Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Pemilu dengan Sistem 'Banci'

Kuasa partai lebih besar daripada pemilih dalam aturan baru pemilu. Indonesia perlu sistem distrik.

25 Agustus 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA boleh buat, keinginan memilih wakil rakyat dengan lebih demokratis belum sepenuhnya terlaksana. Memang ada perbaikan dalam Undang-Undang Pemilu Legislatif Nomor 10 yang disahkan April lalu, tapi tak cukup signifikan. Hal paling substantif justru tidak berubah: partai masih memegang hak menentukan nomor urut calon.

Akibat aturan itu, setidaknya dua partai berpengaruh di Senayan-Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Keadilan Sejahtera-berkukuh memakai sistem proporsional terbuka-tapi-terbatas. Pada pemilihan umum empat tahun lalu sistem itu terbukti kurang mencerminkan aspirasi pemilih. Banyak calon yang meraih suara lebih banyak daripada calon di "atas"-nya, tapi kurang dari kuota yang disyaratkan, gagal duduk di Senayan dan menyatakan ketidakpuasan secara terbuka kepada partainya.

Dalam pemilu mendatang kejadian tak menyenangkan itu tetap bisa berulang. Rakyat mencoblos wakil rakyat yang dikehendakinya, tapi partai tetap menentukan calon yang lolos ke Senayan. Kedaulatan pemilih seakan dicukur oleh partai jika calon yang dicoblosnya tidak berhasil mencapai kuota-yakni 30 persen dari bilangan pembagi pemilih. Dalam kasus begini, suara si calon harus diserahkan kepada calon lain dengan nomor urut lebih kecil. Kita tahu, seperti juga dalam pemilu lalu, partai berkuasa penuh menentukan nomor urut calon.

Ada sedikit harapan ketika Partai Amanat Nasional, Partai Demokrat, dan Partai Golkar menyatakan akan menerapkan sistem terbuka murni. Berarti calon dari ketiga partai itu yang lolos ke Senayan akan ditentukan hanya berdasarkan jumlah perolehan suara. Tentu patut disayangkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Keadilan Sejahtera tidak tertarik mendahulukan kedaulatan rakyat ketimbang kedaulatan partai dengan berbagai alasan.

Patut diduga bakal banyak suara rakyat yang dikalahkan oleh nomor urut. Lihat saja statistik suara Pemilu 2004. Ketika itu hanya 28 persen dari 550 anggota Dewan yang berhasil mengumpulkan suara di atas 25 persen bilangan pembagi pemilih. Dengan kuota 30 persen, dipastikan lebih banyak lagi calon yang tak mampu menembus bilangan pembagi pemilih. Akibatnya, akan terjadi lebih banyak penyerahan suara kepada calon dengan nomor urut lebih kecil. Dampak politik yang bisa dibayangkan, banyak calon dengan legitimasi kurang kuat dari pemilih hadir di Senayan. Dikhawatirkan anggota Dewan lebih merasa memiliki ikatan dengan partai ketimbang pemilihnya.

Mengoreksi keadaan ini sebenarnya cukup dengan menerapkan sistem proporsional terbuka murni. Namun, dengan kuasa menentukan nomor urut di tangan partai dalam sistem ini, ada kesan kedaulatan rakyat tetap lebih rendah dibanding kedaulatan partai. Belum lagi alasan psikologis dalam soal urutan calon: selalu ada kesan calon nomor kecil lebih "berkualitas" dibanding di bawahnya.

Kalau Indonesia mau menganut sistem pemilu yang mempercayai suara rakyat adalah suara Tuhan-seperti ungkapan Latin, vox populi, vox Dei-seharusnya dipilih sistem distrik. Dalam sistem ini, rakyat di suatu daerah pemilihan hanya memilih calon-calon yang sudah jelas. Seleksi calon oleh partai tentu melibatkan pengurus partai di daerah pemilihan tertentu, sehingga hanya calon yang dikenal baik di daerah itu yang maju ke ajang pemilihan.

Bisa jadi partai yang kuat infrastrukturnya akan meraih dominasi dengan sistem distrik ini. Tapi bukankah partai memang harus bekerja keras memperkuat dirinya. Yang lebih penting, untuk menjamin kedaulatan rakyat, pada Pemilu 2014 semestinya pemilu sudah bisa dilaksanakan dengan sistem distrik murni.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus