Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang wanita, dosen di sebuah perguruan tinggi, menghampiri saya. Dia senyum sejenak, lalu berbisik: "Tolong dong diramal nasib saya tahun 2018." Saya membalas senyumnya dan memberi petuah. "Banyaklah menabung. Beri kasih sayang yang cukup untuk anak-anak. Jangan suka keluar malam. Rajinlah bersembahyang." Dia mengangguk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya lupa nasihat apa yang saya berikan kalau saja dia tak mengirimkan WhatsApp malam-malam. "Betul saya agak boros dan sering sakit kalau pulang kemalaman. Ya Tuhan, saya jarang bersembahyang," demikian ia menulis di WA. Langsung saya balas: "Ah itu kan nasihat yang umum." Dia balas lagi: "Saya terlalu sibuk di luar, kurang berkomunikasi dengan anak-anak. Akan saya perbaiki di 2018."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya membatin, bukankah nasihat itu bisa disampaikan oleh siapa saja? Apakah saya sudah menjadi peramal? Di YouTube, ada wanita anggun yang mempermainkan kartu nyaris tanpa senyum. Mama Ella, begitu namanya, nyerocos tentang apa yang akan terjadi di tahun 2018. Ada artis yang meninggal dunia di awal tahun. Ada yang rumah tangganya retak sampai terjadi perceraian. Tapi ada kabar baik, ada pernikahan besar yang menghebohkan.
Ada kekaguman berbaur heran ketika disebutkan ada yang meninggal dunia. Kematian sebagai suatu proses alami pastilah terjadi di tahun 2018, bahkan di sembarang tahun. Dua tahun lalu ada peramal terkenal di Bali yang menyebutkan bahwa akan ada tokoh yang meninggal dunia secara mendadak. Ketika tahun yang diramal itu berjalan, memang ada beberapa tokoh yang meninggal dunia, tapi siapa yang dimaksudkan? Di situlah saya kagum karena peramal bisa meyakinkan beberapa orang bahwa dia memang betul peramal. Yang saya herankan, ternyata peramal itu sendiri juga meninggal dunia. Kenapa tidak itu yang diramalkan?
Kepercayaan orang pada ramalan sudah nyaris menjadi budaya purba. Banyak orang yang begitu yakin ada ramalan Jayabaya. Terutama mengenai pemimpin Indonesia di masa depan dengan mengaitkan nama seseorang yang berakhir dengan aksara no-to-na-go-ro. Yang dimaksudkan nama seperti Sukarno, lalu Suharto. Bukan Habibie atau Abdurrahman Wahid dan karenanya kedua presiden ini tak berlama-lama. Menjelang pemilihan presiden, ramalan ini selalu dihidup-hidupkan. Sebagian orang sulit mempercayai ramalan itu, tapi sebagian yang lain tak rela mengabaikannya. Ramalan Prabu Jayabaya itu konon ditulis dalam Kitab Musasar. Tapi dua pujangga terkenal di zaman itu, Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, tak tahu-menahu ada kitab seperti itu. Apakah "pemalsuan sejarah" sudah ada sejak berabad-abad lalu?
Ada teman bertanya, apakah saya percaya pada ramalan? Saya menjawabnya dengan "bersilat lidah". Saya katakan, kalau kematian, kemujuran, bencana alam, dan apa pun bisa kita ramalkan, lalu di mana kekuasaan Tuhan sebagai Pencipta Alam dan Yang Maha Tahu? Janganlah mencoba-coba mengambil alih job Tuhan.
Astaga, teman saya itu ternyata takut pada ramalan yang menyebutkan tahun 2018 terjadi gempa dahsyat yang menghancurkan bumi ini. Dia sebutkan ini penelitian ilmiah yang sudah dibicarakan dalam pertemuan tahunan Masyarakat Geologi Amerika. Gempa disebabkan oleh pelambatan rotasi bumi dalam hitungan sepersekian detik. Karena disebut "ramalan yang ilmiah", saya katakan: "Percayalah pada Mbah Surono, ahli gunung api yang kita miliki. Jangankan gempa, Gunung Agung yang kawahnya tiap hari dipantau tak bisa dipastikan akan meletus atau tidak. Biarkan itu jadi pekerjaan Tuhan yang sangat rahasia." Semoga teman saya tak lagi takut pada ramalan.
PUTU SETIA