Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MESKI kedua kakinya lumpuh, Profesor Charles Xavier dengan mudah menggerakkan benda-benda di sekelilingnya. Hebatnya lagi, semua itu dilakukannya tanpa menyentuh dan mengeluarkan tenaga fisik. Sang profesor hanya butuh berkonsentrasi. Dengan beberapa helaan napas saja, berbagai ukuran benda otomatis beterbangan dan berpindah ke tempat yang dia inginkan.
Memang Profesor X—begitu Xavier disapa—bukan manusia biasa. Salah seorang tokoh dalam film bergenre fiksi ilmiah terkenal, X-Men, ini memiliki kemampuan telekinetis. Telekinetis adalah kemampuan batin yang mampu menggerakkan obyek fisik tanpa menyentuhnya.
Fiksi seperti dalam film seperti itu mulai terwujud dalam kehidupan nyata. Awal Mei lalu, dalam seminar ”Brain Over Matter”, tim peneliti Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) Institut Teknologi Bandung membuktikan setiap individu benar-benar mampu menggerakkan benda dengan kekuatan pikiran. Tanpa trik sulap dan efek digital komputer, Nala(r)—robot yang digerakkan dengan pikiran—menjawab rasa penasaran manusia. ”Tak ada yang tak mungkin,” kata peneliti utama Nala(r) di STEI ITB, Ary Setijadi Prihatmanto, kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Benar saja, adegan ”sulap” terpampang di depan mata ketika Reza Darmakusuma, 30 tahun, memperagakan Nala(r). Awalnya Reza memasang kabel elektrode di empat titik sekitar tempurung otaknya. Juntaian kabel di kepala Reza itu disambungkan ke sebuah alat bernama electroencephalograph (EEG) yang berfungsi merekam gelombang otak. Lalu EEG dihubungkan ke sebuah komputer yang dipasangi aplikasi Nala(r) berbahasa pemrograman c++ dan virtual basic. Tanpa pikir panjang Reza memejamkan mata. ”Kita bayangkan otak menggerakkan sesuatu,” kata salah seorang peneliti Nala(r) ini.
Dalam hitungan detik, robot menyerupai becak seukuran dua kali bola tenis itu tampak menari-nari. Padahal tidak ada sambungan kabel antara komputer dan robot. Reza, yang berkonsentrasi mengendalikan robot itu, sesekali memejamkan mata seolah menghimpun kekuatan pikirannya. Robot pun bergerak ke kiri dan ke kanan sesuai dengan perintah otak Reza.
Ary menjelaskan, teknologi Nala(r) dikenal dengan istilah brain computing interface. Teknologi ini mengkomunikasikan aktivitas mental manusia yang dihasilkan dalam bentuk gelombang otak dengan komputer. Setiap aktivitas manusia dasarnya merupakan reaksi otak terhadap stimulasi pengindraan. Otak memerintahkan tubuh bereaksi terhadap setiap stimulasi.
Teknologi Nala(r) memungkinkan seseorang memonitor aktivitas otaknya menjadi sebuah perintah yang diolah komputer dalam bentuk data. Sederhananya, mekanisme dimulai dari pemantauan aktivitas di otak, proses penerjemahan dalam perintah, dan berakhir pada keluaran tertentu berupa gerakan obyek.
Ada dua manfaat besar teknologi ini. Pertama, membantu keterbatasan fisik manusia yang mengalami kerusakan pada tubuh, baik fisik, sensor, maupun kognitif (mental impairment). Kerusakan bisa terjadi sejak seseorang lahir atau akibat kecelakaan. Solusinya, diciptakan alat bantu yang dirancang khusus agar setiap penderita ke-terbatasan tetap bisa berinteraksi dengan orang lain secara mandiri. Caranya, otak penderita cacat memerintahkan menggerak-kan suatu benda. Kedua, sebagai teknologi asistif atau penolong, untuk meningkatkan produktivitas manusia secara keseluruhan. ”Intinya meningkatkan kualitas hidup,” katanya.
