Onghokham*)
*) Sejarawan
SAYA ini seorang sejarawan. Dalam ilmu sejarah memang ditelusuri kisah banyak raja, dinasti, dan penguasa masa silam lainnya, termasuk menteri, jenderal, bupati, bahkan orang kayanya. Sementara itu, di masyarakat kita, perkara kekuasaan dan kekayaan sering dihubungkan dengan hal-hal gaib atau mistik, termasuk dengan apa yang disebut sebagai wangsit. Wartawan dalam dan luar negeri sering bertanya kepada saya tentang hal ini. Perbedaannya adalah isi pertanyaannya.
Wartawan Indonesia akan bertanya kepada saya, betul tidak ada wangsit atau masalah gaib/mistik yang berkaitan dengan kekuasaan, atau sampai di mana ada kekuatan tersebut. Sedangkan wartawan asing akan bertanya kepada saya, sejauh mana penguasa di Indonesia dipengaruhi mistik/wangsit/dukun dalam mengambil keputusan politik. Khususnya pada zaman Soeharto, banyak wartawan dalam dan luar negeri menanyakan hal ini. Kedua pertanyaan itu sesungguhnya membuat saya agak kesal. Saya bukan penguasa ataupun dukun, melainkan sejarawan, yang tentunya perlu bukti yang dapat dibaca, dilihat, atau diketahui semua orang.
Misalnya, kata orang—antara lain tokoh paranormal Permadi—kekuasaan Abdurrahman Wahid saat menjadi presiden terletak pada cincinnya. Saya sebagai orang awam tidak tahu apakah cincin Abdurrahman memiliki wangsit kepresidenan atau tidak. Tapi apa yang saya ketahui sebagai sejarawan—dan ini yang terpenting bagi saya—adalah berapa suara di MPR dan dari partai mana saja yang memilihnya sebagai presiden, dan kemudian berapa suara dan partai apa saja yang menjatuhkan Abdurrahman dari kepresidenannya, lalu bagaimana sikap politis ABRI pada masa jabatannya. Untuk semua ini, baik saya maupun orang lain jelas dapat mengetahuinya. Kalau mengenai wangsit kepresidenan pada cincin Abdurrahman, jelas sekali saya tidak tahu karena tidak bisa melihat atau merasakannya—seperti juga dukungan kekuatan gaib pada raja-raja Jawa dari Nyai Loro Kidul atau Sunan Gunung Lawu. Tapi baru-baru ini saya ternyata dilibatkan lagi secara langsung dengan masalah wangsit itu.
Pada Jumat malam Sabtu, malam menjelang tanggal 17 Agustus, saya dijemput stasiun televisi Lativi untuk berbincang-bincang bersama Saudara Permadi, tokoh paranormal, tentang kesibukan Menteri Agama dengan situs Batutulis, Bogor, yang sudah diberitakan media pada hari-hari itu. Interview dengan Lativi tersebut disiarkan pukul 11.30 malam. Tentu tidak banyak orang yang melihatnya. Saya sendiri tidak sempat menontonnya.
Saya ketika itu baru mendengar bahwa Menteri Agama mengurus masalah batu tulis di depan rumah kediaman proklamator RI tersebut, yang diduga menutupi harta karun yang besarnya cukup untuk membayar utang Indonesia, baik kepada IMF maupun kepada yang lainnya. Dikatakan jumlahnya sekian triliun dolar atau rupiah.
Reaksi pertama saya adalah apa hubungan situs purbakala Batutulis dengan Menteri Agama. Situs purbakala, khususnya kalau mengandung harta karun, adalah wewenang jawatan purbakala dan para ahlinya (arkeolog). Tapi di Indonesia, kalau ada situs purbakala yang ditengarai ada hubungannya dengan kekuasaan atau diduga memiliki kesakten (kesaktian), tampaknya lantas diserahkan kepada Menteri Agama. Mungkin karena ada hubungan magisnya. Dan ini dijadikan dasar ikut campurnya Menteri Agama, terlepas apakah dia mendapat wangsit langsung atau karena Presiden mendapat wangsit harta karun dan meneruskannya kepada Menteri Agama.
Saudara Permadi, yang terkenal sebagai tokoh paranormal dan penghayat kepercayaan, dengan gembira menyambut keputusan menteri itu—yang dalam kondisi normal mungkin mengatakan bahwa persoalan ini musyrik—tapi juga menyarankan agar menyerahkannya kepada jawatan purbakala yang berwenang atasnya. Pun seandainya ada persoalan wangsit dari kekuatan gaib/supernatural, baik menurut Saudara Permadi maupun pihak Lativi, sepatutnya bukan Menteri Agama yang memanggil dan menggunakan dukun (yang ternyata disebut dukun gombal oleh Permadi).
Untuk mengeluarkan harta karun itu, menurut wartawan Lativi, kalau ada masalah wangsit atau kesaktian, ini seharusnya bukan masalah pejabat seperti Menteri Agama, melainkan masalah tokoh paranormal seperti Saudara Permadi, yang juga anggota PDIP dan separtai dengan Ibu Presiden. Pendapat wartawan Lativi, Saudara Adolph Kusuma, disambut baik Permadi, yang mengatakan bahwa beliau sebagai penasihat tidak lagi dipakai Presiden, yang kini menggunakan dukun-dukun zaman Orba, Soeharto dan Golkar. Bagi saya, yang perlu dipermasalahkan adalah, pertama, penggunaan dukun, entah dari PDIP, Golkar, atau Menteri Agama sendiri. Kedua, masalah wangsit pada Presiden atau Menteri Agama sendiri, dan ketiga, masalah wangsit dalam sejarah.
Tentu bukan raja di Indonesia saja yang memiliki masalah wangsit. Bahkan Saudara Permadi mengatakan bahwa masalah wangsit juga sudah menular/menyebar ke Amerika. Katanya, Presiden Reagan mendengarkan nasihat peramal (yang menyebabkan berita heboh di negeri tersebut). Selain itu, Hitler, Stalin, dan lainnya pernah percaya kepada dukun atau peramal. Orang yang mencapai kedudukan kekuasaan seperti Soeharto, misalnya, tentu merasa istimewa dan merasa ditakdirkan oleh Tuhan untuk memenuhi peran kuasa di dunia dan bisa percaya bahwa tentu dapat tetap berkomunikasi dengan kekuatan supernatural ini. Kasus seperti ini sering ditemukan dalam sejarah.
Contoh yang sukses dan menakjubkan adalah Saint Joan of Arc (Jeanne d'Arc) dalam sejarah Prancis. Ia dianggap mendapat petunjuk Tuhan atau Bunda Maria untuk menuntun Raja Prancis Charles VII, yang sudah terdesak oleh musuhnya, Raja Inggris, yang juga menuntut mahkota Prancis, ke Kota Rheims tempat Charles berdasarkan tradisi dinobatkan sebagai raja. Entah karena wangsit ini entah karena efek psikologis dari karisma pemimpin wanita itu—yang bagai sosok gembala muda secara polos berani berperang menentang tentara Inggris yang terkenal gagah berani—semangat tentara Prancis yang semula sudah terdesak dapat bangkit kembali.
Kasus positif seperti Jeanne d'Arc adalah minoritas. Lebih banyak contoh wangsit yang menimbulkan malapetaka seperti pada Raja Prancis Charles X, yang bersama perdana menterinya bermaksud melakukan kebijakan meniadakan demokratisasi dari Revolusi Prancis. Mereka berkehendak mengembalikan tatanan politik seperti masa sebelumnya, yaitu bahwa raja mendapatkan wewenang dari Tuhan untuk memerintah. Raja dianggap hanya bertanggung jawab kepada Tuhan untuk pemerintahannya (droit divine) dan, karena itu, berhak memerintah secara mutlak tanpa tanggung jawab kepada rakyat (ini adalah prinsip dasar dari pemerintahan melalui wangsit). Dalam menjalankan politiknya, Raja dan perdana menterinya, Prince de Polignac, katanya dituntun atau berkomunikasi dengan Bunda Maria yang Suci, ibu Nabi Isa. Mereka membubarkan parlemen dan mengadakan pemilihan umum baru dengan peraturan hak suara hanya pada yang kaya atau bangsawan untuk membentuk parlemen yang mendukung mereka sambil menutup penerbitan koran-koran oposisi. Hasilnya adalah pemberontakan rakyat Paris pada Juli 1830 yang menggulingkan Raja Charles X, yang kemudian terpaksa melarikan diri ke Inggris. Jadi, pemerintahan wangsit terbukti gagal.
Contoh lebih buruk dari pengaruh dukun pada pemerintahan ada di Rusia, pada masa czar-nya yang terakhir, Nicolas, dan permaisurinya, Alexandra, dengan dukun biarawan Rasputin. Saat itu, anak lelaki paling tua mereka, yang merupakan putra mahkota dan ahli waris takhta, menderita penyakit leukemia (perdarahan yang tak henti-henti). Hanya biarawan Gereja Yunani Katolik Ortodoks Rasputin yang kelihatannya dapat menghentikan perdarahan Czarevitz kalau sedang kumat. Mungkin itu dilakukan dengan cara hipnotis.
Namun kekuatan hipnotis Rasputin tak hanya dipakai untuk mengobati, tapi juga dalam menasihati siapa saja yang menjadi perdana menteri, menteri keuangan, panglima, dan pejabat lain (sistem pemerintahan Rusia dibawah czar adalah mutlak), termasuk dalam mengatur strategi di medan pertempuran (waktu itu sedang berlangsung Perang Dunia I, 1914-1919, Rusia melawan Jerman). Kekalahan di medan pertempuran dan kekacauan pemerintah mendorong bangsawan tinggi berkomplot untuk membunuh dukun Rasputin, yang nasihat-nasihatnya dianggap menyebabkan malapetaka itu.
Dengan dalih patriotisme, Pangeran Yusupov dibantu kawan-kawannya merencanakan dan melakukan pembunuhan terhadap Rasputin. Peristiwa ini membuka skandal pemerintahan dukun/wangsit pada masa yang genting dan ikut mendorong terjadinya Revolusi Rusia di bawah pimpinan Bolshevik, yang kemudian membunuh seluruh keluarga czar.
Peran dan pengaruh buruk biarawan Rasputin ini selalu dipakai sebagai momok/contoh terjelek pemerintahan dukun, orang pintar, dan wangsit dalam sejarah. Jarang yang mengambil contoh Jeanne d'Arc, yang akhirnya dihukum peng-adilan Inggris untuk dibakar mati karena dituduh sebagai tukang sihir tapi lalu, pada 1920-an, dinyatakan suci (saint) oleh Gereja Katolik. Adapun para sejarawan mencoba merasionalisasi peran Jeanne d'Arc melalui logika psikologi.
Kalau mengikuti logika sejarawan, kemungkinan ada harta karun di bawah batu tulis Bogor sangat kecil. Batu tulis tersebut adalah situs purbakala yang sudah lama diketahui dan, karena itu, pasti sudah diteliti para ahli purbakala sejak dulu. Situs itu bagi ahli sejarah adalah harta karun sebenarnya, jadi bukan dalam bentuk balokan emas atau intan berlian.
Memang dongeng mengenai harta karun emas atau intan berlian cukup sering saya dengar, termasuk tentang dana revolusi. Tapi saya selalu sangat skeptis mengenai cerita seperti itu. Kalau ada harta kerajaan zaman dulu, para raja mendapatkannya dari rakyat. Padahal, dari dulu sampai sekarang, sistem perpajakan raja tak pernah sempurna. Kerajaan Mataram yang telah berdiri 100 tahun pada 1678 tercatat terpaksa meninggalkan harta karunnya yang hanya 2,5 juta ringgit. Kerajaan Mataram juga tak pernah dapat melunasi utang kepada VOC dan, karena itu, merupakan negara Asia pertama yang dihadapkan pada beban utang besar luar negeri (VOC).
Walhasil, Mataram tak mungkin meninggalkan harta karun. Apalagi Pulau Jawa juga tidak pernah dikenal memiliki tambang emas, intan, atau berlian. Tidak pernah kedengaran dalam sejarah tentang berlian besar yang menghiasi mahkota raja dan keluarganya seperti intan Koh-i-Noor dari India yang kini menghiasi mahkota Inggris. Berlian yang pernah dibicarakan dalam sejarah Jawa paling-paling sebesar jempol. Jadi, cerita tentang harta karun di Jawa saya anggap dongeng belaka.
Yang juga termasuk dongeng adalah kisah dana revolusi. Sebab, kalau dana itu benar-benar ada, pemerintahan Orde Lama tidak akan mungkin digulingkan karena memiliki cukup sumber daya untuk mempertahankannya. Seorang wartawan asing pernah mendekati saya da menceritakan bahwa temannya di Hong Kong menerima tawaran dari Indonesia balokan platina murni yang dikatakan berasal dari dana revolusi. Saya mengatakan kepadanya bahwa cerita itu pasti bohong. Satu-satunya persediaan balokan logam emas murni (gold bullion) yang saya ketahui adalah milik Javasche Bank yang, sebelum Jepang mendarat di Hindia Belanda, diangkut dengan kapal selam ke Australia dan sesudah Perang Dunia II dibawa ke Belanda. Ini satu-satunya kisah harta karun balokan logam mulia yang kebenarannya dapat dicek.
Adapun platina, sebagai logam yang dianggap bernilai tinggi, di Indonesia baru belakangan dikenal. Karena itu, di masa lalu, mungkin tidak pernah ada dalam jumlah sebalok pun di Indonesia. Namun, anehnya, kisah harta karun berupa balokan logam mulia platina pernah saya dengar juga dan katanya berasal dari zaman pendudukan Jepang.
Bahwa cerita-cerita harta karun ini ramai tersebar di Indonesia, dalam bentuk dan pola yang memiliki konsistensi, itu mungkin merupakan cerminan sikap masyarakat kita yang disebut sebagai kultus eskatologi, yaitu harapan akan datangnya Ratu Adil. Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, sejarawan kita yang paling senior, telah meneliti gejala eskatologi ini di kalangan petani. Para antropolog juga sering meneliti gejala ini di kalangan suku primitif.
Barangkali sekarang telah tiba waktunya untuk meneliti gejala ini di kalangan pejabat dan penguasa kita?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini