Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGAKUAN Agus Condro jelas membenarkan rumor yang sudah lama beredar: uang berkuasa dalam pemilihan pejabat publik di negeri ini. Dengan kesaksian begitu meyakinkan, Agus menguak salah satu skandal besar pemilihan pejabat itu: terpilihnya Miranda Swaray Goeltom sebagai Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia pada 2004 ternyata bergelimang ”amplop”.
Seperti syair sebuah lagu, lagi-lagi uang yang bikin para pejabat dan wakil rakyat mabuk kepayang. Sudah begitu ramai disorot publik, praktek busuk itu masih saja terus ”abadi”. Kalau tidak ada tindakan berarti dari aparat hukum, bisa-bisa jabatan publik di negeri ini ditentukan oleh tukang suap dan pemakan suap.
Sudah tepat tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi menelisik kasus ini. ”Nyanyian” Agus, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, apa pun motifnya, perlu terus dikembangkan. Rasanya tidak terlalu sulit mengusut semua yang terlibat meloloskan Miranda melalui ajang uji kelayakan dan kepatutan di Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Golkar menjadi faktor penting, karena kedua partai itu mengantongi 32 dari total 54 suara.
Sebagai saksi mahkota dan whistle blower, Agus berhak mendapatkan perlindungan hukum agar bisa leluasa bicara tanpa rasa takut. Kendati sempat menikmati mobil Mercy yang dibelinya dari ”amplop Miranda” itu, Agus semestinya mendapat keringanan hukuman dengan kesaksiannya ini. Lembaga Perlindungan Saksi perlu ikut mengamankan Agus sebagai aset penting untuk menguak lebih tuntas kasus ini. Pasti akan banyak tekanan yang akan, atau sudah, diterima Agus dengan menyeret-nyeret sejumlah rekannya di Dewan Perwakilan Rakyat.
Bahwa Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan waktu itu, Emir Moeis, membantah kesaksian Agus, itu bukan alasan mengendapkan perkara ini. Malah Emir mesti segera diperiksa mengingat peran vitalnya dalam memberikan arahan kepada anak buahnya di Komisi itu. Tantangan Emir yang berani disumpah pocong tak usah digubris. Prosesi itu, selain tak dikenal dalam sistem hukum kita, bikin repot. Seorang ustad harus disiapkan, plus kain kafan, dan yang paling krusial adalah menunggu yang bersalah wafat—yang tak akan jelas ia wafat karena takdir atau kena tulah.
Dudhie Makmun Murod yang, menurut pengakuan Agus, membagi-bagikan amplop, dan sejumlah politikus yang diduga menerima jatah ”uang terima kasih” berisi cek perjalanan Rp 500 juta itu harus diperiksa satu per satu. Pendek kata, aktor utama sampai figuran harus diusut dan diganjar hukuman setimpal.
Tentu saja Miranda Goeltom wajib ikut diperiksa. Pengakuan kawan dan kakak kelas Emir Moeis ketika sama-sama bersekolah di Sekolah Menengah Atas 3 Jakarta itu perlu untuk menguak dugaan kongkalikong yang selama ini terselubung. Miranda mungkin berkata benar ketika ia mengatakan tak mengenal Agus Condro. Tapi patut diragukan ia tak mengetahui ada seorang atau sekelompok orang yang bekerja sebagai ”tim sukses” untuk meraih posisi yang kini didudukinya. Soal pengetahuan Miranda tentang detail sepak terjang tim itu, orang nomor dua bank sentral itu bisa menjelaskannya kelak di depan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Komisi perlu juga mewawancarai para pesaing yang dikalahkan Miranda waktu itu. Siapa tahu mereka juga sudah mengucurkan dana ke Senayan.
Pemilihan pejabat publik mesti diselamatkan dari praktek jorjoran duit pelicin. Seandainya benar seorang pejabat harus menghamburkan sekian puluh miliar—entah dari kantong sendiri entah dari ”sponsor”-nya—tak masuk akal ia tak mengharapkan ”modal”-nya kembali ketika menjabat. Gaji yang diterima diyakini tak akan pernah cukup menambali dana ”amplop” yang sudah keluar. Mudah ditebak, korupsi akhirnya menjadi pilihan yang gampang dilakukan.
Hukum harus tegak dan siapa pun yang terbukti bersalah harus dihukum setimpal. Dari pengusutan aparat nanti akan jelas satu hal penting: tindakan tercela ini sudah berjangkit ke semua fraksi dan komisi di Senayan ataukah masih sebatas kalangan ”mafia” tertentu.
Tugas yang tak kalah penting adalah membuktikan apakah prosesi tebar amplop itu atas perintah partai, fraksi, komisi, atau inisiatif orang per orang. Masalahnya, dari setidaknya delapan kasus suap di Dewan yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi, hampir semua menyangkut kebijakan yang ditetapkan komisi-komisi. Lagi-lagi komisi antikorupsi bertugas membuktikannya kelak.
Kalau mau membantu, dan sedikit menyelamatkan wajahnya yang babak-belur, partai politik perlu mengharuskan anggotanya menandatangani pakta integritas. Di dalamnya mesti termuat klausul kesediaan mundur bila terbukti menerima suap atau melakukan korupsi. Partai, juga kita semua, semestinya setuju untuk satu hal mendasar: tidak membiarkan negeri ini jatuh ke tangan para tukang suap dan maling.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo