Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Suporter

Haringga Sirla, suporter Persija Jakarta, tewas mengenaskan di tangan para bobotoh Persib Bandung.

29 September 2018 | 08.00 WIB

Ucapan duka atas meninggalnya Haringga Sirla, suporter Persija yang tewas dikeroyok saat berlangsung pertandingan Timnas U-19 Indonesia melawan Cina dalam laga PSSI 88th U19 International Tournament di Stadion Pakansari, Cibinong, Bogor, Selasa, 25 September 2018. ANTARA/Sigid Kurniawan
Perbesar
Ucapan duka atas meninggalnya Haringga Sirla, suporter Persija yang tewas dikeroyok saat berlangsung pertandingan Timnas U-19 Indonesia melawan Cina dalam laga PSSI 88th U19 International Tournament di Stadion Pakansari, Cibinong, Bogor, Selasa, 25 September 2018. ANTARA/Sigid Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Putu Setia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Haringga Sirla, suporter Persija Jakarta, tewas mengenaskan di tangan para bobotoh Persib Bandung. Bagi yang kuat menonton video pembantaian Haringga di media sosial, pengeroyokan itu sangatlah kejam. Dampaknya besar: sepak bola Indonesia, yang sesungguhnya tidaklah begitu maju, harus gonjang-ganjing. Liga 1 PSSI terpaksa dihentikan, meski cuma untuk dua minggu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tapi bukankah kematian suporter bola di negeri ini bukan hanya sekali itu? Haringga adalah korban ketujuh dari perseteruan Persib Bandung melawan Persija Jakarta. Belum lagi korban lain di luar dua klub papan atas itu. Apakah korban ketujuh ini yang terakhir ataukah menyusul korban kedelapan, ini tergantung sejauh mana kita berbenah. Sepertinya ada hal-hal yang harus dipertimbangkan bersama di luar teknik gocekan bola.

Antara klub dan suporter punya ikatan kuat yang memunculkan fanatisme. Pemain bola yang begitu girang tatkala memasukkan gol akan percuma melakukan gerakan kemenangan jika tak ada suporter. Suporter penting untuk penyemangat, selain membeli tiket masuk untuk tambahan dana bagi klub.

Karena itu, klub sepak bola menjalin komunikasi dengan suporternya. Dibuatlah kumpulan suporter dengan nama-nama yang aneh. Persija punya The Jakmania, Persib punya Viking Persib Club, Bali United punya Serdadu Tridatu. Julukan lain masih ada, bobotoh untuk suporter Persib, padahal bobotoh itu artinya pendukung, penyemangat, atau pendamping. Suporter Jakarta juga dijuluki macan Kemayoran, sedangkan suporter Persebaya Surabaya dijuluki bonek-dari akronim "bondo nekat".

Nama itu memberi semangat, tapi di sisi lain juga berpengaruh pada perilaku suporter. Bonek sering masuk stadion tanpa bayar tiket, pergi ke Jakarta "mengawal" Persebaya tak bayar karcis kereta api. Bekalnya pas-pasan-namanya saja bondo nekat-pulang dari Jakarta, menjarah nasi bungkus di stasiun Yogya, misalnya. Ternyata bola menjadi hal yang menakutkan.

Bonek, mania, bobotoh, ataupun macan menyiratkan semangat untuk berperang. Nama Viking pun-diambil dari nama suku bangsa di kawasan Skandinavia-adalah nama suku perompak. Tridatu, yang dipakai suporter Bali United, mungkin kekecualian. Tridatu itu benang tiga warna lambang dewa Brahma, Wisnu, dan Iswara. Kenapa istilah sakral? Konon supaya suporternya bisa lebih damai seolah-olah terbebani oleh nama ketiga dewa itu. Kenyataannya, konon suporter Bali United paling sopan selama ini-meski nama sakral itu ditambahi nama berkonotasi perang juga: serdadu.

Yang jadi masalah, tak semua "laskar perang bola" ini bisa dirangkul oleh klub lewat organisasi suporter. Pengeroyok Haringga di Bandung sudah pasti "suporter jalanan". Mereka bukan penonton bola, mereka menyalurkan semangat perang lewat keramaian sepak bola. Mereka harus beraksi, tak peduli ada korban. Kelompok ini justru mencelakakan klub. Mereka bukan fanatik pada klub, melainkan merindukan kekerasan. Bukankah polisi kaget ketika memeriksa tersangka pengeroyokan Haringga, kok tidak ada yang menyesal?

Kelompok macam ini, yang seolah-olah suporter pemberi semangat tapi nyatanya cuma ingin ribut, tak hanya ada di bola. Di politik juga mulai tumbuh subur. Lihatlah caci-maki di media sosial, termasuk pengeroyokan oleh akun-akun dengan sangat kasar. Calon presidennya saling peluk sembari berkhotbah tentang kedamaian, para suporternya tetap saling maki. Apa sebenarnya yang terjadi? Barangkali pemimpin di atas terlalu asyik dengan lingkungan yang terbatas, sesekali bisa kontrol di lapisan tengah, tapi tidak nyambung dengan akar rumput. Tiba-tiba kaget sudah ada korban.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus