Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJELANG akhir masa jabatan, Dewan Perwakilan Rakyat ngebut merevisi sejumlah undang-undang. Dalam sepekan, DPR menyetujui empat undang-undang dibawa ke sidang paripurna, yang belum ditetapkan jadwalnya. Padahal perubahan-perubahan dalam undang-undang tersebut tak substansial, sarat kepentingan politik, bahkan membahayakan kepentingan umum karena membungkam demokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perubahan Undang-Undang Kepolisian dan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia hanya memperpanjang usia pensiun dari 58 tahun menjadi 60 tahun, bahkan hingga 65 tahun untuk personel yang menduduki jabatan. Perpanjangan ini jelas hanya gula-gula bagi kepolisian dan TNI serta tak bisa menutup kesan balas budi kepada dua institusi yang menjadi instrumen cawe-cawe pemerintah memenangkan Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden pada Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perpanjangan usia pensiun polisi dan TNI juga akan membebani anggaran negara serta memacetkan meritokrasi di dua institusi ini. Jumlah polisi saat ini jauh dari ideal dibanding jumlah penduduk yang masih 1 : 750. Dari penghitungan Polri sendiri, jumlah ideal polisi seharusnya 1 : 350. Begitu juga dengan jumlah personel TNI yang baru 400 ribu atau 76 persen dari jumlah ideal.
Revisi Undang-Undang Kementerian Negara juga sarat kepentingan politik untuk mengakomodasi niat Prabowo menambah jumlah kementerian menjadi 40. Dalam undang-undang yang berlaku sekarang, jumlah kementerian maksimal 34. Prabowo hendak menambah jumlah kementerian untuk mengakomodasi kepentingan anggota koalisi partai yang menyokongnya dalam pemilihan presiden.
Revisi yang membahayakan adalah perubahan keempat UU Mahkamah Konstitusi dan UU Penyiaran. Dalam revisi UU MK, DPR mengusulkan agar lembaga pengusul hakim konstitusi berhak mengevaluasi mereka. Klausul ini merupakan kontrol atas independensi hakim. DPR dan pemerintah akan leluasa menarik hakim yang tak melayani kepentingan politik mereka. Sementara itu, revisi UU Penyiaran akan melarang media melakukan jurnalisme investigasi.
Mengontrol kekuasaan kehakiman dan membungkam media massa adalah ciri pemerintahan otoriter. Dalam Liberalism and Its Discontents (2022), Francis Fukuyama menyebutkan ada empat ancaman demokrasi oleh kekuasaan, yakni kendali lembaga hukum dan sistem keadilan, birokrasi yang partisan, pembungkaman media, serta persekongkolan lembaga eksekutif-legislatif yang menghilangkan sistem check and balances.
Seluruh revisi undang-undang yang kini tengah digodok DPR cocok dengan ciri-ciri pelemahan demokrasi itu. Apalagi pembahasan perubahan undang-undang tersebut dilakukan pada masa transisi ketika anggota DPR baru telah terpilih dalam Pemilu 2024. Meski tak ada aturan yang melarang pembuatan undang-undang selama masa transisi, anggota DPR melanggar asas kepatutan dan legitimasi.
Mandat pemilih dalam Pemilu 2024 sudah diberikan kepada anggota baru. Anggota DPR lama sudah tak memiliki legitimasi mandat suara rakyat karena mereka terpilih dalam pemilu sebelumnya. Juga waktu yang sempit menuju akhir periode pada September yang akan menghilangkan partisipasi publik dalam pembuatan atau perubahan undang-undang.
Lagi pula, ke mana saja para anggota DPR itu selama 4,5 tahun terakhir? Dari 229 rancangan undang-undang pada 2024, mereka baru mengesahkan 32 undang-undang. Alotnya pembahasan dan waktu panjang membahas sebuah undang-undang membuat kinerja legislasi DPR selalu rendah dari periode ke periode.
Karena itu, DPR mesti menghentikan ugal-ugalan pembahasan revisi undang-undang strategis dengan perubahan tak substansial ini. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Persatuan Pembangunan, yang bukan anggota koalisi Prabowo Subianto, sebaiknya mencegah pembahasan revisi itu. Sebab, jika revisi sejumlah undang-undang tersebut mulus, masa depan demokrasi Indonesia menjadi taruhannya.