PEMBENTUK sebuah persatuan antarmanusia adalah seperti menggali sebuah sumur. Bila seseorang menggali cukup dalam, ia akan dapat mencapai mata air kemanusiaan yang sama dan sebuah sumber komunikasi yang murni. Bila tidak, ia akan mengubur diri dalam liangnya sendiri. Analogi ini datang dari Prof. Tu Weiming, seorang guru besar yang bijaksana, yang mengajar sejarah dan filsafat Cina di Harvard University. Pada tahun 1982, Prof. Tu diundang ke Singapura. Pemerintah Singapura sedang ingin mengajarkan Etika Konfusius bagi murid sekolah menengah, sebagai salah satu pilihan pendidikan moral. Tentu saja ini akibat rasa cemas para pemimpin Singapura, negeri kota yang selalu cemas itu: mereka merasa tak tenteram memandang anak-anak muda mereka yang menghuni rumah-rumah susun yang necis, yang melintasi jalan-jalan yang mulus dan etalase-etalase yang meriah dan mengisi kantor-kantor dagang yang megah. Sejumlah besar kepala manusia telah digosok sampai gemerlap seperti kelereng dalam proses pertumbuhan ekonomi Singapura yang pesat, tapi mereka enteng, melayang-layang, orang-orang kosong, the hollow men, the stuffed men, manusia kontemporer dalam sebuah sajak suram T.S. Eliot. Bagi para pemimpin Singapura, yang senantiasa gemar merekayasa kehidupan masyarakatnya, kesimpulannya jelas: ubah itu semua. Suruh anak-anak belajar pendidikan moral. Suruh mereka memilih untuk mempelajari Bibel, Islam, ajaran Budhis, Hindu, Sikh, agama-agama dunia, atau etika Konfusius... Apabila orang Singapura secara istimewa tertarik untuk menelaah kemungkinan-kemungkinan Konfusianisme, agaknya bisa dipahami. Bukankah ajaran Bapa Kong dari Cina ini yang akhir-akhir ini sering dianggap sebagai dasar bagi bangkitnya ekonomi di "empat naga" Asia Timur? Dan bukankah, seperti kata Bapa Lee, kebudayaan yang akarnya Cina, dan bukan yang akarnya India, yang tangkas dalam kerja menumbuhkan ekonomi? Namun, Tu Wei-ming, salah satu ahli Konfusianisme yang terkemuka di dunia, bukan seorang penganjur ajaran yang satu sisi. Mengawali pelbagai diskusi di Singapura -- yang dibukukan dalam Confucian Ethics Today, The Singaporean Challenge -- ia berkata, "Saya datang, ke sini bukan untuk mempromosikan Konfusianisme atau mempertahankannya...." Tu bahkan tak serta-merta mengiyakan bahwa hanya dengan Konfusianisme orang bisa menjelaskan bangkitnya ekonomi di Asia Timur. Jepang, dengan identitas etnis yang sangat tua dan eksklusif, dengan tradisi feodalisme yang berakar dalam, yang menyebabkan orang menerima hierarki tanpa banyak cingcong, berbeda dengan Singapura. Hong Kong, yang stabilitas dan dinamismenya juga terbentuk oleh tradisi civil service Inggris, lain dari Taiwan. Lagi pula, bagaimana menghubungkan Konfusianisme dengan semangat entrepreneur? "Jika seseorang sepenuhnya mempertautkan diri dengan etika Konfusian pada tingkat yang paling tinggi," kata Tu, "ia akan mengolah kesadaran diri ke arah kebajikan, bukan keinginannya akan laba." Dan bila seseorang mengikuti ajaran Mencius, salah satu penerus tradisi Koofusian yang terkemuka itu, yang lahir adalah manusia yang bersimpati kepada penderitaan orang lain, manusia yang tahu akan rasa malu, yang tahu mana yang benar dan yang salah -- dengan kata lain, jenis manusia yang mungkin tidak agresif, ekspansif, dengan bakat konglomerat. Memang, Tu melihat kemungkinan bahwa pembentukan watak oleh ajaran Konfusius dalam beberapa lapis generasi di Timur jangan-jangan ikut melahirkan motivasi pembentukan modal di kawasan ini, lewat proses yang berbeda dari sejarah kapitalisme di Barat. Namun, memang belum terjawab, mengapa baru beberapa dasawarsa terakhir, dan bukan di jauh hari sebelumnya, ketika Konfusianisme masih "utuh", Jepang, Taiwan, Hong Kong, Korea, dan Singapura bisa meloncat ke dalam pertumbuhan ekonomi yang pesat. Pasti jawabnya tidak sederhana. Orang yang gemar membuat analisa kebudayaan sering lupa bahwa suatu konsensus mengenai nilai-nilai tidak terjadi hanya melalui satu jalur ajaran. Faktor pengalaman dalam sejarah, ketika manusia harus memberi jawaban kepada satu dilema moral yang kongkret, akhirnya sangat menentukan. Maka satu bentuk akhlak tak dengan begitu saja bisa ditransmisikan. Tu Weiming memperingatkan, bagaimana anjuran dan ajaran moral yang simplistis tak pernah berhasil. Di Cina dulu, waktu kaum Kuo mintang berkuasa, ada gerakan Xin shenghuo atau "gerakan hidup baru". Penataran dijalankan, seluruh bangsa diajar, tapi hasilnya nihil: akhlak tak berubah, korupsi jalan terus, dan rezim jatuh. Mungkin karena indoktrinasi cenderung seakan bergerak dalam sumur sempit yang dangkal. Di sana, jika kita tak terkubur d lubang kita sendiri, kita akan hanya pura-pura betah tapi terimpit. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini