Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Film Belyy Tigr mengisahkan seekor macan putih yang merujuk pada tank putih dalam perang Rusia-Jerman.
Mengingatkan pada Moby Dick, paus putih yang tak bisa diburu.
Akankah perang Rusia dan Ukraina juga seperti macan putih atau paus putih yang bertukar tangkap dengan lepas?
PENGEMUDI tank Rusia itu tak mati, tapi berubah. Ia ditemukan terpaut pada kemudi. Tanknya tak bisa bergerak. Tubuhnya 90% terbakar tapi, aneh, matanya terbuka, menatap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam film Belyy Tigr (Macan Putih) karya sutradara Karen Shakhnazarov ini, dikisahkan prajurit itu satu-satunya yang hidup dari pertempuran di Front Timur di musim semi 1943, ketika pasukan Soviet bergerak menuju Berlin dan sebuah tank yang misterius muncul di antara barisan Panther Jerman. Bersama-sama mereka hajar satu divisi T-34 Uni Soviet sampai lumat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tubuh prajurit itu hangus. Ia segera dibawa ke bivak rumah sakit. Para dokter memperkirakan ia hanya akan bernyawa dua jam. Tapi ternyata tidak. Berangsur-angsur ia sembuh. Tim medis dan para opsir Soviet tak paham bagaimana itu bisa terjadi—dan makin tak paham ketika penyintas itu direkrut untuk bertempur kembali.
Ia tetap mahir mengemudi tank, tapi ada yang hilang: ia lupa nama dan asal-usulnya. Catatan tentang dirinya musnah. Maka atasannya memberinya nama “Ivan Naydyonov” (dari kata Rusia найденный, “yang ditemukan”).
Naydyonov kurus, tak pernah senyum, hanya sedikit makan dan minum, dengan mata yang menatap suram dan tajam. Ia tampak seperti selalu menyimak sesuatu. Kemudian ia mengatakan, dengan nada serius tapi bergumam, bahwa ia bisa mendengar percakapan tank. Ia bisa berkomunikasi dengan mereka. Ia bahkan percaya ada “Tank Tuhan”. Juga ia percaya Panther misterius yang menghantam dan membakar T-34 yang dikemudikannya adalah sebuah tank tanpa awak. Hantu dalam perang.
Ia dianggap gila. Hanya Mayor Fedotov yang mempercayainya. Perwira kontra-intelijen ini menginterogasi seorang prajurit Jerman yang tertangkap. Dari orang ini diketahui, di medan pertempuran beredar cerita tentang sebuah tank Jerman yang bercat putih yang muncul mendadak entah dari mana, menggempur dengan tembakan yang cepat dan persis, lalu cepat menghilang ke dalam hutan. Baik pasukan Nazi maupun Soviet menyebutnya “Si Macan Putih”—dengan ketakutan.
Naydyonov tak ketakutan. Ia mendendam. Ia mengatakan akan memburu Si Macan Putih dan menghancurkannya kapan saja, di mana saja—dan di sini sutradara Shakhnazarov, seperti diakuinya, mengikuti thema Moby Dick Herman Melville. Novel klasik Amerika ini mengisahkan obsesi Kapten Ahab yang memburu terus-menerus Moby Dick, nama yang diberikan untuk paus putih raksasa yang telah mencederai jasad dan jiwanya. Sampai akhir cerita, paus itu tak pernah tertangkap—bahkan bisa melawan, menghancurkan kapal Pequod yang memburunya dan membunuh Ahab. Seperti Moby Dick, Si Macan Putih tak terkejar sampai perang usai.
Tentu saja Naydyonov bukan titisan Kapten Ahab. Baginya, perang belum selesai dan Si Macan Putih belum musnah. “Ia masih di sana,” katanya setengah berbisik kepada Mayor Fedotov. Dan prajurit itu tak tampak lagi.
Fedotov pun menyimpulkan, Si Macan Putih bukan mesin bikinan manusia. Sebagaimana Naydyonov, si penyintas yang misterius itu, bukan makhluk sehari-hari. Keduanya diciptakan perang. Mereka akan menghilang suatu saat, tapi akan selalu kembali.
“Hidup itu mistik,” kata Shakhnazarov tentang filmnya menjelang beredar di tahun 2012. Sineas Rusia ini, yang mencampuradukkan “mistik” dengan “misteri”, sebenarnya ingin menunjukkan banyak hal ihwal dalam sejarah yang tak bisa dicerna nalar.
Di bagian akhir film, kita lihat Hitler—meskipun buku sejarah menyebutkan ia bunuh diri di dalam kamar perlindungannya di Führerbunker ketika pasukan Soviet menerobos masuk Reichstag. Duduk dengan gerak tubuh yang berbeda dari yang kita saksikan dalam foto selama ini, diktator itu mengatakan, dengan suara datar: “Perang terjadi selalu, di mana-mana, tak punya awal dan akhir.”
Juga tak punya nalar yang jelas. Shakhnazarov mengatakan, Leo Tolstoy dalam novel akbar Perang dan Damai menyebut perang ada dalam sifat dasar manusia. Tapi lebih tepat Tolstoy mengucapkan sesuatu yang mirip fatalisme yang sedih. Kejadian berdarah dan dramatik itu “harus terjadi karena harus terjadi”. Dalam epilog kedua, ia menulis: “sejarah hanya dapat dijelaskan dengan memperkenalkan sebuah kekuatan yang orang tak mengakuinya”.
“Jutaan manusia, melepaskan perasaan dan nalarnya, harus pergi dari barat ke timur untuk membantai sesamanya, sebagaimana beberapa abad sebelumnya gerombolan demi gerombolan manusia datang dari timur ke barat membantai sesamanya”.
Fatalisme ini—seakan-akan manusia tak berkemauan sendiri untuk jadi buas—membuat hidup seperti mesin yang tanpa nilai. Dengan kata lain, tak benar-benar layak dijalani. Menjelang akhir novel, dengan pasrah, Pangeran Andrew tergeletak, luka, tertembak. Untuk beberapa lama ia menatap langit yang terbentang luas dan berkata dalam hati: “Bagaimana bisa sebelum ini aku tak pernah melihat langit tinggi itu?”
Pemandangan itu membuatnya bahagia. Dan ia pun sadar, “Semua hanya kekenesan, semua kepalsuan, kecuali langit yang tak terhingga....”
Beberapa hari kemudian ia meninggal. Lelaki pemberani ini putus harapan kecuali kepada langit. Ia tak hendak mengubah keadaan. Perang berkali-kali datang dan Si Macan Putih mengaum. Kali ini di Ukraina.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo