HURIA Kristen Batak Protestan mungkin Gereja yang punya banyak sejarah konflik. Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) adalah Gereja Batak yang memisahkan diri dari HKBP akibat konflik di pucuk pimpinan HKBP. Waktu itu, kelompok marga Hutagalung, Hutabarat, dan Lumban Tobing, yang dikenal dengan orang Silindung, menganggap HKBP didominasi oleh marga tertentu yang berasal dari Kampung Toba, Humbang, dan Samosir. Dan pemecahan lewat jalan diplomasi rupanya tak membawa hasil, sehingga pada tahun 1962 kubu Silindung mengajukan petisi untuk pembaruan pengurus pusat HKBP. Konflik makin tajam ketika pengurus pusat HKBP, lewat Sinode Godang I tahun 1963, memecat 22 orang pendeta dari kubu Silindung. Selebaran-selebaran pro dan kontra segera bertebaran yang diikuti berbagai demonstrasi. Dan kompromi makin jauh ketika T.D. Pardede (mendiang), sebagai ketua yayasan Universitas HKBP Nommensen, mendepak Dr. Andar Lumban Tobing, salah satu pemimpin kubu Silindung, dari jabatan rektor Universitas HKBP Nommensen. Berkobarlah sakit hati di kalangan intelektual Kristen yang tak rela diatur oleh donatur dari kalangan awam. Puncaknya adalah pengucilan tokoh kubu Silindung, Dr. Sutan M. Hutagalung, dari keanggotaan HKBP. Dan pada saat yang hampir bersamaan, Gubernur Sumatera Utara, Kolonel Ulung Sitepu -- dengan alasan untuk membatasi konflik -- mengumumkan larangan berpolemik tentang HKBP secara lisan maupun tulisan di luar Panitia Kerja Khusus HKBP yang dibentuk lewat Sinode Agung Juli 1964. Maka, tak ada lagi pilihan buat kubu oposisi Silindung. Mereka segera mengundurkan diri beramai-ramai dari HKBP. Dan pada tanggal 30 Agustus 1964, Andar Lumban Tobing dan Sutan Hutagalung resmi mendirikan GKPI yang berhasil mengajak 13.000 jemaat dan 26 pendeta hijrah dari HKBP dan menguasai 42 bangunan gereja milik HKBP. Kini GKPI cukup berkembang di Sumatera Utara dan di wilayah Indonesia lainnya. GKPI, yang masuk jadi anggota DGI, Dewan Gereja Indonesia (kini PGI, Persekutuan Gereja Indonesia), tahun 1976, telah menghimpun sekitar 500.000 jemaat, 760 gereja, dan 700 pendeta. Namun, sampai tahun 1987, konflik antara HKBP dan GKPI masih muncul akibat sengketa perebutan bangunan gereja. Soalnya, di daerah-daerah pedalaman banyak jemaat yang pindah ke GKPI ternyata masih menggunakan bangunan gereja milik HKBP. Masalah antara HKBP dan GKPI sebenarnya hanya terbatas pada pemisahan organisasi. Bahkan GKPI, walaupun memakai istilah bishop untuk ephorus, punya struktur organisasi yang sama dengan HKBP dan menempatkan sinode agung, yang berlangsung lima tahun sekali, sebagai forum tertinggi. Kedua Gereja tersebut juga menggunakan bahasa daerah Batak Toba, di samping bahasa Indonesia, dalam upacara kebaktian. Sedangkan ajaran teologis keduanya tidak berbeda. Hanya saja, berbeda dengan HKBP, sejauh ini GKPI, yang berpusat di Pematangsiantar, tak pernah dilanda kemelut yang mengundang pihak luar gereja. ''Perbedaan pendapat tentu ada, tapi masih dalam batas normal yang bisa diselesaikan dengan baik,'' kata Profesor Apul Panggabean, bekas rektor IKIP Medan yang aktif sebagai panitua (pembantu pendeta) GKPI. Banyak yang berpendapat bahwa perpecahan Gereja Batak berakar dari tradisi penyebaran agama Kristen di tanah Batak yang tak pernah lepas dari adaptasi budaya. Sewaktu awal penyebaran, itu jelas bukan jadi soal. Baru seabad kemudian, campur aduknya agama dan tradisi itu jadi soal besar yang memukul balik HKBP. ''Sepertinya orang Batak gampang berubah menjadi Kristen, tapi pada dasarnya mencabut akar kebudayaan lama itu tidak gampang,'' kata Pendeta Praeses B.T.P. Purba, yang memimpin gereja HKBP se-Jawa-Kalimantan. Maka, ujar Purba lagi, yang berkembang adalah gereja Kristen dengan warna primordialisme Batak yang kuat. Gereja PKB (Punguan Kristen Batak), misalnya, pada tahun 1927 memisahkan diri dari HKBP dengan tujuan ingin mempertahankan kebudayaan Batak. Para pemimpin PKB melihat HKBP sebagai gereja yang didirikan oleh orang asing yang dianggap ingin mengikis habis adat Batak. PKB, yang berkantor pusat di Jakarta, tak banyak berkembang dan baru diterima sebagai anggota DGI pada tahun 1971. Gereja lain yang menentang kepemimpinan orang asing di HKBP adalah Huria Christen Batak (HChB). Gereja ini maju dengan gagasan menghidupkan kembali kebudayaan Batak dan partisipasi orang pribumi dalam kepemimpinan gereja. Tahun 1927, tokoh HchB, Sultan Malu Panggabean, secara resmi menulis surat pada Ephorus HKBP, Johannes Warneck, bahwa mereka tak lagi punya ikatan dengan Zending Jerman dan sekaligus keluar dari HKBP. Namun belakangan HChB juga dilanda konflik pimpinan, antara Sutan Malu Panggabean dan A. Hutabarat. Dalam sinode luar biasa HChB untuk memilih ketua umum, tahun 1935 di Pematangsiantar, yang di- awasi oleh asisten wedana dan seorang komisaris polisi, terpilihlah Sutan Malu Panggabean. Namun permusuhan tak bisa dihindarkan lagi sehingga HChB terpecah menjadi Gereja Kristen Batak (GKB) dan Huria Kristen Indonesia (HKI), yang masing-masing mengaku sebagai penerus HChB. Ada juga gereja-gereja yang lahir dari HKBP tanpa konflik -- yang ini mungkin lebih tepat disebut perpanjangan tangan HKBP. Misalnya, Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA) untuk sub-suku Angkola di wilayah Selatan Provinsi Sumatera Utara yang berbatasan dengan Sumatera Barat. Pemisahan GKPA ini mendapat dorongan dari pimpinan HKBP yang yakin bahwa penyebaran agama Kristen di Tanah Batak butuh adaptasi budaya. Dan memang budaya maupun bahasa masyarakat Angkola berbeda dari budaya dan bahasa Batak Toba yang mendominasi HKBP. Maka, tak seperti terhadap GKPI, HKBP justru meminjamkan bangunan gereja bagi masyarakat Angkola sebelum melepasnya sebagai gereja yang mandiri pada 1975. Sesuai dengan wilayah penyebarannya, GKPA memilih kantor pusat di Padangsidempuan, ibu kota Tapanuli Selatan. Dan kini, GKPA yang hanya memiliki sekitar 20.000 jemaat dan 21 resor ini telah menerjemahkan kitab Injil dan kidung rohani ke dalam bahasa Angkola. Soal kemelut? ''GKPA itu kecil, masalahnya juga tidak banyak,'' kata Purba Siregar, panitua GKPA Pejompongan, Jakarta. Begitu juga dengan Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) dan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP), yang resmi memisahkan diri dengan restu HKBP. Awalnya HKBP masih mempertahankan gereja- gereja sub-suku Batak dengan tetap menggunakan nama HKBP-S (Simalungun) maupun HKBP-K (Karo). Alasannya, pimpinan HKBP membolehkan gereja yang bernaung di bawah HKBP menggunakan bahasa daerah setempat. Tapi rupanya para tokoh Simalungun dan Karo ingin juga ada warna budaya mereka dalam penginjilan untuk meraih masyarakat yang berdiam di pelosok Barat Pegunungan Bukitbarisan. Kini kedua gereja itu sudah berkembang sampai ke Jawa, daerah tujuan para perantau asal Simalungun dan Karo. Mereka juga sudah memiliki sekolah teologi sendiri dan kitab Injil serta kidung rohani dalam bahasa daerah setempat. Namun, dalam sejarah perkembangan GKPS, yang memisahkan diri dari HKBP di tahun 1959, pernah tercatat tragedi terbunuhnya tiga orang pendeta di daerah pedalaman Sibuntuoan, akibat konflik sosial dengan masyarakat setempat. Selain itu, tak pernah lagi terdengar soal-soal besar di GKPS maupun GBKP. Tapi, sempalan HKBP dengan konflik maupun tidak, jauh dari perbedaan penafsiran teologisnya. Baik ajaran teologis maupun struktur organisasinya, hampir semua gereja sempalan itu melihat HKBP sebagai modelnya -- lengkap dengan semangat primordial yang berkembang di HKBP. Misalnya, sampai kini, walaupun tak ada aturan yang tegas, hampir semua jemaat gereja Batak adalah orang dari sub-suku masing-masing. Kalaupun ada jemaat gereja yang bukan berasal dari suku Batak, mereka adalah orang yang kawin dengan suku Batak. Apa boleh buat, semangat kesukuan memang masih mewarnai penginjilan Kristen di Tanah Batak. Ada juga kelompok orang Batak yang menentang tradisi Batak dalam ajaran Kristen. Kelompok yang menggunakan nama Panakkasi, yang artinya mempertegas, berkembang tahun 1946 dengan tujuan memurnikan kembali ajaran Kristen. ''Terlalu banyak ajaran Kris- ten yang bercampur dengan adat,'' kata L. Samosir, sesepuh kelompok Panakkasi. Contohnya, kata Samosir, dalam upacara kematian orang Batak ternyata pesta adat lebih menonjol daripada kebaktian Kristen. Samosir juga menganggap bangunan-bangunan tugu megah di kuburan orang Batak tidak mencerminkan ajaran Kristen. Belakangan kelompok Panakkasi berkembang terlalu jauh. Mereka menentang pengumpulan derma oleh gereja dan melarang jemaatnya mengikuti pemilu. Pada tahun 1972, Kejaksaan Agung melarang kelompok yang sempat memiliki sekitar 3.000 jemaat di wilayah Kabupaten Dati II Simalungun ini. Liston P. Siregar (Jakarta), Mukhlizardy Mukhtar, dan Irwan E. Siregar (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini