Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Tentang Tahi Lalat dan Tetek-bengek

17 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Qaris Tajudin

  • Wartawan

    SELAMA ini kita sudah kehilangan humor dan daya imajinasi. Kita semakin serius, kaku, dan tidak jenaka dalam berbahasa, terutama saat mencari nama atau padanan kata dalam bahasa Indonesia. Dari undang-undang hingga istilah digital selalu saja diberi nama yang sangat terperinci dan teknis. Akibatnya, sering kali nama itu menjadi panjang. Pada gilirannya, nama yang panjang itu lalu dibuat singkatan atau akronim hingga kita semakin tak paham dan lebih mengerti jika disampaikan dalam bahasa asing.

    Ambil contoh soal undang-undang. Untuk kepentingan administrasi dan hukum, setiap undang-undang diharuskan memiliki nama resmi, nomor, dan tahun dikeluarkan. Misalnya, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Masalahnya kemudian, nama ini ternyata tidak hanya dipakai di dokumen resmi negara, tapi juga di dalam pemberitaan (lisan dan tulisan). Seolah-olah kita akan merujuk pada undang-undang yang keliru saat hanya menyingkatnya menjadi Undang-Undang Bank Indonesia. Kalaupun menyingkatnya, kerap kali singkatan itu menjadi tak jelas: UU 23/1999. Mirip pin BlackBerry.

    Hal yang hampir mirip terjadi saat kita menerjemahkan sejumlah istilah komputer. Misalnya, kita menerjemahkan hacker menjadi peretas dan cracker menjadi perengah. Saya yakin, siapa pun (termasuk mereka yang akrab dengan komputer) akan bingung dengan istilah peretas dan perengah. Kata dasarnya saja—retas dan rengah (atau engah?)—tak banyak yang paham, apalagi saat dipahami sebagai terminologi baru. Saya yakin, kesia-siaan terjemahan kedua istilah itu ke dalam bahasa Indonesia terjadi karena terlalu serius dan kakunya para pencetus istilah tersebut. Seandainya mau sedikit santai, mereka pasti menemukan istilah yang lebih enak didengar dan lebih mudah dipahami. Hacking—sederhananya—adalah mengkonfigurasi ulang atau mengubah program pada sebuah sistem tanpa seizin pemiliknya. Adapun cracking adalah menjebol masuk dalam sistem komputer yang terproteksi. Dengan demikian, kita bisa saja menerjemahkan hacker sebagai pengacak-acak dan cracker sebagai pembobol (Anda bisa tidak setuju dengan kedua usulan itu, tapi setidaknya berikan kata lain yang mudah dipahami).

    Mungkin Anda bertanya: ”Lalu bagaimana kita membedakan pembobol komputer dengan pembobol rumah?” Ya lihat saja konteks kalimatnya. Toh, dalam bahasa Inggris, kata crack dan hack digunakan untuk banyak hal yang berbeda konteks. Ketakutan seperti itulah yang membuat mereka menerjemahkan mouse komputer dengan tetikus atau cecurut. Mereka takut kalau diterjemahkan menjadi curut atau tikus, orang akan bingung membedakan mana kata yang merujuk pada hewan dan perangkat komputer.

    Dalam bidang lain, terutama di bidang pemerintahan dan militer, hal yang sama terjadi. Sebuah terminologi harus detail dan jelas karena kita takut salah sasaran. Kita memakai pegawai negeri sipil dan menyingkatnya menjadi PNS, karena ada pegawai negeri militer. Tapi bukankah kita tidak pernah memakai istilah pegawai negeri nonsipil atau pegawai negeri militer? Kalau begitu, kenapa tidak kita bilang saja pegawai negeri? Kita juga kerap memakai istilah anggota TNI, padahal bisa dibilang tentara saja. Aneh juga kenapa kita menggunakan istilah kereta rel listrik (KRL) padahal kita bisa menyebutnya kereta listrik saja karena semua kereta pasti ada di atas rel. Juga pemakaian istilah kanal banjir timur seharusnya bisa dibilang kanal timur.

    Seharusnya, istilah-istilah yang panjang dan teknis itu tidak keluar dari pintu kantor pemerintahan, barak, atau laboratorium. Biarlah istilah itu beredar di kalangan mereka dan publik memiliki istilahnya sendiri. Publik tidak hanya berhak memilih istilah yang praktis, bahkan jenaka.

    Memberikan julukan yang jenaka sebenarnya kerap terjadi di masa lampau. Misalnya, bus tingkat generasi awal yang kini ada di Museum Transportasi, dulu dikenal dengan julukan Si Jangkung. Julukan yang seperti itu tidak harus benar-benar pas. Meski memakai Nikon atau Canon, adalah majalah ini di masa lalu yang sering menyebut fotografer sebagai Mat Kodak. Atau, meski kita tak pernah tahu apakah benar kotoran lalat itu berwarna hitam, kita menyebut bintil hitam pada kulit sebagai tahi lalat. Kita juga tak tahu kenapa hal remeh-temeh disebut tetek-bengek.

    Itulah kenapa saya setuju dengan pemimpin redaksi majalah ini yang mengusulkan agar peralatan seperti i-Pad dan Kindle dijuluki sebagai sabak. Bentuknya memang mirip sabak atau batu tulis yang sekarang sudah tidak dipakai lagi. Mungkin ada yang membantah dan mengatakan: ”Bukankah i-Pad tidak hanya dipakai untuk menulis?” Tentu saja, tapi itu sama seperti notebook (komputer jinjing kecil) yang juga tidak hanya untuk menulis.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus