Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH cerita—sebuah fiksi—tak pernah lempang seperti jalan kereta api.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
34 tahun sebelum Salman Rushdie ditikam di atas panggung di sebuah acara sastra di New York, ada satu cerita yang ditulisnya tentang keajaiban di desa Titlipur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di desa India itu, ratusan ribu kupu-kupu muncul, terbang dan hinggap di mana-mana. Penduduk yakin serangga itu titisan Bibiji, seorang wanita suci yang wafat 120 tahun sebelumnya. Dulu, di saat kematian perempuan itu, semua kupu-kupu menghilang ke dalam kubur. Ketika mereka muncul lagi, penduduk yakin itu pertanda baik.
Tapi ternyata tak ada mukjizat. Dan penduduk pun membiasakan diri hidup tanpa heboh dengan ribuan rama-rama itu. Juga Mirza Said, tuan tanah yang tinggal di rumah megah mereka, Peristan. Bertahun-tahun lamanya ia dan istrinya, Mishal, anggap himpunan kupu-kupu yang mengisi tiap jengkal ruang hidup itu sesuatu yang tak istimewa. Sampai pada ulang tahunnya yang ke-40.
Hari itu ia tumben melihat semua kupu-kupu berwarna cerah dan ia merasa bahagia hidup dengan istrinya, meskipun mereka tak punya anak.
Tapi juga ia melihat sesuatu yang lain. Dari balkon kamarnya tampak seorang gadis duduk di kebun rumah besar itu. Tangan kirinya terjulur. Ke atas telapaknya bergantian kupu-kupu hinggap, dan dengan tangan kanannya si gadis mencomot mereka dan memasukkan semua serangga itu ke mulut.…
Mirza memandanginya dengan terkesima. Ia jadi berahi—meskipun ia tak bergerak melakukan apa-apa. Apalagi tiba-tiba gadis aneh penyantap kupu-kupu itu roboh.
Kemudian Mirza tahu, namanya Aisha. Istri Mirza, Mishal, yang kenal tiap penduduk Titlipur, menjelaskan bahwa Aisha yatim piatu penderita epilepsi—anak peladang yang mendapatkan nafkah dengan membuat hewan-hewanan kecil dan menjualnya di tepi jalan.
Suami-istri tuan tanah itu pun mengangkat Aisha jadi anak. Gadis miskin itu pun tumbuh jadi perawan jelita. Tapi tak ada pemuda yang mendekatinya; si cantik menderita ayan, sering tersungkur begitu saja, dan aneh. Hanya Osman, seorang pelawak yang masuk Islam (ia seorang paria yang terhina dalam masyarakat Hindu), yang tak berhenti jatuh cinta. Tapi Aisha tak mengacuhkannya.
Salman Rushdie, seperti dalam novelnya yang memukau, Midnight Children (juga karyanya yang buruk, Quichotte), pintar membentuk dongeng dengan tokoh-tokoh ganjil dan kejadian surrealistis, yang tak punya dampak apa-apa bagi keseluruhan cerita—seakan-akan bunyi percakapan menyimpang yang jatuh tanpa bekas di benua imajinasi seluas India.
Kisah Aisha, misalnya, semacam intermezzo bagi The Satanic Verses. Andai kata cerita itu tak ada, Ayat-Ayat Setan tak akan terasa kurang lengkap. Tapi pada saat yang sama kisah Aisha bukan hanya ornamen. Di dalamnya kita temukan sebuah dunia (India abad ke-20?) yang masih punya keajaiban, dan keajaiban yang mempesona tapi juga menakutkan, karena dukung-mendukung dengan kepercayaan yang menajam mengeras di mana nalar lumpuh dan manusia mati.
Pada suatu hari Aisha pulang dengan rambut yang berubah putih. Tubuhnya yang telanjang ditutup ratusan kupu-kupu. Ia mengaku ia telah kawin dengan Malaikat Jibril—meskipun sang malaikat, dalam kisah ini, sebenarnya bingung dan tak paham apa yang terjadi.
Aisha juga menyatakan, Jibril memberinya informasi dan pesan-pesan. Pesan yang paling dramatis buat penghuni Titlipur: mereka—semua, termasuk anak-anak—dititahkan pergi berjalan kaki ke Mekah, untuk mencium batu hitam di sisi Kaabah di tengah Masjidil Haram. Perjalanan akan jauh, tapi tak perlu ragu. Mereka akan sampai ke tepi laut, kata Aisha, dan laut itu akan terbelah, dan mereka akan bisa berjalan di celahnya.
Diiringi ribuan kupu-kupu, seluruh desa pun bergerak mengikuti Aisha. Juga Mishal, istri Mirza. Perempuan ini jadi akrab dengan perawan aneh itu; ia ikut berangkat ke Mekah dengan harapan penyakit kankernya sembuh. Suaminya, Mirza, si tuan tanah, tak berhasil meyakinkannya bahwa perjalanan haji dengan jalan kaki itu gila. Tapi, karena cemas akan nasib istrinya, tak urung ia pun mengikuti rombongan—dengan mengendarai sedan Mercedes.
Ternyata ia benar. Laut tak terbelah. Para calon haji itu tenggelam. Tapi mengagumkan, mengerikan, dan membingungkan: umumnya keyakinan orang-orang itu tak terguyahkan bahwa Aisha telah menunjukkan jalan yang benar. Beberapa orang yang selamat bahkan bercerita mereka melihat di dasarnya laut memang terbelah dan jalan terbuka.…
Tak hanya itu. Di ujung cerita, kita juga bersua dengan Mirza. Tuan tanah ini terbakar bersama pohon keramat desa itu. Menjelang nyawanya putus, ia melihat dirinya berjalan kaki di dasar laut. Bersama Aisha, ia menuju Mekah.
Kita dengan segera tahu, dalam cerita ini Salman Rushdie ingin memaparkan sebuah alegori yang hitam tentang iman yang mencekam, ajaran yang menjangkitkan taklid, dan pemimpin yang pandai membujuk kelompok yang cemas. Tapi begitukah kesimpulannya ketika Mirza akhirnya bergandengan dengan Aisha?
Seperti saya katakan di atas, sebuah cerita—sebuah fiksi—tak gampang dibuat lempang seperti jalan kereta api. Ia bergerak terus, juga seandainya Salman Rushdie mati.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo