Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Toleransi sejatinya keterbukaan kita dalam menerima orang lain yang berbeda agama atau kepercayaan dengan kita.
Toleransi, hakikatnya, juga penerimaan kita terhadap orang lain dalam mengamalkan agama atau kepercayaannya.
Untuk menjadi toleran, seseorang yang beragama A tak perlu beribadah di tempat ibadah agama B, begitu pun sebaliknya. Seseorang yang beragama C juga tak perlu mengucap salam agama D, demikian pula sebaliknya.
“Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Salam sejahtera bagi kita semua. Shalom. Om Swastiastu. Namo Buddhaya. Salam kebajikan.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG menteri mengawali pidatonya dengan enam salam tersebut, pada suatu pagi, di satu acara, yang dihadiri tokoh berbagai agama. Saya belum tahu sejak kapan pengucapan satu per satu salam agama-agama yang ada di Indonesia membudaya dalam birokrasi kita. Yang saya tahu, hari-hari ini, makin sering saya saksikan pejabat kita menggunakan retorika itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kenapa sang menteri harus merinci enam salam sekaligus saat akan berkata-kata? Saya duga, alasannya satu: toleransi. Agar hadirin dengan beragam agama tenang dan senang. Kalaupun ada alasan kedua, mungkin saja siasat untuk meraih simpati masyarakat sebagaimana modus para calon presiden atau calon anggota legislatif.
Tapi, kalau alasannya murni demi toleransi, apakah toleransi harus diwujudkan dengan cara begitu? Apakah untuk disebut toleran, seseorang harus mengucapkan salam agama-agama satu per satu saat berbicara di depan khalayak?
Toleransi sejatinya keterbukaan kita dalam menerima orang lain yang berbeda agama atau kepercayaan dengan kita. Toleransi, hakikatnya, juga penerimaan kita terhadap orang lain dalam mengamalkan agama atau kepercayaannya. Untuk menjadi toleran, kita hanya perlu sama-sama membuka diri dan menerima siapa pun yang berbeda dalam menjalankan ibadah atau ritualnya tanpa mengganggu satu sama lain. Untuk menjadi toleran, seseorang yang beragama A tak perlu beribadah di tempat ibadah agama B, begitu pun sebaliknya. Seseorang yang beragama C juga tak perlu mengucap salam agama D, demikian pula sebaliknya.
Toleransi adalah wilayah hati, wilayah pikiran, yang terejawantah dalam sikap dan perbuatan. Toleransi bukan sekadar wilayah lisan atau ucapan. Tak ada artinya kita berucap salam agama lain tapi dalam hati kita berkobar kebencian kepada penganutnya, atau pikiran kita terusik apabila melihat mereka menjalankan ajaran agamanya. Sebagaimana tak ada artinya kita berucap selamat hari raya kepada umat agama lain, tapi niat kita hanya agar disebut toleran, atau untuk mengejek orang lain yang tak berucap selamat hari raya kepada mereka sebagaimana kita.
Mengucap salam agama-agama sekaligus dalam suatu acara saya kira mubazir. Kita punya ungkapan salam dalam bahasa Indonesia yang ringkas dan meliputi semua kalangan dari berbagai agama dan kepercayaan. Ucapkan saja selamat pagi kalau acaranya digelar pagi, selamat malam jika acaranya malam, juga selamat siang atau selamat sore apabila acaranya siang atau sore. Mudah, kan?
Selain lugas, bersalam dengan ucapan selamat pagi sudah memenuhi tujuan pengucapan salam. Kata selamat bermakna harapan agar orang yang diajak berkomunikasi mendapatkan keselamatan, kebahagiaan, kedamaian, kesehatan, atau keberuntungan. Andai dalam acara tersebut menteri itu cukup berkata selamat pagi, dia pun jadi teladan dalam melestarikan bahasa Indonesia. Apalagi, hari-hari ini, banyak orang terkena virus minder memakai bahasa Indonesia sebagaimana yang menjangkiti kalangan kelas menengah kita.
Mengucapkan salam agama-agama seperti yang diucapkan sang menteri saya kira justru tidak toleran. Selain enam agama resmi yang diakui negara, ada banyak agama dan kepercayaan di Indonesia. Kalau kita mengawali perkataan dengan enam salam agama resmi saja, bagaimana perasaan saudara-saudara kita yang beragama dan berkepercayaan lain di luar itu tapi ada dalam acara yang sama?
Toleransi akan tegak apabila persamaan yang ditonjolkan. Sebaliknya, toleransi akan roboh jika perbedaan yang terus-menerus ditampakkan. Ucapan selamat pagi dan sejenisnya adalah persamaan salam dalam berbangsa dan bernegara. Sedangkan menyebut satu per satu salam agama-agama, yang ditampakkan justru perbedaannya. Pengamal agama ini salamnya ini, penghayat agama itu salamnya itu. Ambyar!
Namun kita tak perlu norak lalu sok nasionalis dengan mengubah salam agama-agama itu jadi Salam Pancasila. Sebagaimana beragama tak perlu ditunjukkan dengan ucapan, dalam berpancasila pun tak perlu dibuktikan dengan seungkap salam. Berpancasila cukup dibuktikan dengan tidak melakukan korupsi, karena korupsi menodai sila pertama dan empat sila setelahnya.
Sayangnya, bukan hanya pejabat yang berucap salam agama-agama saat mengawali perkataan. Kalangan intelektual, akademikus, juga seniman dan sastrawan, kita pun, yang semestinya mengawal dan merawat bahasa Indonesia, ikut-ikutan latah meniru basa-basi para politikus itu.
Apakah ini tanda sebegitu dalamnya pengaruh politik(us) di alam bawah sadar kaum terpelajar kita?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo