Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pelajaran dari Krisis Venezuela

Venezuela kini terancam kosong ditinggalkan penduduknya yang mengungsi demi menyelamatkan diri dan membangun masa depan baru.

15 Oktober 2018 | 07.30 WIB

Harga ayam di Venezuela [Carlos Garcia Rawlins / Reuters]
Perbesar
Harga ayam di Venezuela [Carlos Garcia Rawlins / Reuters]

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poltak Partogi Nainggolan
Profesor riset ekonomipolitik di Pusat Penelitian DPR

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Venezuela kini terancam kosong ditinggalkan penduduknya yang meng­ungsi demi me­­­nye­­la­­mat­­­kan diri dan mem­­ba­ngun masa depan baru. La­­­­poran PBB menyebutkan, dari 32,4 juta penduduk ne­­geri itu, 2,3 juta lebih atau 7 persen telah mengungsi aki­bat krisis ekonomi dan po­litik di negeri yang dulu di­kenal ka­­ya dan sering me­­­me­­nangi kontes ratu ke­­cantikan sejagat itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Venezuela di bawah Pre­­siden Hugo Chavez telah m­e­la­­­ku­­­kan ke­­­salahan besar de­­ngan meng­­gantungkan 95 persen pendapatan na­­sionalnya pada ekspor mi­nyak bumi. Negeri itu me­­ngalami kemerosotan eko­­nomi drastis setelah jatuh­­nya harga minyak pada 2014.

Kondisi ini diperburuk lagi oleh kebijakan peme­­rintah sosialis Chavez yang me­matok harga kebutuhan po­kok, dari tepung, minyak go­reng, sampai keperluan man­di, demi meringankan be­ban penduduk miskin. Kebi­­jakan populis ini men­­­­­jadi bumerang karen­a mengakibatkan kebang­­krutan banyak pabrik dan pe­­rusahaan.

Mata uang bolivar tidak lagi berharga setelah US$ 1 setara dengan 248 ribu bo­­livar. Kejatuhannya telah me­micu inflasi yang dapat me­nyentuh sejuta persen pa­da akhir 2018. Harga 1 kg daging setara dengan 9,5 jut­a bolivar dan sebungkus ti­su toilet harus dibayar 2,6 ju­ta bolivar.

Prak­tik sosialisme yang keliru di Venezuela telah menguras devi­­­sa negara ka­­rena meng­­­abaikan pe­­nge­lolaan eko­­­nomi yang sehat dengan me­­nerbitkan ma­­ta uang baru dan men­ce­­taknya terus. Se­­men­ta­ra itu, belanja be­­sar un­tuk proyekpro­­yek in­­fras­truk­­tur telah mem­per­­be­sar de­­­fisit transaksi ber­­jalan. Ini berjalan terus sam­pai Chavez mangkat dan di­gantikan oleh Nicolas Ma­­duro lewat pemilihan umum yang kontroversial de­­mi mempertahankan ke­­­bijakan sosialis yang po­­pu­lis ini. Lalu, muncul de­­mon­strasi mahasiswa dan gelombang protes massa. Ko­­rupsi dan salah urus me­­lengkapi aksi represif apa­­rat sehingga timbullah keka­­cauan.

Seperti konflik vertikal dan horizontal di Medi­­terania yang telah menye­­bab­kan gagalnya musim se­mi demokrasi (Arab Spring), di Venezuela kon­­flik dan krisis mengancam eksistensi rezim sosialis pas­caChavez dengan im­­plikasi sama, yakni migrasi se­­cara masif

Seperti halnya Chavez, rezim Maduro menuding kaum ­­oposisi dan “kekuatan impe­­­rialis”, terutama Ame­­rika Serikat dan Kolom­­bia, berada di balik keka­­cauan ini. Apakah sosia­­lisme telah menjadi sum­­b­er atau penyebab krisis? Para pe­­­mikir dan pe­­mimpin so­­­sialis dapat ber­­­keberatan atas argumen ini. Namun penjelasan yang ob­­yektif akan mengungkap ke­­li­­runya kebijakan dan ja­­lan sosialisme yang telah di­­­tempuh Chavez dan di­­teruskan Maduro yang men­­­jadi sumber krisis di Ame­­rika Latin. Kekeliruan ini menjadi penyebab gagal­­nya sosialisme dewasa ini sebagaimana hancurnya sosia­­lisme di masa lalu, de­­ngan kelaparan massal di Ci­na pada era Mao Zedong pa­da dasawarsa 1960. Na­­mun, berbeda dengan di Vene­­zuela, penduduk Cina ha­­nya mampu melarikan di­ri ke wilayah daratan Ci­­n­a lain yang amat luas itu.

Jika krisis domestik be­lum teratasi, akan ba­­nyak warga Venezuela yang berbondongbondong me­­nuju perbatasan. Dalam se­­bulan terakhir, Kolombia, Ekua­dor, dan Peru telah mene­­rima ratusan ribu pe­­ngungsi Venezuela yang ke­­kurangan makanan. Pa­­da awal September 2018, lebih dari 2.500 orang telah me­lintasi kota kecil di per­­batasan Peru dan ribuan orang lainnya menyusul.

Pemerintah Brasil telah me­ngirim pasukan ke per­­batasan untuk menjaga sta­­bilitas keamanan dari kedatangan masif pe­­ng­­ungsi Venezuela. Sebab, war­­ga lokal Brasil telah me­­ny­erang pengungsi Ve­­ne­­zuela sehingga 1.200 pe­­ngungsi segera kem­­bali ke negaranya. Sedang­­kan pengungsi Vene­­­zuela me­­ngaku telah meng­­alami per­lakuan rasis, peng­­hinaan, kebencian, xeno­­­phobia, ser­­­ta persekusi eko­­nomi dan perbudakan.

Ketiga negara tetangga Venezuela telah meminta Pre­­siden Maduro segera mem­­­­fasilitasi pembuatan pas­­por bagi warganya yang me­­ngungsi demi menjaga ke­­­amanan regional. Negara ma­­ju, seperti Amerika, pun mem­­perketat pintupintu per­­­­batasan mereka dari eks­­odus imigran Amerika Latin dengan kebijakan Trump yang melanggar hak asasi ma­nusia, yang me­­­­misahkan anakanak dari orang tua mereka.

Bersama Amerika Serikat, Organisasi Negaranegara Amerika (OAS) mengancam akan melakukan intervensi militer ke Venezuela de­­­mi memulihkan demo­­­kra­­si, meredakan krisis ke­­­ma­­nusiaan, dan menjaga stabilitas kawas­­an. Kri­­sis Ve­­nezuela telah mem­­­buk­­ti­­kan bahwa ekonomi dan politik ti­­dak dapat di­­­pi­­­sah­kan dan negara sulit meng­­hin­­dari situasi global.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus