Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wawancara itu berlangsung di tengah kerumunan puluhan orang berbaju merah. Berseragam loreng tanpa menyandang senjata, Mayor Jenderal Khattiya Sawatdiphol sedang menerima wartawan New York Times, Thomas Fuller, pukul tujuh Kamis malam pekan lalu. Ketika masuk pertanyaan soal kemungkinan tentara pemerintah masuk ke markas Kaus Merah, terdengar suara letusan. Semua orang berteriak, ”Seh Daeng ditembak!”
Seh Daeng alias Komandan Merah adalah panggilan Khattiya, 58 tahun, yang dikenal sebagai pendukung Kaus Merah—kelompok antipemerintah. Kamis malam pekan lalu, Seh Daeng menerima sejumlah wartawan bergiliran di dekat simpang Ratchaprasong, tempat berkumpulnya demonstran. Fuller, yang berada tak sampai semeter dari Khattiya, merasakan desing peluru. ”Seakan menyerempet kepala saya sendiri,” ujarnya.
Fuller semula menyangka letusan itu suara mercon. Sampai dia melihat Seh Daeng terkapar. Matanya masih terbuka. Darah bercucuran di kepala. Beberapa anak buahnya bergegas membopong ke mobil. Khattiya dilarikan ke Rumah Sakit Narenthorn Emergency Medical Service. Sebagian pengunjuk rasa lain berteriak dan melempar batu ke arah penjaga dan pos polisi. Suara tembakan kembali terdengar dan beberapa orang berkaus merah roboh bersimbah darah.
Sejam sebelum penembakan, pemerintah sudah memutuskan sambungan listrik dan air ke perkemahan di dekat Taman Lumpini itu. Sebelumnya, pemerintah juga menghentikan akses angkutan umum ke lokasi kerumunan Kaus Merah dan mendirikan pos polisi di sekelilingnya. Mereka mengultimatum kelompok Kaus Merah untuk membubarkan diri.
Simpang Ratchaprasong menjadi markas Kaus Merah untuk aksi menentang pemerintah sejak dua bulan lalu. Setiap malam Khattiya rutin mengunjungi tempat ini. Jenderal berbintang dua ini berhenti dari militer sejak dua tahun lalu. Sebelumnya, dia memimpin resimen elite tentara Thailand.
Nama Seh Daeng mencuat ketika terjadi bentrokan berdarah di Monumen Demokrasi dan serangan granat di stasiun kereta Sala Daeng. Pemerintah mengecap Khattiya teroris. Ia diduga mengerahkan pasukan bertopeng yang menembak tentara pemerintah dalam bentrokan itu.
Awal April lalu, wartawan Tempo Yophiandi mewawancarai Seh Daeng di Bangkok. Ia membantah telah melatih massa Kaus Merah dan mengerahkan pasukannya. Khattiya hanya mengaku sebagai pengagum bekas perdana menteri Thaksin. ”Saya suka Thaksin karena kebijakannya yang prorakyat,” katanya.
Khattiya adalah pemimpin Kaus Merah radikal. Dia tegas menolak rekonsiliasi yang ditawarkan pemerintah. Dengan lantang dia mengancam akan mengambil alih komando jika pemimpin Kaus Merah lain lembek dan menghentikan demonstrasi. Ia menyebut koleganya yang memilih negosiasi dengan pemerintah sebagai idiot.
Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva menawarkan pembubaran parlemen pada September dan menyelenggarakan pemilihan umum November mendatang. Syaratnya, kelompok Kaus Merah menghentikan demonstrasi. Rekonsiliasi itu batal karena tak ada kesepakatan. ”Saya harus membatalkan karena pengunjuk rasa menolak bubar,” ujar Abhisit.
Kaus Merah tetap bertahan di simpang Ratchaprasong. Khattiya pun memberikan jaminan keamanan kepada para penentang Perdana Menteri Abhisit itu. Menurut dia, semua pengunjuk rasa sangat keras dan memiliki semangat tinggi untuk berjuang. ”Saya tak takut mati,” katanya. ”Kalau saya takut, siapa yang akan memimpin Kaus Merah?”
Kini sang jenderal terbaring. Telunjuk mengarah ke pemerintah sebagai pelaku penembakan. Kolonel Dithaporn Sasasmit, juru bicara Komando Operasi Keamanan Internal, membantah jika dikatakan menembak Khattiya. Ia mengatakan telah menginstruksikan pasukannya supaya tak menggunakan kekerasan.
Tertembaknya Khattiya membuat pendukung Kaus Merah mengamuk. Bentrokan pengunjuk rasa dan polisi kembali terjadi. ”Kami akan berjuang sampai titik darah penghabisan,” mereka berteriak penuh semangat.
Pemerintah menjawab dengan menetapkan keadaan darurat di 17 provinsi. Komisi Penanganan Keadaan Darurat menyatakan tentara akan bertindak tegas kalau ada pengunjuk rasa yang berlebihan.
Yandi M.R. (Bangkok Post, NYT, AFP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo