Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Jalan Mundur Penambangan Pasir Laut

Pembukaan kembali izin penambangan pasir dan ekspor pasir laut akan mengancam kehidupan nelayan serta kelestarian ekosistem.

31 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah kembali mengizinkan penambangan hasil sedimentasi laut.

  • Hasil sedimentasi laut pada dasarnya tetaplah pasir, di mana pun letaknya.

  • Penambangan pasir terbukti tidak menyejahterakan masyarakat dan merusak lingkungan.

Muhamad Karim
Dosen Universitas Trilogi Jakarta serta Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah 20 tahun dihentikan, pemerintah Indonesia kembali mengizinkan penambangan pasir laut di perairan Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut. Nama peraturan ini pun agak aneh karena pasir laut, baik di dasar laut, beting pasir, pesisir pantai, maupun pantai pasir pulau-pulau kecil, dikategorikan sebagai hasil sedimentasi laut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hal tersebut berbeda dengan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2002 yang mendefinisikan pasir laut sebagai bahan galian pasir yang terletak pada wilayah perairan Indonesia yang tidak mengandung unsur mineral golongan A dan/atau golongan B dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan. Definisi peraturan pemerintah tadi sejatinya adalah pasir laut. Frasa "hasil sedimentasi laut" pada peraturan pemerintah itu hanya mengaburkan maknanya. Mungkin ada sebagian merupakan hasil proses sedimentasi, seperti gosong pasir, tapi tidak semua pasir laut merupakan hasil proses sedimentasi.

Terbitnya peraturan pemerintah ini bertujuan untuk menggenjot penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Masalahnya, mengapa harus pasir laut? Bukankah bisnis pasir telah dilarang sejak 2002? Pada 2017, larangan penambangan pasir laut dikukuhkan dalam Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Meskipun demikian, ada saja penambangan ilegal yang tetap beroperasi. Misalnya, yang terjadi di perairan Spermonde, Sulawesi Selatan, pada 2020. Nelayan Pulau Kodingareng di sana bersama gerakan masyarakat sipil menolak keras penambangan pasir laut. Mereka sampai nekat menghadang kapal penambangnya, Queen of the Netherlands, milik PT Royal Boskalis.

Bisnis pasir laut memang menggiurkan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2002) mencatat nilai ekspor pasir laut Provinsi Riau ke Singapura hingga 2002 mencapai Sin$ 27,3 miliar lebih atau sekitar Rp 153 triliun. Penilaian ini hanya dari penambangan legal, yang sebesar 3-8 persen saja dari seluruh penambangan (Supriharyono, 2004). Berarti, 92-97 persen penambangan waktu itu bersifat ilegal alias tanpa izin. Nilai ekspor ilegalnya bisa mencapai Rp 5.102 triliun. Siapa yang menikmati dan meraup keuntungan sebesar itu? Pastilah kaum oligark yang berkonspirasi dengan elite penguasa dan politikus bermental pedagang alias pemburu rente.

Niat pemerintah membuka kembali penambangan pasir laut ini tak luput dari Undang-Undang Cipta Kerja serta Undang-Undang Mineral dan Batu Bara. Semua regulasi ini mengukuhkan pandangan bahwa pemerintah telah merampas ruang dan sumber daya perairan laut kita (ocean grabbing). Yang perlu diwaspadai adalah jangan sampai kebijakan baru ini berkelindan dengan kepentingan politik dan perburuan rente menjelang Pemilihan Umum 2024.

Dampak Penambangan

Penambangan pasir laut berdampak negatif secara sosial-ekonomi dan ekologi. Temuan Filho et al (2021) menyebutkan bahwa penambangan pasir ilegal di darat, laut, dan sungai merugikan secara sosial-ekonomi dan ekologi. Tapi mengapa penambangan masih marak di seluruh dunia? Filho et al (2021) menyebutkan beberapa alasan, antara lain motivasi untuk meraup keuntungan finansial (rente ekonomi) besar dan cepat; tingginya permintaan pasir global buat kebutuhan infrastruktur dan reklamasi; lemahnya sistem pemantauan dan pengendalian di suatu negara; serta longgarnya kebijakan dan prosedurnya sehingga memudahkan individu/pengusaha mendapatkan hak/konsesi penambangan dan eksplorasi pasir.

Alasan berikutnya adalah pengusaha bebas memantau produksinya sehingga mengusir masyarakat dari area tambang, lemahnya pemantauan terhadap volume ekstraksi pasir, serta pembayaran pajak dan royaltinya hanya berdasarkan penambangan volume pasir. Cara terakhir ini merupakan trik pengusaha untuk menghindari pajak dan royalti.

Alasan lain adalah masalah kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, ditambah minimnya pengetahuan dan informasi mengenai dampak negatif penambangan pasir. Alasan terakhir adalah lemahnya pemenuhan spesifikasi teknis proses ekstraksi pasir. Semua alasan ini telah memicu maraknya penambangan pasir ilegal di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Ada sejumlah dampak atas tingginya intensitas penambangan pasir laut di seluruh dunia (Filho et al, 2021). Pertama, kerusakan ekologi/ekosistem sehingga siklus hidup biota perairan terganggu. Hal ini mengakibatkan rusaknya habitat ikan sehingga populasi ikan merosot, menghambat migrasi ikan, spesies ikan endemik terancam hilang, mengganggu reproduksi ikan dalam struktur rantai makanan, mengurangi oksigen perairan akibat tingginya tingkat kekeruhan, menghilangkan organisme bentik, merusak ekosistem terumbu karang, serta memperparah erosi pantai, ketika jumlah sedimen berkurang sehingga mengubah ketinggian dan durasi pasang-surut. Bahkan penambangan di Kepulauan Riau menghilangkan pulau-pulau kecil. Semua kejadian ini sudah berlangsung di perairan Indonesia akibat penambangan pasir laut, khususnya di Kepulauan Riau. Hingga 2009, penambangan pasir laut di Kepulauan Riau telah melenyapkan 26 pulau kecil.

Kedua, hilangnya pajak maupun royalti akibat penambangan ilegal. Meskipun negara memperoleh pendapatan lewat PNBP dan royalti, pendapatan itu tak sebanding dengan ongkos pemulihan kerusakan ekologinya yang memicu decoupling sumber daya alam.

Ketiga, aktivitas penambangan pasir laut ilegal ternyata mempekerjakan pula buruh ilegal, khususnya di wilayah pesisir, pulau kecil, dan muara sungai. Fenomena ini memicu perbudakan dan pelanggaran hak asasi manusia.

Keempat, merebaknya konflik akibat perebutan ruang serta sumber daya antara nelayan dan perusahaan tambang. Nelayan yang menggantungkan hidupnya dari sektor perikanan dirampas ruang hidupnya akibat penambangan pasir laut. Penambangan pasir laut di Kepulauan Riau dua dekade silam telah menggerus pendapatan nelayan lebih dari 56 persen (Karim, 2004).

Kelima, merugikan pariwisata bahari akibat tingginya kekeruhan air laut, rusaknya ekosistem terumbu karang sebagai spot penyelaman, dan mengancam daerah tujuan wisata pantai berpasir putih di pulau kecil. Apakah pemerintah mau melenyapkan semua daerah tujuan wisata pulau kecil?

Keenam, menghilangkan sumber penghidupan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir/masyarakat adat, padahal mereka dilindungi Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. Bukankah melegalkan kembali penambangan pasir laut justru melanggar undang-undang ini?

Pendek kata, aktivitas penambangan pasir laut jauh panggang dari api. Ia tidak akan menyejahterakan masyarakat pesisir dan menjamin keberlanjutan ekosistem laut.

Degrowth Pasir Laut

Melegalkan kembali penambangan pasir laut bukanlah kebijakan bernas untuk menyejahterakan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir serta menjamin keberlanjutan sumber daya dan ekosistem laut. Sebaliknya, kebijakan ini justru kian memiskinkan mereka dan memicu dampak ekologis yang dahsyat.

Pemerintah sebaiknya mencabut peraturan tersebut dan menerapkan kebijakan berorientasi degrowth bagi eksplorasi pasir laut di seluruh perairan Indonesia. Jika membiarkan orientasi kebijakan semata pada pertumbuhan (growth), pasir laut akan terus ditambang tanpa henti untuk mengakumulasi kapital dengan mengabaikan keadilan sosial-ekonomi dan ekologi bagi nelayan serta masyarakat pesisir. Inti dari degrowth pasir laut adalah menghentikan eksploitasi (produksi) dan ekspor (konsumsi) sehingga metabolisme alam serta sumber daya kelautan (ikan dan ekosistemnya) terjamin keberlanjutannya.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak, foto profil, dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Muhamad Karim

Muhamad Karim

Dosen Universitas Trilogi Jakarta dan peneliti Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus