Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wilson Sitorus
Praktisi televisi, bekerja di O Channel; [email protected]; tulisan ini merupakan pendapat pribadi
MARI sejenak melupakan hiruk-pikuk dunia politik, dan kembali ke dunia ”normal”: sinetron.
Pernahkah Anda melihat seorang wanita cantik, smart looking, kulit putih sehat terawat, menggunakan eye shadow dan lipstik, tapi mencuci baju di pinggir kali? Jika belum, simaklah sinetron Damarwulan di Indosiar. Anda juga harus menonton sinetron Sekar di RCTI jika ingin menyaksikan seorang perempuan ayu, lembut, wajahnya penuh cahaya, bijaksana, hatinya seluas samudra, well informed, blackberry woman, pintar, tapi melulu menanggung siksa dan tak mampu mengambil kontrol atas hidupnya.
Itu hanya sebagian kecil contoh invasi patriarki di televisi. Tidak sampai setengah jam Anda luangkan waktu menonton sinetron, sudah bisa disimpulkan, hanya di Indonesia sinetron tentang perempuan tidak betul-betul berbicara tentang perempuan. Kaum Hawa itu tidak pernah otonom, dan melulu ditempatkan sebagai bagian dari masalah. Sinetron tentang perempuan sesungguhnya bercerita tentang dominasi laki-laki.
Invasi patriarki melalui sinetron jauh lebih mencemaskan dibanding kekerasan fisik atau psikis terhadap perempuan. Sebab, invasi ini membawa serta agenda perempuan sebagai subordinasi. Walaupun misalnya dia seorang direktris yang menguasai hidup ribuan karyawan, dia haruslah juga seorang istri yang wajib menyediakan handuk ketika suaminya hendak mandi. Tanpa itu, dia hanyalah seorang direktris, bukan istri.
Menurut Neil Postman (Amusing Ourselves to Death, NYU, 1985), televisi terbukti sangkil dan mangkus menghadirkan figur khayalan yang stereotipikal. Ahli media ini curiga televisi suka memelihara stereotipe yang berkembang di masyarakat. Televisi, menurut dia, merupakan dunia kapitalis laki-laki yang tak ramah kepada masyarakat lain di luar itu.
Pendapat serupa dikemukakan Thomas Elsaesser dalam tesisnya, Cinema Futures: Cain, Abel or Cable: the Screen Arts in the Digital Age (1998). Menurut dia, televisi berpotensi menggiring masyarakat menjadi komunitas yang visual dan figural. Televisi, alih-alih mencerdaskan dan mencerahkan masyarakat, justru menghadirkan dunia tiruan, baik secara literal, metaforis, maupun superfisial. Pada gilirannya, masyarakat pemirsa akan tumbuh dalam dunia rekaan yang stereotipikal.
Stereotipikal perempuan dalam sinetron nyata-nyata mencemaskan karena dua hal. Pertama, berdasarkan data dari AGB Nielsen, penikmat terbesar sinetron adalah perempuan dari kelompok tingkat ekonomi dan sosial D-E. Profil mereka adalah berpendidikan maksimal SMP, pengeluaran sebulan tidak lebih dari satu juta rupiah, dan tidak memiliki barang mewah seperti penyejuk udara atau kulkas. Nah, mereka menghabiskan sedikitnya delapan jam sehari untuk menonton televisi, dan menonton sedikitnya dua judul sinetron setiap hari.
Kelompok pemirsa D-E adalah kelompok pemirsa yang jumlahnya paling banyak, yaitu sekitar 51 persen dari total penonton. Dari 51 persen tersebut, lebih dari setengahnya adalah ibu-ibu dan remaja putri. Mereka inilah yang oleh Postman dan Elsaesser disebut sebagai masyarakat yang paling rentan dicemari televisi karena tidak mendapat perlindungan baik dari regulator.
Kedua, invasi patriarki dalam sinetron tumbuh subur ketika hampir semua stasiun televisi menjadikan sinetron sebagai program unggulan. Selain mampu mengerek rating dan iklan, program sinetron selalu berhasil masuk 10 program rating tertinggi mingguan. Akibatnya, perempuan penikmat sinetron dari kalangan D-E menemukan ”kebenaran” lain atas posisi dan kedudukannya karena begitulah sinetron mengajarkan.
Meskipun belum ada data empiris yang menunjukkan kaitan antara sinetron dan tingkat kekerasan dalam rumah tangga, saatnya Komisi Penyiaran Indonesia mengkritik pemosisian perempuan dalam sinetron. Kriteria penyensoran harus ditambah: bebas invasi patriarki. Tanpa itu, pemirsa kelas D-E akan menyimpulkan perlakuan buruk yang mereka alami di dalam rumah tangga sebagai keniscayaan. Sebab, begitulah sinetron mengajarkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo