Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAFSIR MODERN TENTANG EMPAT GADIS MARCH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jo yang ingin menjadi penulis dan tak ingin menikah, Meg yang ingin menikah dan hidup mewah, Beth yang sederhana dan Amy yang ingin jadi pelukis. Tafsir baru yang meraih enam nominasi Academy Awards tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LITTLE WOMEN
Sutradara : Greta Gerwig
Skenario : Greta Gerwig
Diangkat dari novel karya Louisa May Alcott
Pemain : Saoirse Ronan, Emma Watson, Florence Pugh, Merryl Streep, Laura Dern, Eliza Scanlen, Timothée Chalamet
Produksi : Columbia Pictures, Regency Enterprises, Pascal Pictures
“Perempuan memiliki daya pikir dan jiwa yang merdeka. Kami memiliki ambisi, bukan hanya kecantikan. Aku lelah bahwa orang selalu menganggap urusan perempuan hanyalah cinta.”
Dialog ini tidak tercantum dalam novel klasik karya Louisa May Alcott. Saat itu, sutradara Greta Gerwig tengah menampilkan suara Louisa May Alcott, si penulis “Little Women”, sastrawan Amerika yang selama hidupnya memang memilih tidak menikah. Dan ucapan Louis disampaikan melalui tokoh Jo , alter ego dan pemeran utama film ini.
Greta Gerwig adalah sutradara ketujuh yang mengadaptasikan novel yang menjadi pegangan banyak anak-anak di dunia. Di Indonesia, di tahun 1960-an, novel ini pernah diterjemahkan dengan luar biasa oleh Gadis Rasid menjadi dua jilid dan diterbitkan oleh penerbit Indira. Novel yang pertama kali terbit tahun 1868 ini bercerita tentang empat bersaudara March, sebuah keluarga bersahaja dari Concord Massachusets, yakni Meg (Emma Watson) si sulung yang cantik dan selalu bermimpi untuk menikah dan hidup bergelimang kekayaan; Jo atau Josephine (Saoirse Ronan) si tomboy yang sangat berbakat menulis, ingin menjadi sastrawan , membenci segala yang berbau feminin dan penuh tanggungjawab terhadap keluarganya; Beth (Eliza Scanlen) sang pianis dalam keluarga yang pemalu dan berfisik lemah; dan si bungsu Amy (Florence Pugh) yang cerdas, manja dan mementingkan diri sendiri. Semua generasi segala bangsa lazimnya sudah membaca novel ini dan selalu saja jatuh cinta dan merasa diwakili oleh tokoh kesukaan masing-masing.Tetapi tak dapat disangkal Jo March adalah kesayangan semua pembaca. Betapa dia sejak kecil, si bandel ini yang paling mandiri, yang selalu berusaha menekan temperamen (dan sering gagal) tetapi sesungguhnya yang paling penuh kasih terhadap adik kakaknya. Tak kurang dari Margaret Atwood hingga J.K Rowling mengaku sangat dipengaruhi oleh spirit Jo March sebagai seorang perempuan yang percaya pada kekuatan kata-kata.
Keenam film sebelumnya—yang paling dikenal adalah versi sutradara Gillian Armstrong (1994) di mana Winona Ryder berperan sebagai Jo March--lazim mengangkat novel ini dengan narasi yang kronologis. Seperti pada novel, rata-rata film-film sebelumnya akan memulai kisah : keempat bersaudara sejak kecil di bawah naungan Marmee atau sang Ibunda hingga remaja penuh perseteruan sampai dewasa dan mereka menemukan nasibnya masing-masing. Di film versi terbaru ini sutradara Greta Gerwig justru menjungkirbalikkannya.
Dia membuka film dengan adegan Jo March dewasa yang berbincang dengan editor sebuah penerbitan, tuan Dashwoon (Tracy Letts) yang memuat cerita pendeknya, sebuah cerita pendek yang ditulis Jo untuk kebutuhan finansial, karena itu dia menggunakan nama samaran karena “saya tak ingin Ibu saya membaca cerita saya yang ini.”
Dan selanjutnya, kita sudah langsung berkenalan dengan Profesor Friedrich Bhaer yang di dalam novel dicantumkan sebagai lelaki paruh baya bangsa Jerman yang menjadi pengajar di New York, dan di dalam film ini diperankan oleh Louis Garrel seorang aktor Prancis beraksen Prancis yang kental.
Baiklah, kita kesampingkan dulu persoalan casting, karena pada dasarnya Greta Gerwig telah membuat cerita “Little Women” menjadi lebih modern dan relevan di abad ini. Bahkan novel ini sudah dianggap progresif di masanya di abad 19 karena tokoh Jo yang sangat mandiri sejak kecil dan dengan sigap menolak cinta Laurie yang kaya raya –di masa itu, perkawinan adalah sebuah jaminan masa depan. Jo lebih mementingkan cita-citanya sebagai seorang penulis. Louisa May Alcott dalam kehidupan pribadinya juga tidak menikah hingga akhir hayatnya, dan draft asli novel yang semi-otobiografi ini konon juga berakhir dengan Jo yang hidup mandiri.
Dalam film ini, sutradara Gerwig memasukkan kehidupan pribadi Louisa May Alcott yang bercampur dengan alter-egonya Jo March. Karena itulah awal dan akhir film ini ditandai dengan pertemuan Jo March dan penerbitnya: Jo sebagai seorang perempuan berbakat yang ingin menjadi penulis; dan Jo yang akhirnya berhasil menulis sebuah novel tentang kehidupan gadis-gadis March. Gerwig dengan cerdas juga menunjukkan campur tangan si penerbit yang mengatakan “sebaiknya pemeran utamanya berakhirnya dengan perkawinan. Atau kematian.”
Maka kita melihat bagaimana Jo March menggambarkan novelnya sesuai dengan permintaan penerbit.
Penekanan inilah yang absen di versi-versi sebelumnya, karena para sutradara film di masa lalu, termasuk Gillian Armstrong, cukup patuh dengan format akhir novel versi penerbit.
Inilah keberhasilan Gerwig dibandingkan para sutradara sebelumnya. Dia melakukan riset sejauh apa kehidupan pribadi Alcott terpancar dalam hidup Jo March. Dan dia memilih mengabadikan sebagian kisah penulis di dalam filmnya.
Selain itu keberhasilan film Greta Gerwig adalah casting para pemain bagus dan nama besar seperti Merryl Streep, Laura Dern, Saorse Ronan, Timothée Chalamet untuk Timothe memerankan tokoh-tokoh yang sudah menjadi kesayangan para pembacanya. Tentu saja dalam versi Gillian Armstrong, kita juga tetap mencintai Susan Sarandon sebagai Marmee yang mesra dan Winona Ryders sebagai Jo March yang ambisius dan penuh cinta pada kakak-adiknya.
Gerwig juga memberikan porsi yang lebih akomodatif kepada tokoh Amy -yang diperankan dengan bagus sekali oleh Florence Pugh (Midsomar). Jika dalam novel maupun adaptasi sebelumnya Amy adalah tokoh yang paling tidak disukai karena dia sangat materialistis dan memikirkan diri sendiri, maka kini Gerwig mencoba menafsirkan sebagai Amy yang rasional: “perkawinan adalah sebuah keputusan ekonomi,” katanya pada Laurie dengan tegas, “kalau saya punya anak dan saya bercerai, anak saya dan seluruh harta saya akan menjadi milik bekas suami saya. Saya tak akan memiliki apa-apa,” demikian Amy sekaligus menggugat hukum di AS yang saat ini masih sangat diskriminatif.
Problem saya pada film versi terbaru ini ada beberapa. Pertama, mungkin jika Gerwig ingin memilih aktor Prancis dengan aksen Prancis yang kental maka nama Profesor Friedrich Bhaer sebaiknya diganti dengan nama Prancis. Hal kecil yang mengganggu. Hal yang lebih penting lagi adalah karena Gerwig memilih ‘menghapus’ tradisi coming of age yang kronologis, ada risiko.Gerwig memulai cerita ketika Meg sudah menikah dan merasa merana dengan kemiskinan suaminya; Jo dewasa sudah mengejar ambisi sebagai penulis sekaligus resah dengan penyakit yang menggerogot tubuh adik kesayangannya Beth dan Amy dewasa tengah menunggu calon suami di Paris sekaligus menyadari bakatnya yang mediocre tak akan membuat dirinya menggapai cita-cita sebagai pelukis terkemuka. Penonton yang belum membaca tak akan sempat menumbuhkan rasa keterikatan kepada setiap karakter itu. Beth sudah sekarat, sehingga jika dia akhirnya pergi, tak ada yang merasa kehilangan karena Gerwig memperkenalkan dia di saat dewasa.
Masa pertumbuhan tokoh-tokoh “Little Women” arahan Gerwig ini muncul beberapa kali sebagai adegan-adegan kilas balik. Cara membedakannya agak memusingkan: warna serba kuning di masa kecil dan warna dominasi biru di masa dewasa. Para pemerannya tetap sama, sehingga penonton harus menebak apakah mereka sedang menyaksikan sebuah kilas balik atau adegan masa kini
Akhir dari film ini adalah serangkaian gambar dahsyat dan sangat modern.Ketika Jo March membuka sekolah untuk anak-anak lelaki, kita tak tahu apakah dia memang menikah dengan Profesor Bhaer atau tidak (meski sesungguhnya dia menerima lamarannya). Untuk saya, dan untuk para pembaca setia novel ini, sudah tak penting apakah dia jadi menikah dengan Bhaer atau tidak. Greta sengaja mengaburkan adegan ini. Itu keputusan brilian. Yang lebih penting adalah adegan akhir: Jo memandang dari balik kaca proses penjilidan naskahnya menjadi buku.
Leila S.Chudori