Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJELANG Pemilihan Umum 2024, para politikus mendadak menjadi sosok paling ramah se-Indonesia raya. Baliho-baliho di sepanjang jalan menunjukkan strategi politik berbahasa yang dipercaya efektif untuk memenangi hati rakyat. Kekagetan atas keramahan yang tidak disangka-sangka ini saya alami saat melintasi perempatan Jalan Adi Sumarmo, Karanganyar, Jawa Tengah, pada pertengahan Juli 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada sebuah baliho sangat besar berisi sapaan “Selamat datang di Jawa Tengah” dan gambar perempuan berbaju merah dengan logo partai politik terbesar di negeri ini. Seandainya baliho tidak mencantumkan nama perempuan itu, Mbak Pinka Haprani, saya tidak akan tahu siapa mbak-mbak yang sukarela menyapa saya itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Betapa kerasnya para politikus membahasakan diri dengan sapaan kultural-kekeluargaan, seperti mbak, mas, cak, pakde, dan cah ndeso, mereka tidak akan sungguh-sungguh setara dan sama rata dengan rakyat kebanyakan. Mbak-mbak yang sedang menyiapkan diri untuk bertarung di panggung politik kekuasaan itu tidak sama dengan mbak-mbak penjual sayur yang selalu bisa mengerti kebutuhan pangan kita atau mbak-mbak tetangga yang siap mendengarkan persoalan sehari-hari.
Di masa-masa genting untuk merebut hati publik, bahasa sapaan menentukan pembentukan citra orang-orang politik, yakni para “petugas partai” yang berada di luar jangkauan kita—entah gaya hidupnya, selera makan, kekayaan, status sosial, entah lingkar pergaulan. Dengan menyebut diri sebagai “mbak”, misalnya, mereka seolah-olah ingin tampak ramah dan dekat dengan publik. Urusan politik menjadi sangat domestik karena para politikus ingin dianggap sebagai bagian dari keluarga kita.
Ketika berkuasa, Presiden Soeharto menjadikan keluarga sebagai representasi budaya dan politik ideologi pembangunan, seperti dipaparkan Abidin Kusno dalam Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-Suharto (2009). Politik rezim Soeharto menegaskan “bapak” sebagai kuasa kebahasaan ataupun ketokohan. Dari teras negara, “bapak” tersenyum, mendukung, dan mengawasi. Rakyat harus tahu bahwa “bapak” bisa marah jika perintahnya tidak ditaati. Anak-anak sebaiknya bersikap patuh dan tidak melawan “bapak”. Negara adalah keluarga yang tertib dan harmonis dengan pusat otoritas di tangan “bapak”. Di sini, kata bapak lebih menakutkan sekaligus berkuasa dibanding kata presiden, kepala negara, pemimpin, atau bahkan raja.
Belum lama ini Megawati Soekarnoputri juga memainkan politik kebahasaan yang agak mirip. Dalam peresmian Rumah Sakit Terapung Laksamana Malahayati di Jakarta Utara pada Juli 2023, dia mengingatkan para wartawan ihwal pemberitaan tentang dirinya. Megawati tidak mengingatkan mereka dengan tegas dan lugas, tapi mengatakannya seakan-akan nyaris tanpa emosi, meski tetap mengintimidasi, “Jangan nakal lho sama ibu [...] Makanya, jangan nakal deh sama ibu.”
Wartawan ditempatkan sebagai “anak-anak” yang tidak boleh “nakal”. Megawati tidak membahasakan dirinya dengan “aku” atau “saya”, tapi “ibu”, yang terkadang memang perlu ditakuti. Terlepas dari sosok Megawati yang memang sudah ibu-ibu, dia ingin meneguhkan kekuatan ketika menggunakan kata ibu.
Meski reformasi telah berjalan selama 25 tahun, politik sapaan kekeluargaan masih digunakan sebagai strategi kebahasaan para politikus. Strategi itu memang berupaya menciptakan citra calon pemimpin yang baik, merakyat, dan dapat dipercaya. Namun mereka tentunya tidak lantas dipercaya hanya karena membahasakan dirinya sebagai mbak ketua, paman menteri, mas wali, atau cak presiden.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Politik Mbak-mbak"