LUKISAN hitam putih dan abu-abu karya Daisuke Tamano itu diberi nama ''Sang Pencari Kebenaran''. Sebuah pigura yang sayu: seekor siput merayap di lantai. Di belakangnya, seorang manusia, dengan kepala yang sepenuhnya tertutup kantong, berdiri sendirian dalam kamar itu. Ia memegang sejenis mesin penyedot debu yang ujungnya bercabang tiga. Tak jauh dari kakinya, seekor kura-kura melata ke arah sebaliknya, dinaiki satu tokoh kecil yang mengangkat sebutir bola yang pucat. Di tembok tampak sebuah siluet manusia yang berdiri pada empat-persegi putih: mungkin sebuah ilusi.... Lukisan itu tak menuntut kita untuk merenungkan lambang-lambang. Di hadapannya kita tak mengambil jarak dan kemudian menebak. Ia serta-merta melibatkan kita ke dalam suasana melankoli, sepi tapi juga lucu dan aneh. Meskipun di ruangan itu kita bersama seorang kekasih, untuk beberapa detik kita akan merasa terasing, seperti ''Sang Pencari Kebenaran'' Daisuke Tamano. Dari manakah suasana sayu itu? Menyusup dari apa yang terasa bila kita mendengar musik koto: sesuatu yang khas ''Jepang''? Ataukah ini melankoli seorang pencari kebenaran -- dengan ''K'' -- di zaman ini, ketika dunia begitu beragam isi dan arahnya, tapi pada saat yang sama terasa buntu: sesuatu yang pernah disebut orang sebagai kondisi ''post-modern''? Barangkali kedua-duanya. Barangkali menjelang akhir abad ini -- dimulai dari Jepang, tapi juga bisa dari mana saja -- manusia harus hidup dengan tradisi lama yang tetap menyentuh di bawah sadar, dan sekaligus dengan sesuatu yang dulu tak ada dalam zaman musik koto yang tua: dunia yang centang-perenang dengan beragam mesin dan makhluk, dunia yang dihuni 1001 ketakutan dan kepongahan, dunia yang ramai oleh sekelimun kontradiksi yang tak terduga. Singkatnya: sebuah dunia yang tak mudah dijelaskan sekali pukul. Dalam lukisan Daisuke Tamano, Sang Pencari Kebenaran berdiri agak bungkuk dengan kepala yang sepenuhnya tertutup sebuah kantong. Mengetahui (adalah) tidak mengetahui. Jean-Francois Lyotard, pemikir Perancis yang selama satu dasawarsa terakhir hampir diperlakukan seperti nabi ''post-modernis'', merumuskan apa yang disebutnya sebagai ''keadaan jiwa'' seperti itu sebagai ''ketidakyakinan terhadap metanaratif''. Bagi Lyotard, kurang-lebih, apa saja yang dinyatakan sebagai fondasi pengetahuan manusia, apa saja yang dikemukakan, dalam bentuk yang permanen, sebagai seperangkat asas yang sakti bagi pengetahuan, adalah sebuah metanaratif. Dan metanaratif mengandung sikap pongah. Pada mulanya, kata sebagian ahli sejarah, adalah Eropa pertengahan abad ke-17. Orang hidup tanpa adanya kemufakatan dalam agama, etika, politik, dan bahkan ilmu fisika. Dari kancah kekacauan masa itu, orang pun mencari suatu titik pangkal yang universal, yang berlaku kapan saja dan di mana saja, bagi pemikiran dan tindakan manusia. Lalu, bersama Descartes, dijunjunglah ''rasionalitas'' ke atas takhta. Orang ingin mendapatkan jalan memperoleh kepastian, menghindari semangat dan keyakinan yang gonjang-ganjing. Dengan ''rasionalitas'' manusia diasumsikan bisa menggunakan pikirannya secara murni, tak diwarnai adat, tempat, sejarah, ataupun kepentingan: manusia yang hadir dari dekontekstualisasi. Cogito ergo sum. Syahdan, dengan ''Aku berpikir maka aku ada'' itulah konon bermula modernitas manusia. Di dalamnya ada semangat untuk memulai pandangan tentang dunia dari nol (tanpa sejarah, tanpa kerumitan budaya ataupun keragaman biologis) dan melangkah secara sistematis sampai ke kepastian. Dalam semangat itu, kepastian itu bukan mustahil dan bisa untuk segala soal. Lihatlah geometri, seru Descartes. 300 tahun lamanya semangat modern itu berkecamuk. Dari dalamnya muncul pelbagai usaha menyusun metanaratif. Yang terakhir, yang terpenting, ialah yang ditawarkan Marx, yang tak sepenuhnya gagal, tetapi tak sepenuhnya bisa menjelaskan dunia dan mengubahnya. Lalu apa yang tinggal? Habiskah agenda semangat modern dan kita meninggalkan rasio dan rasionalitas, dan cuma punya melankoli Sang Pencari Kebenaran? Ada teman yang berbisik, bahwa kita bisa memasang agama sebagai metanaratif baru, sebagai pendukung baru kepastian yang dicari-cari itu. Tapi roh agama yang sejati bagi saya tidak ingin jadi bentuk lain geometri, yang membawa manusia ke posisi ''mengetahui'', dan dalam arti tertentu ''menguasai''. Roh agama yang sejati ialah seperti Muhammad SAW di gua Hira: kesadaran akan keterbatasan, akan kedaifan, yang mencari. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini