Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NASI dan aneka lauk-pauk terhidang di depan Agus Condro Prayitno, 47 tahun. Mematikan Dji Sam Soe yang baru diisap setengah, segera tangannya mencincang gulai kepala kakap. Di rumah makan Padang lantai dasar Plaza Indonesia, Jakarta, Rabu pekan lalu, Agus memang sedang lapar berat. Maklum, beberapa jam sebelumnya, ia baru tiba dari Batang, Jawa Tengah.
Dari Stasiun Gambir, ia langsung ke studio SCTV untuk sebuah wawancara. Keluar dari studio, belum sempat makan siang, ia ke Senayan memenuhi panggilan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Satu jam di sana, ia menggelar konferensi pers. Setelah itu, Agus lompat ke studio TVOne untuk wawancara lain.
Semua tentang hal yang sama: pengakuannya soal suap Rp 500 juta seusai pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Sentral, pada 2004. Tak hanya mengelaborasi rasuah itu, di sejumlah wawancara Agus menuding sejumlah petinggi PDI Perjuangan yang menurut dia tak berkeringat. ”Ke mana orang-orang itu saat kami menggulingkan Soeharto?” katanya.
Agus memang meradang. Menurut Sekretaris Jenderal Pramono Anung, Agus kecewa. ”Saya tidak tahu apa yang membuat dia kecewa,” katanya.
Sejumlah ”lawan” politik Agus di PDI Perjuangan menuding ia membuka soal suap Bank Indonesia ke partai banteng karena gagal menyorongkan istrinya, Ellya Nuraeni, 42 tahun, ke kursi Bupati Batang dalam pemilu daerah 2007. Ellya gagal karena tak disokong pimpinan pusat PDI Perjuangan. Ada kabar, petinggi PDI Perjuangan Panda Nababan-lah yang berkeras agar Ellya tak diusung.
Rekomendasi PDI Perjuangan pusat diberikan kepada Bambang Bintoro, incumbent sekaligus Ketua Dewan Pengurus Cabang PDI Perjuangan. Dalam pemilihan kepala daerah itu, Bambang akhirnya terpilih kembali menjadi Bupati Batang, periode 2007-2012.
Hubungan Bambang dan Panda memang unik. Pada 2003, Bambang pernah meminta bantuan Panda saat Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara mendapat laporan tentang dugaan korupsi Rp 58 miliar anggaran pendapatan dan belanja daerah yang dilakukan Bambang. Sumber Tempo menyebutkan Agus-lah yang membongkar dugaan korupsi itu.
Laporan dugaan korupsi ini mental di Jakarta. Panda, kata sumber itu, mampu meyakinkan polisi bahwa Bambang tidak menyeleweng. Ihwal ini, Panda menyatakan, ”Tidak ada bukti kuat Bambang korupsi.” Soal tudingan bahwa ia memotong istri Agus sehingga tidak turun rekomendasi partai, Panda bungkam. ”Saya tidak tahu-menahu soal Ellya,” katanya. Tempo berusaha menda-patkan konfirmasi Bambang melalui telepon seluler dan mendatangi kantornya di Batang, Kamis pekan lalu. Tapi yang muncul hanya Agung, ajudan Bambang. Hingga akhir pekan lalu, Bambang belum mau memberikan konfirmasi.
Hal lain yang membuat Agus gerah, dalam daftar calon anggota legislatif sementara Pemilu 2009, ia hanya mendapat ”nomor sepatu”. Di daerah pemilihan Banyumas dan Cilacap, ia duduk di nomor urut tujuh. Di sana, pada Pemilu 2004, PDI Perjuangan hanya mendapat tiga kursi. Pada Pemilu 1999 dan 2004, Agus selalu mendapat nomor jadi untuk daerah pemilihan Batang, Pekalongan, dan Pemalang. Agus menampik kabar bahwa perkara rebutan kursi inilah yang melatarinya melakukan aksi buka-bukaan. ”Itu urusan ecek-ecek. Saya bukan politikus kemarin sore,” katanya.
LAHIR dari keluarga petani pasangan Su’udi-Istianah, memulai karier politiknya sebagai anggota Partai Demokrasi Indonesia—fusi partai nasionalis dan partai non-Islam—pada 1977. Pada Pemilu 1977, Agus yang masih duduk di kelas II Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Pekalongan menjadi saksi PDI di tempat pemungutan suara di kampungnya.
Lulus sekolah menengah atas pada 1980, Agus kuliah di Jurusan Komunikasi Universitas Sebelas Maret. Lahir di Batang, ia aktif di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia—lembaga onderbouw Partai Nasionalis Indonesia. Pada 1983-1985, Agus adalah Ketua GMNI Solo. Selanjutnya, selama dua tahun, ia naik pangkat menjadi Koordinator Daerah GMNI untuk Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Bersamaan dengan itu ia juga pemimpin Yayasan Bakti Satria, lembaga pelatihan yang dibiayai donor dari Belanda.
Ketika Megawati dijegal dalam Kongres Luar Biasa Partai Demokrasi Indonesia di Surabaya, 1993, Agus berdiri di belakang putri Bung Karno itu. ”Di Surabaya, saya tidak boleh masuk ruang kongres karena panitia tahu saya mendukung Megawati,” kata Agus. Kongres Surabaya adalah cikal-bakal lahirnya PDI Perjuangan.
Agus adalah anak muda yang berani mencalonkan Megawati sebagai presiden pada 1995, saat kekuasaan Soeharto masih kukuh. Kala itu ia membentuk Forum Komunikasi Warga Pendukung Megawati.
Saat peristiwa 27 Juli 1996 terjadi—penyerangan aparat terhadap kantor Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro, Jakarta—Agus baru tiba di Jakarta bersama anak pertamanya, yang masih enam tahun. Beruntung ia tak ke lokasi yang sudah porak-poranda, karena dicegah oleh sejumlah pendukung Mega. Keesokan harinya, ia kembali ke Batang.
Kini, 12 tahun setelah peristiwa berdarah itu, Agus membuka borok partainya. Ia mengaku mencintai PDI Perjuangan, seburuk apa pun partai itu. Ia tak ingin mundur atau lompat ke partai lain. ”Saya yakin kelak ada perubahan di partai saya,” katanya.
Kini Agus hidup di dua tempat: Jakarta dan Batang. Di Jakarta. ia tinggal di Apartemen Teluk Gong, Pluit, Jakarta Utara. Di Batang, ia hidup bersama istri dan tiga anaknya. Istrinya membuka warung makan dan Agus, kabarnya, tengah merintis peternakan domba.
Sunudyantoro, Yugha Erlangga, Bunga Manggiasih, Yuliawati (Jakarta), Edi Faisol (Batang), Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo