Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Polemik

Barat adalah materialistis dan timur terbelakang. Kita bukan hanya sekedar mengarahkan mata ke barat, seperti kata S. Takdir Alisjahbana, atau ke timur, tapi bagaimana hidup dengan cukup informasi.

22 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA suatu hari, seorang penulis muda menyatakan pendapatnya: "Sekarang ini tiba waktunya kita mengarahkan mata kita ke Barat." Lalu ia, di tahun 1935 itu, mengobarkan sederet debat. Penulis itu adalah S. Takdir Alisjahbana. Perdebatan yang terjadi berlangsung secara sporadis, sampai di tahun 1939. Satu dasawarsa kemudian Achdiat K. Mihardja menghimpunnya dalam buku Polemik Kebudayaan. Achdiat dengan itu berjasa memberi bentuk kepada percaturan pendapat para cendekiawan terkemuka di tahun 30-an itu. Ia juga memberi kita sebuah dokumen sejarah. 50 tahun kemudian, di antara para peserta polemik itu, kini, hanya S. Takdir Alisjahbana yang masih hidup, dalam usia 78. Tapi Polemik Kebdayaan masih meninggalkan jejak yang mengesankan. Di sanalah terekam serangkai perdebatan yang paling bermutu dalam riwayat pengemukaan ide-ide selama ini -- sebelum kata "polemik" jadi jorok dan isinya merosot jadi chantage politik atau serangan pribadi. Tapi lebih dari itu, Polemik Kebudayaan juga membuktikan bahwa kerisauan kita hari ini ternyata tak banyak bergeming dari kerisauan generasi lain setengah abad yang lampau. Coba saja kini sebutkan kuat-kuat kata "Barat". Saya pastikan 9 dari 10 bintang film, politisi, pejabat ataupun intelektual Indonesia akan terkesiap -- mungkin cepat pasang kuda-kuda. "Barat adalah materialistis," satu orang pasti akan mendesis. "Timur 'kan terkebelakang", seorang lain akan membalas. "Kita harus bisa mengambil mana yang baik dari Timur mana yang baik dari Barat", ujar yang lain. Semuanya seperti pita kaset dari zaman Poedjangga Baroe. Barangkali masa 50 tahun terlalu pendek untuk urusan seperti ini. Barangkali karena kita tetap saja seperti dulu dalam berpikir dan bicara: terjebak dalam kata ("Barat", "Timur") yang tak begitu persis pengertiannya, dan tak mencoba menyeberang dari alam pikiran ke dunia kenyataan. Kita bertolak dari stereotipe. Seakan-akan ruang dan waktu tak bergerak. Pernahkah kita berpikir bahwa mungkin apa yang disebut "Barat" dan apa yang disebut "Timur" sebenarnya tak ada? Di abad ke-18, ada seorang Jepang bernama Sugita Gempaku. Tabib ini pada suatu hari di tahun 1771 melihat dua buku teks anatomi yang berasal dari orang Belanda. Ia tak bisa membacanya, tapi ia tergugah oleh gambar tulang, otot, dan isi perut yang tampak di dalamnya. Gambar seperti itu berbeda dari anatomi yang berasal dari naskah Cina klasik, tapi Sugita menduga, "mereka pasti dilukis dari kehidupan yang nyata". Sugita, tabib miskin itu, ternyata mujur. Ia dapat bantuan untuk membeli karya asing yang langka itu, Tafel Anatomia, yang ditulis seorang dokter Jerman di tahun 1731. Ia juga berhasil mencocokkan gambar anatomi itu dengan mayat manusia yang dibedah dan dipotong-potong di Kotsugahara. Dan di depan tulang, otot, jeroan yang terpampang di depan mata Itulah, Sugita menyadari keunggulan Tafel Anatomia - karya sebuah bangsa yang selama ini disebut "barbar". Donald Keene mengisahkan cerita itu dalam studinya yang menarik tentang sejarah bagaimana orang Jepang menemukan "Barat": The Japanese Discover of Europe, 1720-1830. Tapi apakah sebenarnya yang ditemukan Sugita? Bukan "Barat", bukan pula "Eropa". Yang ia temukan adalah bukti bahwa sebuah ilmu yang berdasarkan "kehidupan yang nyata" adalah ilmu yang bisa diandalkan. Singkatnya, ia berangkat dari empiri. Ia menguji pendapatnya -- dan mungkm purbasangkanya - dengan pengalaman. Ia bereksperimen, meneliti. Ia memberi alas pada ilmunya, secara lebih kuat. Mungkin itulah sebabnya, jalan yang dirintis Sugita ramai ditempuh orang Jepang yang lain. Bangsa Jepang memang tak serta-merta bisa meninggalkan oposisinya terhadap "Barat". Kaum fasis yang membakar Perang Pasifik dua ratus tahun setelah Sugita adalah kaum yang emoh "Barat", terutama demokrasinya. Tapi tak berarti semangat dasar yang dirintis Sugita ikut copot. "Barat", bagi kaum fasis, adalah sebuah stereotipe, gambaran yang terbentuk kukuh di kepala. Tapi "Barat", seperti ditemukan Sugita, adalah sesuatu yang tidak membeku. Mungkin bahkan kata itu tidak lagi relevan. Mungkin sebenarnya tidak ada. Sebab, yang ada adalah suatu yang hadir dalam ruang dan waktu. Yang hadir adalah perubahan, variasi, kesimpulan-kesimpulan yang sementara. Dan siapa yang tak mengikutinya dengan saksama akan seperti orang buta melihat bumi. Di akhir buku The Muslim Discovery of Europe, Bernard Lewis menyebut bahwa di Universitas Cambridge sejak tahun 1633 orang terus-menerus mengikuti bahasa dan peradaban Arab. Sebaliknya, sampai awal abad ke-18, Sejarawan Naima dari Turki masih menulis Eropa seperti ketika masih di zaman Perang Salib. Pada akhirnya memang bukan sekadar "mengarahkan mata kita ke Barat" seperti dikatakan Takdir. Atau ke "Timur". Pada akhirnya ialah bagaimana hidup dengan cukup informasi. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus