BANGUNAN berbentuk segi delapan itu tidaklah tinggi. Tidak pula
berukuran besar. Paling tinggi seplluh meter. Garis tengah
penampangnya tidak lebih dari dua puluh lima meter. Dikitari
halaman rumput biasa tanpa taman, dindingnya terbuat dari batu
bata merah tanpa 'plaster kapur' (apalagi dengan hiasan murah
atau bas relief), dan tidak ada tanda-tanda kemegahan apa pun
dipasang di luar.
Pada tengah atapnya ada atrium yang menjadi jalan masuknya
cahaya matahari ke dalam ruangan. Cahaya itu kemudian disangga
oleh sebuah reflektor penyangga yang digantungkan pada dasar
atap dan bagian atas dinding dalam pada ruangan utama. Pantulan
cahaya yang didapat adalah sinar lembut yang tidak membuat mata
silau.
Ruang dalamnya terbagi dua. Beberapa buah 'ruang samping'
mengitari ruang utama didalam seperti cincin melingkari
penampang ibu jari.
Semua ruang samping itu mempunyai pintu masuk langsung ke ruang
utama itu. Ruang utama, sebagai tempat pagelaran yang hergaris
tengah tidak lebih dari 15 meter, sama sekali tidak berhiaskan
ornamen apa pun. Tidak ada lukisan pada ke delapan dindingnya,
tidak ada struktur apa pun di lantai. Yang ada hanya dinding
telanjang, mengitari lantai rata yang telanjang pula, disinari
keredupan cahaya lembut yang datang dari luar.
Kapel Rothko ini memang unik. Didirikan oleh jutawan de Menil,
ia merupakan perlambang gairah kerohanian yang sangat pekat.
Benar serba sederhana, tetapi ia adalah eksprei yang penuh
keterlibatan jiwa dari pemahat Amerika yang tcrkemuka, mendiang
Rothko.
Tidak sebagaimaula berbagai bangunan antar agama
(interdenominational buildings) lainnya, Kapel Rothko di Housto
(Texas) ini sama sekali bebas dari afiliasi kepada agama mana
pun. Kalau Katedral Nasional di Washington masih 'berbau'
Kristen karena bentuk Gotik-nya dan Kapel Wayside di Sydney
masih menggunakan altar, maka Kapel Rothko ini justru tidak ada
kaitan fisiknya sama sekali dengan jenis peribadatan mana pun.
'Alat' peribadatan tidak ada yang terpasang permanen dalam
ruangan utama, sehingga semua harus membawa sendiri ke dalam
ruangan itu untuk dipergunakan, dengan menggunakan cara
bongkar-pasang. Kalau orang Katolik ingin menggunakannya untuk
misa, mereka membaca sendiri altar mereka. Orang muslim boleh
menghamparkan tikar sembahyang mereka dan menghadapkannya ke
arah kiblat di tenggara.
Bermacam-macam upacara keagamaan dapat dilakukan di kapel yang
sudah berusia tujuh tahun ini. Dom Helder Camera, itu uskup
agung penentang rezim rasis di Brasilia sekarang pernah
menyelenggarakan misa spontan -- sudah tent dengan himbauan
yang mengharukan akan nasib mereka yang miskin dan tertindas di
negaranya. Beberapa orang Swami dari India pernah mengadakan
meditasi dan peragaan Yoga. Kelompok Yahudi pernah merayakan
upacara keagamaan mereka di tempat ini. sedankan kelompok Sufi
Turki Mevleviyati yang terkenal dengan sebutan The Whirling
Dervishes (darwisy berputar) - karena tari-tarian keagamaan
mereka di kala mencapai ekstase -- pernah pula melakukan
peragaan.
Sebuah foto menunjukkan ada pula sembahyang berjamaah kaum
muslimin diselenggarakan di kapel ini, demikian pula meditasi
kaum Sufi California beberapa waktu sebelum kunjungan penulis.
Semuanya tentu terpukau dengan kesyahduan yang meliputi ruangan
pagelaran Kapel serba sederhana dari Kapel Rotko ini.
Di tengah-tengah hiruk pikuk kegiatan kota modern Houston, yang
menjadi pusat bisuis dan industri minyak bumi Amerika Serikat,
memang unik sekali peranan kapel yang satu ini. Ia bukanlah
gereja Nasrani, bukan Sinagog Yahudi. Menjadi masjid tidak
memenuhi persyaratan, bukan pula kelenteng Cina atau kuil apa
pun. Ditangani sehari-hari oleh seorang wanita muslim dari
Libanon, Nabilah Drooby, ia adalah tempat persinggahan dalam
perjalanan spiritual bagi mereka yang membutuhkan atau tertarik.
Kalau mereka ingin beribadat di situ, mereka bebas melakukannya,
tidak lebih dari itu.
Tetapi peranannya ternyata tidak terhenti hanya di situ. Di
kolam depan pintu masuk ada 'tugu somplak' (broken Obelisk)
yang dipersembahkan kepada kenangan Martin Luther King Jr itu
pemimpin agama berkulit hitam yang menjadi perlambang perjuangan
Kristen untuk menegakkan persamaan tidak lagi warga masyarakat
yang berbeda warna kulit.
Di kantor Yayasan Kapel Rothko, sebuah bangunan bersebelahan
dengan kapelnya sendiri, berbagai kegiatan kontemplatif
dilakukan. Di bawah dewan pembina yang beranggotakan orang-orang
Katolik, Kristen, Muslim dan Yahudi, yayasan ini
menyelenggarakan berbagai forum serius untuk menggali pola
interaksi kehidupan rohani berbagai agama dengan kehidupan.
Aktivis harian yayasan ini, seperti madame Drooby, dibantu staf
administratif dan seorang ilmiawan wanita dali Romania. Staf itu
semuanya terdiri dari wanita, dan kini tengah mempersiapkan
Coloquium tentang spiritualitas dan keadilan sosial dalam Islam.
Siapa bilang Kapel Rothko ini tidak melakukan sesuatu yang
besar, hanya karena secara lahiriah ia menyediakan tempat
beribadat yang sangat sederhana? Bukankah justru kesederhanaan
itu, ditambah fungsi jangka panjangnya yang vital dalam
pemikiran kontemplatif di bidang keagamaan, yang memunculkan
keharuan dan kesyahduan yang diperlukan manusia modern dalam
pergumulannya dengan kehidupan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini