Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
POLITIKUS adalah orang-orang yang bereksperimen dengan bahasa. Mereka menggunakan bahasa tidak hanya untuk berkomunikasi, tapi juga sebagai alat propaganda buat mengkoloni pikiran orang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam berbahasa, cara kerja politikus mirip cara kerja penyair. Bedanya, penyair menggunakan kiasan untuk mengatakan yang sebenarnya, sedangkan politikus menggunakannya untuk menyembunyikan yang sebenarnya. Penyair menyuling kata demi kata sampai ke titik terbeningnya untuk menghasilkan kesegaran makna dan kemerduan rima, sedangkan politikus mengucapkan kata-kata aus berulang kali—hingga kata yang dahulu garang jadi garing—untuk meyakinkan pemilih dan pengikut serta pembebeknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diksi-diksi klise seperti persatuan, rekonsiliasi nasional, berangkulan, dan sejenisnya ditebar di mana-mana oleh para politikus seusai pemilihan umum presiden. Sehari setelah Mahkamah Konstitusi menetapkan keabsahan sepasang kandidat, sebuah koran menulis judul besar di halaman muka “Akhiri Polemik Pilpres, Bangun Semangat Persatuan”. Esoknya, harian yang sama menulis “Prabowo Subianto Ajak Seluruh Elite Tinggalkan Perbedaan”.
Sepintas, ungkapan itu pantas dipuji. Tapi, jika dibaca dengan jeli, kata-kata semacam itu perlu dikritik atau minimal dicurigai. Selintas ungkapan itu bijak tapi ternyata hanya bijak sini atau cuma bijak sana. Persatuan apa yang perlu dibangun? Perbedaan apa yang perlu ditinggalkan? Ini perlu dipertanyakan.
Betapa berbahayanya kalau semua elite politik bersatu seusai pemilihan presiden. Mereka akan masuk ke komplotan pemenang untuk berbagi kue kekuasaan. Bagaimana pula perbedaan ditinggalkan? Maka tak ada lagi oposisi, tak ada lagi suara kritis di Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengkritik dan mengevaluasi kerja-kerja penyelenggara negara. Suasana negara memang akan adem ayem karena suara oposan disumbat. Namun negara sebenarnya tidak akan baik-baik saja karena banyak kebijakan pemerintah yang tidak bijak bagi rakyat. Bayangkanlah jika penyelenggara negara akan menaikkan harga bahan bakar minyak, lalu tak ada fraksi partai politik yang menolaknya. Semoga kau tak lupa pada pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja, revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, dan undang-undang lain yang diketok palu setelah oposisi ditekuk dengan jabatan di kementerian atau takluk karena ancaman ditersangkakan. Inikah persatuan yang hendak dibangun? Itukah perbedaan yang harus ditinggalkan?
Seusai pemilu, muncul kemudian “rekonsiliasi nasional”. Tepatkah penggunaan istilah ini? Rekonsiliasi adalah perdamaian kedua pihak yang berkonflik setelah keduanya mengaku salah lalu saling meminta maaf. Apakah itu yang terjadi? Tampaknya bukan.
Jangan-jangan yang mereka maksud adalah rekonsiliasi dalam istilah keuangan, sebagaimana termaktub dalam edisi kelima Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagai “penetapan pos-pos yang diperlukan untuk mencocokkan saldo masing-masing dari dua akun atau lebih yang mempunyai hubungan satu dengan yang lain”.
Kemudian muncullah kalimat semacam “siapa pun presidennya, rakyatlah pemenangnya”, “01 02 03, kita semua Indonesia”, dan “galang persatuan, lepas perbedaan, setelah pemilu”. Peribahasa “bersatu kita teguh bercerai kita runtuh” cocok apabila diucapkan dalam suasana konflik sosial yang bisa membahayakan, seperti dalam perang. Dalam kontestasi politik semacam pemilihan presiden, bersatunya elite politik tidak membuat bangsa dan negara teguh, tapi justru runtuh. Saat itu pula rakyat kalah karena para elite politik bersekutu dalam menghamba sebagai boneka para bohir.
Hari-hari ini, elite politik berupaya meninabobokkanmu dengan selimut kata-kata tersebut di ranjang bahasa. Maka, bangunlah dan waspadalah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Ahmadul Faqih Mahfudz adalah alumnus Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Bersatu Kita Runtuh".