Di masa mendatang teknologi ini akan berkembang semakin pesat. Di tingkat yang lebih tinggi, dengan memadukan teknologi elektronika dan robotika, brain computer interface bisa langsung dihubungkan dengan fungsi saraf. Penggabungan teknologi yang lazim disebut bioelektronik atau bionik ini sudah di depan mata.
Kuasa pikiran terhadap benda atau yang biasa dikenal dengan mind over matter sebenarnya sudah dikenal sejak 1960-an. Mind over matter merupakan fenomena psikokinesis, yaitu kemampuan otak dalam mengontrol segala macam yang terjadi pada tubuh kita. Nah, penciptaan Nala(r) ini ditujukan sebagai langkah awal dalam pengembangan teknologi bionik.
Di masa depan, satu ide di benak Ary adalah menciptakan sebuah alat bantu di bidang pertanian. Bayangkan, kata dia, seorang petani mampu mengangkut hasil pertanian berton-ton beratnya hanya menggunakan tangannya. Caranya, ya itu tadi, menciptakan sebuah alat bionik yang terintegrasi dengan tubuh manusia dan dapat dikendalikan melalui kemampuan otak. Lebih ekstrem lagi, kemampuan super laiknya pahlawan super Tony Stark di film Iron Man 2 pun bisa dengan mudah direalisasikan. ”Ini zaman revolusi teknologi,” kata doktor informatika terapan di Austria ini.
Guru besar Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Profesor Teguh A. Suhatno, mempertegas kebenaran kekuatan otak. Menurut dia, yang merupakan jejaring bioelektrik yang sangat kompleks itu memiliki kekuatan luar biasa. ”Setiap sel terhubung dengan sel lain dengan variabel mencapai 150 triliun,” katanya.
Senada dengan itu, guru besar Kelompok Keahlian Teknik Biomedika ITB, Profesor Tati R.L. Mengko, mengatakan biomedika bisa menjadi metode rekayasa, sains, dan teknologi yang diaplikasikan sebagai solusi masalah. ”Khususnya untuk kesehatan dan peningkatan kualitas hidup manusia,” katanya.
Ary mengakui teknologi yang dikembangkannya bersama belasan peneliti di STIE ITB ini sangat kompleks lantaran melibatkan kemampuan otak. Alasannya, sinyal otak masih belum terpetakan. Lebih rumit lagi, kata Ary, setiap etnis di dunia memiliki kemampuan berbeda-beda dalam memanfaatkan sinyal otak. ”Ini menarik,” kata pria berusia 37 tahun ini.
Selain Nala(r), sejak 2007, ada beberapa alat serupa yang ditelurkan para peneliti muda ini. Misalnya, eye movements-based game, permainan yang memanfaatkan aktivitas listrik yang dibangkitkan oleh pergerakan lirikan bola mata; alpha rhythm for therapy, mekanisme terapi untuk meningkatkan konsentrasi pikiran melalui latihan relaksasi dengan mata terbuka; Mu-Rhythm application, aplikasi teknologi asistif yang membantu orang dengan keterbatasan fisik (cacat lahir atau kecelakaan) untuk melakukan sesuatu dengan hanya membayangkan pergerakan lengan.
Beberapa alat memang didesain dengan mengedepankan permainan yang menyenangkan. Bukan sembarang game yang ditawarkan Ary dan kawan-kawan, satu di antaranya permainan untuk terapi anak yang memiliki kesulitan berkonsentrasi. ”Jika anak dalam kondisi tenang, indikator ketenangan akan muncul di layar komputer,” katanya.
Jalan panjang pencapaian teknologi yang sempurna masih membentang. Tapi Ary yakin Indonesia memiliki kemampuan yang tak kalah dibanding negara maju. Pria kelahiran Bandung ini tidak membutuhkan orang-orang seperti Einstein untuk menghadapi persaingan yang kian ketat di dunia. ”Semua berawal dari mimpi dan kerja keras.”
Rudy Prasetyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo