Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIADA angin tiada hujan, air menggenang di Pasar Lama Muara Baru, Jakarta Utara. Berlangsung saban hari mulai sekitar pukul 6 sampai pukul 10. Di cuaca terang, ketinggiannya semata kaki. Tapi, kalau dibarengi hujan dan angin kencang, genangan bisa 80 sentimeter, melebar sampai permukiman warga dan Pelabuhan Ikan Nizam Zachman di ujung utara.
Air datang tanpa diundang mengikuti pasang naik. Maklum, kawasan di Kecamatan Penjaringan itu nyaris satu garis dengan tinggi air di Teluk Jakarta. Tanah dan laut dipisahkan tanggul beton setinggi dada orang dewasa. Tidak mampu menembus tanggul, air menyusup ke darat lewat selokan.
Menurut Casman, 36 tahun, banjir akibat pasang menemani hari-hari warga Muara Baru sejak lima tahun lalu. ”Dulu kami tidak pernah dengar istilah rob,” kata warga yang sejak 1996 menghuni RT 17 RW 16 ini, dua pekan lalu.
Genangan membawa sejumlah masalah. Pelabuhan dipenuhi bau campur aduk, perpaduan ikan busuk, ikan asin, dan tinja. Air asin yang menyusup membuat pemilik menjalankan ritual khusus setelah memandikan kendaraannya: mengoles semua bahan logam dengan minyak, guna mengusir karat. Masalah terbesar, tentu saja, banjir yang berulang setiap hujan deras dan gelombang tinggi.
Di belahan utara Jakarta, bumi memang seolah layu lebih cepat. Pakar Institut Teknologi Bandung mencatat permukaan tanah turun 5-10 sentimeter per tahun. Peneliti geodesi alias ilmu ukur bumi ITB, Heri Andreas, mengatakan tanah sekarang lebih rendah daripada 36 tahun lalu. Semakin ke utara laju penyusutan makin cepat. Mulai seperempat meter di Cibubur, 0,8 meter di Cikini, 1,55 meter di Cempaka Mas, sampai 2,55 meter di Cengkareng. Di Muara Baru malah susut hingga 4,1 meter. Secara keseluruhan, kata dia, 40 persen Jakarta berada di bawah permukaan laut.
Amblesnya tanah, menurut Heri, terjadi akibat penyedotan air tanah yang tak kira-kira. Ada juga penyebab lain, seperti beban bangunan dan pemadatan tanah alamiah. Namun dua faktor terakhir ini cuma dalam hitungan milimeter per tahun.
Tanah yang menyusut mengancam Jakarta lebih besar ketimbang naiknya permukaan laut sebagai dampak pemanasan global. Heri mengatakan, berkat lokasi yang jauh dari sumber pencairan es di kutub, kenaikan air di Teluk Jakarta hanya 5 milimeter per tahun, di bawah angka rata-rata kota pantai dunia, 1-2 sentimeter. ”Buktinya, semua kota pantai mengalami kenaikan laut, tapi tidak semua bermasalah rob,” katanya.
Untuk menghindarkan Jakarta dari tenggelam, Gubernur Fauzi Bowo membentuk Sistem Pertahanan Pantai Jakarta atau JDCS, konsorsium yang terdiri atas perwakilan perusahaan konsultan teknik Belanda dan ITB, Oktober silam. Sempat muncul gagasan mengubah Jakarta Utara jadi penampungan air, konsorsium lalu berfokus pada upaya membendung laut, dan ini dikuatkan dengan nota kesepahaman yang ditandatangani dengan Rotterdam awal bulan ini. Pilihannya antara membangun di bibir pantai dan di tengah laut.
Fauzi menutup pintu bagi opsi pertama. Alasannya, jika bendungan ditempatkan di pantai, Jakarta, yang dialiri 13 sungai, butuh waduk 100 kilometer persegi untuk tempat singgah air sebelum dipompa ke laut. Luasan itu hampir sama dengan Jakarta Utara.
Tempat penampungan air bisa diperkecil jadi separuh. Tapi ini butuh pompa dengan kekuatan 500 meter kubik per detik. Padahal pompa terbesar di dunia, yang ada di New Orleans (Amerika Serikat) dan Mesir, hanya berkekuatan 400-an meter kubik per detik. ”Nyari tanahnya enggak dapet, pompanya juga,” kata Fauzi.
Pilihan lain yang lebih terjangkau adalah membangun bendungan raksasa di Teluk Jakarta. Dengan demikian, terbentuk penampungan air antara daratan dan tanggul.
Untuk itulah, Fauzi berkaca pada Belanda. Selain untuk negaranya, insinyur-insinyur negara ini membangun tanggul di hampir semua kota pantai dunia, mulai St Petersburg (Rusia) sampai Singapura. Jakarta pun menjalin kerja sama kota kembar dengan Rotterdam, untuk belajar manajemen air. Rotterdam terletak enam meter di bawah muka laut. Namun, berkat bendungan yang membentang di sisi barat menghadap Samudra Atlantik, juga di bantaran Sungai Rotte, kota itu senantiasa kering.
Ukuran, letak, ataupun bentuk benteng laut Jakarta belum ditentukan, karena konsorsium baru di tahap perumusan masalah. Namun menyontek teknologi di Belanda, bagian dalam tanggul terdiri atas pasir dan tanah. ”Disedot dari laut dan diangkut kapal,” kata Sawarendro, perwakilan Bos Witteveen, perusahaan konstruksi Belanda yang membangun Pelabuhan Baru Rotterdam, pelabuhan terbesar di Eropa. Sisi luarnya diberi batuan, dengan kemiringan 1 : 7, satu vertikal berbanding tujuh horizontal.
Jika dibangun di kedalaman delapan meter, tinggi bendungan sekitar enam meter. Namun, kalau lebih ke tengah laut, dengan kedalaman 16 meter, butuh tinggi delapan meter agar tanggul mampu menghalau ombak dan gelombang yang lebih besar. Di Negeri Kincir Angin, lebar bendungan laut mencapai 50 meter, dan difungsikan sebagai jalan.
Fauzi ingin lebih. Dia mau tanggul bisa jadi tempat hunian. ”Sehingga kita dapat tambahan wilayah, ekspansi,” katanya. Dia mencontohkan Pelabuhan Rotterdam yang dipindah dari tepi pantai ke tengah laut, menempel dengan tanggul. Pelabuhan lama beralih jadi kawasan komersial.
Sawarendro mengatakan tanggul dibangun seiring dengan proyek reklamasi. Reklamasi memungkinkan tambahan ruang untuk tata air. Tanggul bisa dibangun membentang dari Kamal di ujung barat Jakarta sampai Marunda di ujung timur, seperti bentuk mangkuk terbalik. Terdapat pengecualian di Pelabuhan Tanjung Priok, yang diwanti-wanti Fauzi tak boleh terganggu.
Jika ekspansi Tanjung Priok, yang direncanakan sampai hulu Kanal Banjir Timur yang berbatasan dengan Bekasi, terlaksana, tanggul cukup dibangun antara Kamal dan Tanjung Priok. Sebab, pelabuhan baru yang bakal dinamai Pelabuhan Ali Sadikin itu akan dibangun dengan ketinggian yang cukup untuk menghalau air laut.
Tanggul bukan satu-satunya jalan membebaskan Jakarta dari banjir. Tanah terus tergerus selama air di dalamnya disedot. Osaka, Jepang, sukses menghentikan land subsidence dengan melarang warganya menyedot air tanah pada 1970. Fauzi pesimistis bisa melarang 8,5 juta warganya menyalakan jet pump atau menimba sumur. Dia mengambil jalan lain untuk mengurangi penyedotan: membangun instalasi air bersih di Waduk Jatiluhur, Jawa Barat, dan mengalirkannya lewat pipa sejauh 70 kilometer ke Jakarta. Sistem ini diharapkan bisa mulai beroperasi dalam tempo tiga tahun.
Semua itu menjadi tempat menggantungkan harapan bagi solusi permanen masalah banjir di Jakarta—yang sudah diimpikan sejak 95 tahun lalu oleh Mohammad Husni Thamrin, anggota Dewan Rakyat Hindia Belanda. Fauzi menyebut itu satu-satunya pilihan.
Reza M.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo