Arbi Sanit *)
*) Pengamat politik
Sungguh sukar dinafikan bahwa amandemen UUD 1945 telah membawa perubahan mendasar dan menyeluruh ke dalam konstitusi Indonesia, yang selama hampir empat dekade terakhir telah melandasi rezim dan sistem politik otoritarianisme. Secara fisik, amademen telah meningkatkan jumlah pasal UUD 1945 dari 37 menjadi 77, dan memperbanyak ayat dari 77 menjadi 197. Substansi demokrasi seperti peningkatan kekuasaan DPR untuk mengontrol presiden, hak asasi, keberadaan dan peran TNI, pemilu, otonomi daerah, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, sudah tegas diatur di dalamnya. Bersamaan dengan itu, substansi sistem kekuasaan otoriter, seperti MPR, peran politik golongan militer, dan hak istimewa presiden, telah ditiadakan.
Walaupun demikian, kajian mendalam terhadap hasil amandemen tersebut masih menemukan adanya permasalah mendasar. Ini berkenaan dengan paradigma dan filosofi atau visi kenegaraan dan masyarakat, praksis sistem kekuasaan, dan fungsi sistem politik serta ekonomi yang dipandang tidak konsisten terhadap arah reformasi, yakni menuju negara demokratis dan berkemakmuran. Boleh jadi, permasalahan yang terabaikan itu akan berperan sebagai ranjau politis bagi perjalanan reformasi selanjutnya. Bentuknya dapat berupa peluang bagi kecenderungan kembalinya rezim dan sistem kekuasaan otoritarian, kemungkinan kambuhnya konflik konstitusional, dan lemahnya fungsi sistem politik dan ekonomi.
Paradigma kolektivisme yang berakar kepada filosofi integralistik tidak mengalami perubahan dan penjelasan baru, sebagaimana tertera dalam alinea pertama Pembukaan UUD 1945. Interpretasi berdasar kebersamaan ekonomi, yang bisa dilakukan oleh presiden hasil pemilu langsung, terhadap visi kenegaraan dan masyarakat yang sosialistis itu, dapat kembali bermuara pada pengutamaan kolektif dengan mengorbankan individu dan kelompok secara represif.
Sementara paradigma kolektivisme dibiarkan ada, melalui Pasal 28 tentang Hak Asasi, sesungguhnya amandemen menampilkan kontroversi baru pengganti parlementarianisme versus presidensialisme. Kontroversi ini akan merupakan akar konflik konstitusional, karena tidak dipastikan harmonisasi kedua visi itu di dalam praksis dan proses kekuasaan. Amandemen tidak memanfaatkan konsepsi "negara kemakmuran" (welfare state) yang sudah dikenal sebagai perpaduan kedua visi politik tersebut.
Implikasi dari kontroversi paradigmatik itu jelas terdeteksi dalam penataan praksis kekuasaan negara, penekanan fungsi sistem politik dan pemerintahan, di samping fungsi sistem perekonomian. Praksis sistem kekuasaan tampak masih ragu menggunakan demokrasi sebagai landasan dan tujuannya. Indikasinya adalah hambatan praktek Trias Politika oleh rangkap jabatan pemimpin partai dengan penguasa negara yang tidak diatur melalui amandemen. Lalu toleransi atas rangkap jabatan itu—bersama pemilu presiden langsung yang akan memperkuatnya—berpeluang menepis realisasi prinsip check and balance. Lagi pula, pemilihan anggota DPR yang akan menggunakan sistem pemilu proporsional akan tetap merancukan fraksi penguasa dengan oposisi di DPR. Sedangkan di daerah, tanpa yudikatif lokal, tidaklah mungkin menerapkan Trias Politika, di samping tanpa otonomi partai dan ormas serta lembaga ekonomi, otonomi pemerintahan tidak akan menyentuh dan melibatkan masyarakat setempat.
Dalam pada itu, demokratisasi dan efektivitas sistem pemerintahan yang akan dikembangkan berdasarkan hasil amandemen tersebut belum dijamin oleh sistem multipartai dan sistem pemilu proporsional untuk DPR. Akan kembali terbuka kemungkinan presiden lebih kuat dari DPR, dan monopoli TNI sebagai penegak keutuhan dan kedaulatan negara. Sekalipun pemilu langsung presiden berpotensi memperkuatnya, kebijakannya belum tentu mendapat dukungan oleh mayoritas anggota DPR. Lagi pula peran integrasi TNI yang menonjol akan memecahkan dukungan rakyat kepada pemerintah. Sehingga lemahnya jaminan demokratisasi sistem pemerintahan dan politik mungkin bisa dijadikan mekanisme untuk kemudian menstabilkan, menguatkan, dan mengefektifkan kembali "kekuatan lama" itu.
Berbeda dengan teks asli UUD 1945 yang menegaskan keinginan untuk mengoperasikan perekonomian dengan fokus keadilan berdasarkan visi komunalisme, amandemen justru mendampingkannya dengan visi liberal atau individualisme. Tapi tatanan ekonomi yang dirancang cenderung komunal lewat penguasaan negara atas cabang produksi yang penting bagi negara dan rakyat banyak, kurang tegas memberikan peran kepada individu dalam proses produksi. Maka akan sukar mengharapkan produk berkualitas dalam jumlah tinggi karena tidak didasarkan kepada motif yang kuat dalam jumlah persaingan yang jujur (fair). Bila demikian halnya, akan sukar mendistribusikan produk barang dan jasa secara adil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini