Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Rumah Sehat

Benarkah argumen perubahan nama rumah sakit menjadi rumah sehat?

20 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Rumah Sehat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penggantian istilah rumah sakit menjadi rumah sehat oleh Gubernur DKI Jakarta memicu kegaduhan.

  • Dari aspek hukum, perubahan penjenamaan tersebut dinilai bisa bermasalah karena frasa rumah sehat tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

  • Tapi, dari sisi linguistik, perubahan penjenamaan rumah sakit ke rumah sehat adalah langkah yang sangat menarik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KECUALI kegaduhan pendengung yang tendensius dan politis serta riuh tempik sorai dari warganet di media sosial, apa yang kita dapatkan dari perubahan penjenamaan rumah sakit ke rumah sehat?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jika kita menyimak riuh komentar yang ada, perdebatan lebih bersifat suka dan tidak suka dibanding kesahihan argumentasi. Kecenderungan semacam ini memang menjadi salah satu ciri khas yang paling menonjol—jika tidak dikatakan satu-satunya—dari aktivitas keseharian warganet di Indonesia. Perdebatan cenderung berdiri di atas sentimen dibanding menari-nari di atas argumen.

Bahasa sebagai tulang punggung komunikasi tak ayal juga kerap menjadi bahan bakar pemantik perdebatan. Kasus pengaturan volume pelantang suara azan dan analogi gonggongan anjing kompleks masih segar di telinga kita. Kini perdebatan aktual kembali hadir dengan frasa rumah sehat sebagai topiknya.

Sesaat setelah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meresmikan transformasi penjenamaan rumah sakit menjadi rumah sehat, perdebatan bermunculan bak cendawan di musim hujan. Jika diringkas barangkali terdapat dua sudut pandang dalam melihat transformasi penjenamaan ini. Pertama, kelompok yang mengatakan bahwa perubahan itu nirfaedah dan tak lebih dari sekadar perubahan nama biasa. Malah kelompok ini memungkasi ketidaksetujuan dengan kalimat pamungkas “Gubernur DKI memang bukan penata kota, tapi penata kata”.

Sementara itu, pendapat di seberang mengatakan bahwa perubahan tersebut penting. Alasannya, barangkali sebagaimana disampaikan oleh Gubernur DKI, perubahan penjenamaan ini menyangkut perubahan paradigma dan termasuk aspek mendasar lain dalam pelayanan kesehatan.

Sisi lain yang lepas diperbincangkan secara serius adalah implikasi hukum atas perubahan penjenamaan tersebut. Sebab, frasa rumah sehat tidak dikenal dalam nomenklatur Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Undang-undang ini hanya memuat istilah rumah sakit yang didefinisikan sebagai “institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat”.

Meski langgam definisinya mentasawurkan bahwa kegiatan di tempat itu lebih pada upaya bagaimana agar seseorang menjadi sehat, faktanya undang-undang tersebut hanya mengenal rumah sakit, bukan rumah sehat. Tentu saja ini akan merepotkan secara hukum. Sebab, ada konsekuensi yang sudah pasti akan berdampak pada pelaksanaan undang-undang tersebut.

Terlepas dari catatan tentang aspek hukum, dari sisi linguistik perubahan penjenamaan rumah sakit ke rumah sehat memang sebuah langkah yang sangat menarik. Mengapa? Setidaknya ada dua alasan. Pertama, bahasa merupakan konstruksi cara berpikir. Frasa rumah sehat secara linguistik memiliki basis argumentasi yang jelas bahwa rumah sehat adalah rumah yang aktivitas utamanya mengupayakan orang memperoleh kesehatannya kembali.

Ini setidaknya terlihat dari kalimat penjelasan Gubernur DKI Jakarta: “Jadi rumah sehat ini dirancang untuk benar-benar membuat kita berorientasi pada hidup yang sehat, bukan sekadar berorientasi untuk sembuh dari sakit. Selama ini rumah sakit kita berorientasi pada kuratif dan rehabilitatif sehingga datang ke rumah sakit untuk sembuh, untuk sembuh itu harus sakit dulu sehingga tempat ini menjadi tempat orang sakit (Detik.com, 4 Agustus 2022).”

Memang tidak galat pendapat yang mengatakan bahwa rumah sakit dapat dimaknai sebagai rumah tempat orang sakit untuk berobat. Namun, jika diminta memilih, tentu pilihan yang mustahak dan terbaik adalah memilih frasa yang memiliki nuansa positif dibanding negatif. Aspek psikolinguistik menjadi landasan penting dalam hal ini.

Kedua, jika kita mengacu pada tradisi bangsa lain, misalnya Arab, mereka memiliki mustasyfa yang secara bahasa berarti makān lil isytifa’ yujahhizu bil attibhā wal mamradhin wal adwiyah atau secara ringkas diartikan tempat untuk memulihkan kesehatan. Jelas bahwa yang menonjol adalah kata syifa yang berarti kesehatan.

Jika kita telusuri dalam beberapa literatur, misalnya yang ditulis oleh Nasim Hasan Naqvi dalam Four Medieval Hospitals in Syria (2012), sebelum bahasa Arab modern mengenal kata mustasyfa, mula-mula bahasa Arab memiliki kata bīmaristan yang diserap dari bahasa Persia. Ini terjadi pada abad ke-9 Masehi. Bīmaristan secara bahasa berarti house of the sick atau rumah tempat orang sakit. Sejarah mencatat pergeseran dari bīmaristan menjadi mustasyfa. Salah satu aspek yang mendasari perubahan ini tentu adalah paradigma berpikir, yakni keinginan menonjolkan kata syifa yang berarti kesehatan. Artinya, tradisi perubahan istilah, penjenamaan, dan sebagainya memiliki akar tradisi dan pernah terjadi di belahan bumi lain. Ini sebuah persoalan yang lumrah dan tentu menarik untuk diperdebatkan.

Walhasil, perdebatan harus dilanjutkan. Termasuk kita juga harus menguji usul-usul lain untuk mengganti frasa rumah sakit, misalnya rumah rawat, pusat kesehatan, dan balai kesehatan. Toh, kita juga pernah mendengar usul lokalisasi diganti dengan frasa “pusat kesenangan mas-mas”. Kecuali itu semua, agar perdebatan menjadi sehat dan tidak sakit, naga-naganya kita memang harus belajar untuk berdiri di atas argumen, bukan menari-nari di atas sentimen.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Fariz Alnizar

Fariz Alnizar

Pengajar Linguistik Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Penulis Buku Problem Bahasa Kita (2017)

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus