerlukan suatu lambang daripada kepribadian Indonesia. Petji jang memberikan sifat khas perorangan ini, seperti jang dipakai oleh pekerdja-pekerdja dari bangsa Melaju, adalah asli kepunjaan kita…. Ajolah saudara-saudara, mari kita angkat kita punja kepala tinggi-tinggi dan memakai petji ini sebagai lambang Indonesia merdeka!" Sejak itu ada sejenis pengesahan politik-kultural, peci melambangkan nasionalisme dan identitas kebangsaan Indonesia.

Buku Soekarno: Arsitek Bangsa (2012) susunan Bob Hering memuat 125 foto Sukarno berpeci. Kita melihat Sukarno memang sering berpeci dalam berbagai kesempatan, sejak masih mahasiswa di Bandung pada 1926 hingga membaca teks proklamasi pada 1945.

Peci tak melulu berkaitan dengan politik atau revolusi. Pada tahun-tahun setelah merdeka, Indonesia ingin "terhibur" dari kecamuk dan derita berkepanjangan akibat perang. Di Yogyakarta dan Solo, hiburan itu adalah dagelan. Pada masa revolusi, ada lelaki asal Yogyakarta malah mengajak orang-orang tertawa, jeda dari pekik dan tangisan. Ia bernama Basiyo. Peran pelawak itu diceritakan Karkono Partokoesoemo dalam Kagoenan Djawi terbitan Kolff-Buning, Yogyakarta. Pengisahan dilengkapi foto Basiyo saat masih muda. Lihat, pelawak itu berpeci! Ia tampak ganteng dan rapi meski memiliki pikiran-pikiran yang sering menimbulkan gempa tawa di Jawa selama 1930-an sampai 1970-an. Penampilan itu membuktikan bahwa peci sudah menjadi keutamaan bagi manusia Indonesia, dari pelawak sampai penguasa.

Kegandrungan mengenakan peci terus berkembang. Lakon demokrasi di Indonesia kini malah sudah khas dengan peci. Para presiden, menteri, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan pejabat sering berpeci di acara-acara resmi. Foto formal mereka pun berpeci.

Kampanye Sukarno tampaknya berhasil, tapi makna peci gampang dimanfaatkan di pelbagai kasus politik atau hukum. Pada masa setelah keruntuhan rezim Orde Baru, pengungkapkan kasus-kasus korupsi mengantar ratusan orang masuk ke pengadilan. Mereka sering memilih mengenakan peci. Pemandangan itu membuat publik marah dan kecewa. Publik membandingkan kebiasaan para koruptor: sebelum dan setelah di sidang. Mereka mendadak mengenakan peci dalam sidang-sidang berlagak saleh, bertobat, atau santun. Para koruptor berpeci itu memicu tawa dan marah.

Nanti, empat tokoh akan berpeci di lembaran surat suara resmi produksi Komisi Pemilihan Umum untuk dicoblos pada 17 April 2019. Peci tetap bercerita tentang demokrasi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus