Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Simba yang Kehilangan Greget

Versi terbaru film The Lion King yang menampilkan visual yang ‘realistik’.

10 Agustus 2019 | 20.42 WIB

James Earl Jones dan JD McCrary dalam The Lion King (2019)
Perbesar
James Earl Jones dan JD McCrary dalam The Lion King (2019)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Masih ada suara James Earl Jones yang sekali lagi, mengisi suara Mufasa, Sang Raja. Masih ada lagu-lagu yang sama, dengan aransemen baru seperti Circle of Life, Hakuna Matata,  I Just Can’t Wait to be King.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tetapi karena film adalah sebuah pengalaman audio-visual, nama dan suara Beyonce (sebagai Nala) dan Danny Glover (sebagai Simba) yang menyanyikan Can’t you Fell the Love Tonight ternyata tak cukup untuk menyihir kita sebagaimana yang terjadi pada penonton yang menyaksikan versi animasi tahun 1994 silam.

Bahwa Beauty and Beast (Bill Condon, 2017) yang dibintangi  Emma Watson dengan segala perubahan yang dianggap “progresif” untuk ukuran Disney itu berhasil meledakkan sinema di seluruh dunia, tak berarti semua film animasi produksi yang sukses akan sama bagusnya ketika diproduksi ulang menjadi film live-action.Tetapi sutradara Jon Favreau menekankan ini bukan film “live -action” melainkan sebuah pembuatan ulang dengan photorealistic computer-animated. Artinya binatang-binatang agung itu: Mufasa, Scar, Simba, Nala dengan semua para anggota masyarakat Pridelands terlihat seolah mereka adalah bagian dari acara dokumenter National Geography. Ternyata Jon Favreau memang mengaku dia ingin tokoh-tokohnya  The Lion King buatannya secara visual persis seperti yang biasa ditonton acara BBC Wildlife Documentary.

Penampilan visual para binatang, bahkan termasuk si burung bawel Zazoo (John Oliver), si babi hutan Poomba (Seth Rogen), Meerkat (masih keluarga luwak dari tanah Kalahari, Afrika) dan seluruh anggota kerajaan seperti kawanan gajah, zebra, banteng hingga ke binatang-binatang kecil betul-betul tampak seperti binatang-binatang yang kesasar dari film dokumenter ke layar lebar. Bukan hanya megah dan  agung, visual mewah itu  seakan mengajak kita ke sebuah kerajaan binatang yang fantastis. Magical Kingdom.

Tetapi tunggu dulu.

Kerajaan Prideland yang luasnya hampir tak terbatas, seluas “tanah yang dicium cahaya matahari” kecuali di bagian nun di sana yang penuh kegelapan dan bangka gajah, adalah tanah yang kelak akan diwariskan kepada Simba, demikian kata Mufasa dengan suara James Earl Jones yang sungguh berwibawa (pantas saja dia tak diganti aktor lain). Simba  (masa kecil: JD McCrary) si putera mahkota yang pada awal film digendong Rafiki, si mandrill (semacam keluarga babon) yang dianggap shaman  adalah pangeran yang bandel, yang justru ingin menyenggol bahaya sembari menyanyi I Can’t Wait to be King, karena seperti anak-anak yang baru tumbuh menyangka menjadi dewasa dan menjadi raja itu adalah hidup enak tanpa tanggungjawab. Dia tak menyadari betapa sang Paman (Chiwetel Ejiofor) yang muslihat –visual Scar sangat garang, penuh siasat dengan mata yang Sangkuni—menginginkan posisinya sebagai calon raja.

Scar  lantas saja merancang kesumat agar Simba bisa tersingkir. Gagal. Dia merancang skenario kedua, yang kemudian berhasil , yang seperempat abad lalu menjadi salah satu adegan tragis yang paling dibicarakan sejagat ketika Simba menyaksikan tewasnya Mufasa, sang Ayah. Bagaimana Simba kecil yang berlari dengan kakinya yang kecil kesana kemari mencari pertolongan, terisak, bersuara parau merasa bersalah, berwajah ketakutan, dan kemudian menyusup-nyusup di antara tubuh sang ayah yang tak bernyawa.

Meski ‘hanya’ kartun, tetapi adegan itu membuat kita banjir airmata bukan saja karena memikirkan nasib si kecil Simba yang bakal awut-awutan dirangsek si jahat Scar, tetapi bagian seperti inilah yang memberi resonansi kepada kita sebagai penonton, karena binatang sama seperti manusia: mereka memahami rasa kehilangan dan luka besar dalam jiwa.

Sayangnya, begitu adegan ini ‘ditransfer’ menjadi photorealistic computer-animated di dalam The Lion King versi 2019 , ada sesuatu yang hilang. Secara visual  para tokoh binatang itu memang terasa realistik. Tetapi justru karena mereka realistik, dan mulut mereka mangap-mangap tanpa ekspresi, maka emosi penonton tak tersentuh bahkan pada bagian-bagian yang seharusnya sungguh perih.

Yang mungkin diabaikan atau dilupakan Jon Favreau dan para bos Disney adalah kekuatan kartun justru karena kebebasannya untuk memperlakukan tokoh-tokohnya selentur mungkin. Para artis bebas saja memiuhkan, membesarkan, mengecilkan wajah, tubuh, tinggi, besar tokoh-tokohnya, apakah itu binatang atau orang, termasuk ekspresi mereka yang bisa dibuat hiperbolik super marah , atau super sedih sementara penonton tak akan protes karena memahami fitrah animasi.

Tetapi begitu kita disajikan visualisasi yang realistik: singa yang sungguh berbentuk singa betulan dan banteng atau babi yang betul-betul seperti nyemplung dari serial National Geography  itu menjadi aneh ketika ‘diperintahkan’ bernyanyi atau berbicara  karena minim ekspresi. Akibatnya, jangan heran jika kita tak  bisa hanyut oleh suasana cerita.

Tentu saja lagu-lagu yang kini dibawakan Beyonce dan kemegahan suara dan visualisasi tanah Afrika –padang pasir, juga hutan belukarnya yang masih murni itu luar biasa. Juga harus diakui bahwa para comedic relief seperti  Zazu mencerocot dengan bawel atau Timon dan Poomba yang setia dan lucu, memperlihatkan bahwa para komedian yang mengisi suara mereka adalah pilihan tepat. Karena mereka komedia, mereka bebas memainkan volume dan ritme bicara masing-masing. Selain dialog merekapun dibuat dengan cerkas, para pendukung yang lucu inilah penyelamat seluruh film.

Durasi film The Lion King versi baru ini  jauh lebih panjang dibanding versi animasi. Karakterisasi di beberapa tempat diperpanjang, terutama bagian para hyena yang digambarkan jauh lebih berbahaya bak sekumpulan binatang yang siap memakan apa saja, termasuk tuannya sendiri. Dalam hal ini sutradara Jon Favreau memang benar bahwa pada film versi 1994 para hyena digambarkan sebagai mahluk lucu yang konyol (apalagi pengisi suaranya adalah Whoopi Goldberg) sementara kini para hyena adalah mahluk berbahaya yang keji.

Satu catatan yang perlu diingat bahwa orisinalitas kisah plot Simba sejak dulu menjadi satu titik lemah film ini. Meski para kritikus (Barat) menganggap plot The Lion King menggunakan kerangka dari kisah Hamlet karya William Shakespeare, sebetulnya cerita tentang Simba cukup mirip dengan film animasi Jepang berjudul Kimba, the White Lion (Baca: Antara Kimba dan Simba) ciptaan Osamu Tezuka, serial TV  yang juga sempat populer di televisi Indonesia ketika kita hanya memiliki satu saluran televisi.

Kontroversi yang terjadi saat itu, terutama di Jepang, tentu saja sudah terlupakan karena The Lion King (1994) sukses besar dan bahkan kini dibuat ulang dengan produksi yang lebih gigantik.  Dan kalaupun sebagian besar kritikus mencela film versi baru ini yang  dianggap tak bernyawa, sementara saya sendiri menganggap film versi baru ini kehilangan greget, kritik yang bertubi-tubi ini tak akan ada pengaruhnya terhadap box-office. Pastilah penonton akan berbondong-bondong menyaksikannya, apakah karena penasaran dengan versi baru ini,  atau karena mereka penggemar fanatik Beyoncé.

BOKS:

KONTROVERSI ANTARA KIMBA DAN SIMBA

Nun di tahun 1965, Osamu Tezuka menciptakan tokoh Kimba si anak singa yang bapaknya tewas dibunuh pamannya sendiri. Bagi generasi saya, ingatan yang tak terlupakan adalah si kecil Kimba yang berlari-lari –sebagai awal setiap episode—karena sang Paman menyuruhnya pergi dari hutan kekuasaan sang Bapak. Serial menjadi panjang dan mengharukan karena di masa pengasingan, Kimba berkawan dengan anggota hutan yang marjinal.

Serial yang diberi judul Jungle Emperor ini lebih dikenal sebagai Kimba the White Lion.

Setelah Osamu Tezuka wafat, lahirlah film The Lion King. Tokoh utama Simba juga bernasib sama dengan Kimba, ciptaan Tezuka. Aktor Matthew Broderick yang mengisi suara Simba dewasa dalam film The Lion King  bahkan mengaku ketika dia ditawarkan pertama kali, dia menyangka akan bermain dalam film Kimba versi Amerika karena Broderick juga mengenal film animasi Kimba.

Syahdan, sutradara The Lion King (1994) Roger Allers menyatakan tak tahu menahu tentang serial TV Kimba the White Lion. Tetapi Allers pernah menetap di Jepang di tahun 1980-an ketika Tezuka sudah dikenal sebagai Walt Disney versi Jepang.

 Pada tahun 1994, film The Lion King diprotes di Jepang karena Kimba dan penciptanya dianggap sebagai salah satu aikon Jepang dan ratusan artis manga membuat petisi agar Tezuka diberi kredit sebagai inspirasi. Di AS situasi anteng-anteng saja, meski bisik-bisik terus saja terjadi terutama di kalangan kartunis yang kenal betul karya Tezuka. Bahkan salah satu episode The Simpson menyindir dengan adegan suara Mufasa yang bergaung menasehati anaknya dengan mengatakan “Kau harus mencari pembunuhku, Kimba eh, Simba…”

 Hingga sekarang kreditasi terhadap Tezuka semakin jauh dari harapan. Ini sudh tahun 2019, siapa yang kenal dengan Tezuka dan Kimba. Apalagi generasi masa kini tentu tak mengalami penayangan serial televisi Kimba  kecuali jika mereka merisetnya sendiri dari youtube dan materi di internet.

         

THE LION KING

Sutradara: Jon Favreau

Skenario: Jeff Nathanson

Berdasarkan fim The Lion King  (1994)

Pengisi suara: Donald Glover, Beyoncé Knowles-Carter, Seth Rogen, John Oliver, Alfre Woodard, Billy Eichner, John Kami, James Earl Jones, Chiwetel Ejiofor

Produksi: Walt Disney Pictures

                                                                  

 

           

Leila S. Chudori

Kontributor Tempo, menulis novel, cerita pendek, dan ulasan film.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus