Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APAKAH sebenarnya sastra? Kenapa ia selalu menimbulkan polemik atau, justru sebaliknya, merasa terasing?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Katakanlah, ada tiga sastrawan A, Z, dan N yang bekerja di tempat yang sama. Mereka tidak satu sikap, misalnya dalam mengajarkan sastra di sekolah. Seperti dalam kasus belakangan ini, ketika Kementerian Pendidikan meluncurkan program Sastra Masuk Kurikulum.
Pada awalnya program itu disambut meriah. Sudah lama tak ada pelajaran sastra di sekolah. Di masa sebelum Reformasi, kegiatan itu pernah ada, tapi sifatnya hanya hafalan nama, judul, dan tahun. Setidaknya, sebagai anak didik di era Soeharto, saya bisa menyebut Balai Pustaka, Pujangga Baru, Marah Rusli, Amir Hamzah, Chairil Anwar. Generasi setelah Reformasi banyak yang tak pernah mendengar Layar Terkembang atau Sutan Takdir Alisjahbana. Maka, ketika Kementerian Pendidikan mencanangkan program Sastra Masuk Kurikulum, harapan muncul.
Sejumlah sastrawan dilibatkan dalam penyusunan rekomendasi karya sastra untuk dibaca di sekolah. Penyair Z yang kalem termasuk yang diberi tugas. Buku pegangan diluncurkan. Judulnya Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra. Buku itu, terus terang, sangat membosankan saat pertama kali saya baca. Sastrawan N lebih tangguh untuk memeriksa naskah elektronik itu. Beberapa hari kemudian ia mengirim surat kecaman. “Buku panduan itu,” katanya, “buruk seburuknya.”
Protes juga menyusul dari arah lain. Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan pengurus pusat Muhammadiyah meminta rekomendasi itu dicabut karena memuat karya yang mengandung seks dan kekerasan. Bahkan Z dan para sastrawan yang menyusun rekomendasi juga meminta buku itu ditarik, karena tidak dikerjakan secara profesional dan mengandung banyak salah data. Mereka memang dimintai masukan, tapi tidak dilibatkan dalam keseluruhan proses. Buku itu digempur dari segala penjuru. Walhasil, panduan itu tak lagi bisa diunduh. Konon, rekomendasi itu sedang direvisi. Seperti apa kelak, saya tak bisa membayangkan.
Kontroversi dan polemik selalu mengiringi perjalanan kesusastraan Indonesia. Sebenarnya, itu saja suatu fakta yang menarik. Para pemangku kesusastraan, jika tak berpolemik, merasa sastra terasing dari masyarakat.
Kita tahu, polemik yang pertama terjadi pada 1930-an. Polemik kebudayaan dipicu oleh sastrawan Sutan Takdir Alisjahbana, melibatkan sastrawan dan intelektual lain, di antaranya Sanusi Pane dan K.H. Dewantara. Isunya adalah apakah Indonesia merupakan entitas baru dan modern sehingga seharusnya mengacu ke Barat (Takdir) atau Indonesia adalah kelanjutan dari masyarakat dan kejayaan masa lalu (Pane).
Rangkaian polemik berikutnya, tahun 50-an dan 60-an, mendapat corak baru: tegangan antara kehendak menjadi universal dan urgensi politik melawan imperialisme kapitalisme. Tensi ini tak lepas dari situasi Perang Dingin. Di sini, salah satu pertanyaannya adalah apakah seni merupakan alat ideologi dan alat pendidikan atau seni memiliki kebebasan.
Polemik di tahun 80-an juga punya corak baru sekaligus ciri lama. Arief Budiman dan Ariel Heryanto mengkritik tendensi pemusatan dan universalisme kesusastraan yang mengasingkan sastra dari lokalitasnya. Wacana ini dikenal dengan nama perdebatan sastra kontekstual. Di tahun 90-an, adu gagasan antara lain dibintangi sang penyair N (ya, Nirwan Dewanto), diwarnai semangat postmodernism. Konsep “pusat” digugat, tapi bukan karena dominasinya, melainkan karena sebenarnya tak ada pusat yang tunggal.
Kini N meminta karyanya dicabut dari rekomendasi. Katanya, “Yang ‘fardu kifayah’ itu adalah kemampuan menyatakan diri, menulis dan berpendapat, bukan membaca buku bikinan sastrawan.” Saya suka sinisme dan ketajaman N. Saya juga menghargai kalem dan lurusnya Z (ya, Zen Hae). Tapi kami berbeda juga.
Bagi saya, kita merugi jika buah pikiran para sastrawan dan intelektual Indonesia tidak diajarkan di sekolah. Tapi mesti ada syarat dan konsep pedagogi yang jelas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertama, sekolah harus membangun “software”, bukan cuma menjejalkan data, dalam benak siswa. Sejenis AI ini, yaitu kecerdasan yang dibangun, harus bersifat terbuka, sehingga bisa dipakai siswa untuk memetakan dan mengolah segala data yang masuk. Ini yang saya usahakan dengan metode pengajaran sastra Peta Sastra Kebangsaan (dan masih dicoba dikembangkan di Komunitas Salihara).
Kedua, rekomendasi bacaan yang diberikan bukan berpretensi kanon atau bacaan terbaik, tapi bacaan untuk memahami perkembangan kesadaran bangsa Indonesia ataupun kesadaran diri. Ketiga, memperluas makna teks sastra; bukan hanya puisi dan fiksi, tapi semua jenis tulisan yang mutu bahasa dan pemikirannya bisa dipertanggungjawabkan.
Dengan pendekatan ini, kita tidak memberikan bacaan tanpa konteks kepada siswa. Sebaliknya, konteks sejarah intelektual bangsa menjadi lebih penting untuk memahami bacaan. Di sini, polemik dan tegangan dalam sejarah sastra Indonesia justru akan memperkaya siswa dan mempersiapkan mereka menghadapi perbedaan pendapat dalam hidup bermasyarakat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Polemik Sastra"