Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Alternatif Sehat bagi Si Kecil

Susu formula bisa membahayakan kesehatan bayi. Ada berbagai pilihan susu yang lebih aman dikonsumsi.

7 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUBUH bayi itu tampak kurus dan lemah. Terdapat benjolan sebesar bola bekel di selangkangan dan ketiaknya. Kondisi bayi empat bulan itu sudah kritis ketika dibawa ibunya ke Layanan Kesehatan Cuma-cuma, Jakarta. Dokter yang memeriksa menyimpulkan bayi itu sakit karena keracunan susu formula. Ibu sang bayi mengaku menderita hepatitis sehingga tidak mampu menyusui.

Melihat kondisi tersebut, Sekretaris Jenderal Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia Farahdibha Tenrilemba kemudian memberikan akses kepada bayi itu agar mendapat donor air susu ibu (ASI). Selain itu, sang ibu diberi pelatihan agar dapat menyusui bayinya. Mengurangi ketergantungan bayi pada susu formula, menurut dia, bukan perkara gampang. Perubahan rasa manis ke tawar biasanya menjadi penyebab bayi tidak menyukai ASI. Namun, dengan proses merangsang produksi ASI atau relaktasi, kendala tersebut bisa disiasati.

Banyak alasan para ibu tidak memberikan ASI eksklusif. Sebagian besar, menurut Farahdibha, karena faktor psikologis. Tekanan pekerjaan, produksi ASI sedikit, dan tidak adanya dukungan keluarga biasanya menjadi pemicu. Padahal, secara statistik, hanya satu dari seribu ibu yang tidak dapat menyusui bayinya. Namun ada juga alasan medis yang membuat wanita tidak dapat menyusui, seperti terinfeksi HIV, tuberkulosis, atau kekurangan gizi. Jika hal itu terjadi, susu formula bisa menjadi pilihan terakhir dalam mencukupi kebutuhan gizi bayi.

Susu formula berasal dari susu sapi segar yang telah melewati proses pasteurisasi atau pemanasan pada suhu tinggi. Beberapa produsen kemudian menambah kandungan kalori, protein, dan mineral yang tinggi pada susu, sebelum dikemas dengan steril. Jenis susu ini mudah diserap pencernaan bayi karena memiliki komposisi lemak yang tidak panjang.

Menurut Sekretaris Jenderal Persatuan Dokter Gizi Medik Indonesia dokter Saptawati Bardosono, penggunaan susu formula harus berdasarkan rekomendasi dokter. Komposisi susu formula memang disusun mendekati gizi ASI. Tapi produk itu bukan berarti tanpa risiko bagi si kecil. Penelitian yang dilakukan di negara maju menunjukkan ada banyak risiko dari meminum susu formula. Infeksi telinga tengah, diare, asma, kegemukan, diabetes melitus, dan sindrom kematian bayi mendadak hanyalah sebagian risikonya bila susu itu digunakan secara tak hati-hati.

Karena itu, ahli naturopati Riani Susanto merekomendasikan bayi meminum susu organik yang berasal dari hewan atau tumbuhan sebagai pengganti susu formula. Susu kemasan ataupun formula yang berasal dari perahan sapi industri, menurut dia, tidak aman dikonsumsi. Sapi-sapi itu biasanya telah disuntik hormon dan diberi antibiotik sehingga mencemari susu.

Hewan-hewan yang menghasilkan susu organik dipelihara secara alami di lahan terbuka, tanpa diberi hormon, antibiotik, atau rekayasa genetik. Untuk susu dari kedelai, tanamannya tidak diberi pestisida dan bahan kimia lain. Produk akhir susu organik diolah tanpa perasa dan pemanis buatan. Proses pembuatan ini menjadikan harganya lebih mahal dibanding susu kemasan lain. Di negara maju, jenis susu tersebut sudah banyak diproduksi. Alokasi subsidi pemerintah ke sektor peternakan turut mendorong keberhasilan produk tersebut. Para peternak menjadi melek teknologi dan sadar pada kelestarian lingkungan serta risiko kesehatan.

Di Indonesia, produk susu organik masih jarang diperjualbelikan. Para peternak lokal masih dalam tahap menyediakan susu segar. Hewan atau tanaman penghasil susunya belum diolah secara organik. Susu segar lokal biasanya telah melewati proses pasteurisasi, kemudian dikemas dengan steril, tanpa tambahan kandungan gizi. Namun, karena susu segar biasanya berasal dari industri rumahan, faktor kebersihan dan kandungan nutrisi di dalamnya biasanya tidak terjamin. Saptawati tidak menyarankan anak berumur di bawah satu tahun mengkonsumsi susu segar.

Susu sapi murni memiliki kandungan protein dan garam mineral tinggi. Hal ini membuat susu sulit dicerna usus bayi dan membebani fungsi ginjal. ”Kandungan gizi susu sapi murni tidak sesuai dengan kebutuhan bayi,” ujar dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu. Hal serupa terjadi untuk susu yang berasal dari hewan lain. Susu kedelai, menurut dia, bukanlah susu, dalam arti bisa memberikan zat gizi untuk bayi. Ia menyarankan bayi yang diberi susu kedelai tetap diberi ASI atau susu formula sesuai dengan rekomendasi dokter.

Orang tua bisa memberikan susu segar kepada anak berusia satu hingga lima tahun, sebagai alternatif susu sapi formula. Metabolisme anak umur satu hingga lima tahun sudah dapat mengkonsumsi susu cair. Dari segi harga, susu segar relatif lebih murah dibanding susu formula. Bahan bakunya bisa berasal dari susu hewan atau kedelai.

Selain dari sapi, susu segar yang umum dipasarkan saat ini adalah susu kambing. Susu ini memiliki asam lemak lebih pendek ketimbang susu sapi sehingga mudah dicerna anak. Selain itu, susu kambing bisa menjadi pilihan untuk anak yang menderita alergi terhadap susu sapi, baik dalam bentuk bubuk maupun cair. Alergi bisa terjadi karena anak tidak punya atau kekurangan enzim laktase sehingga tidak mampu mencerna laktosa dalam susu sapi.

Kandungan serat susu kedelai bermanfaat memberikan energi pada anak, ditambah lagi vitamin B, E, dan K yang terdapat pada susu ini. Meski kandungan proteinnya lebih rendah dibanding susu sapi—dua gelas susu kedelai setara dengan satu gelas susu sapi—harganya lebih murah daripada susu jenis lain, menjadikan susu kedelai sebagai alternatif yang baik.

Food microbiologist Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Endang Sutriswati Rahayu, menyarankan alternatif produk susu fermentasi menggunakan kultur bakteri asam laktat lokal. ”Cuma, komersialisasi produk ini masih sulit. Harganya tak terjangkau,” ujarnya kepada Pribadi Wicaksono dari Tempo biro Yogyakarta.

Dokter spesialis anak Rifan Fauzie menilai anak berumur satu hingga lima tahun membutuhkan susu sebagai pelengkap gizi. Untuk anak yang sudah dapat menerima makanan padat, asupan protein bisa diperoleh dari tempe, tahu, dan kacang-kacangan.

Orang tua yang memilih susu segar untuk anak harus memperhatikan proses penyajian dengan benar. Sering kali, dalam proses pasteurisasi ataupun pemanasan, kandungan vitamin dan mineral pada susu malah hilang. Ditambah lagi, pemrosesan yang tidak benar membuat bakteri jahat pada susu masuk ke tubuh anak.

Jika bayi tidak memiliki akses terhadap ASI dan susu formula karena faktor keuangan, Rifan menyarankan orang tua kembali ke air tajin. Air ini merupakan cairan hasil dari menanak nasi. Dalam kandungannya terdapat karbohidrat yang berasal dari beras, tapi gizinya jauh di bawah susu hewan, susu kedelai, ataupun ASI. ”Ini harus alternatif paling akhir.”

Sorta Tobing


Mitos-Fakta Seputar Susu

Mitos: Lemak susu memicu kolesterol.
Fakta: Hanya 35 persen lemak susu yang menaikkan kadar kolesterol. Sisanya tidak berdampak buruk, seperti asam lemak inoleat yang terkonjugasi pada lemak susu.

Mitos: Kandungan susu mengurangi kalsium tubuh.
Fakta: Sumber protein, seperti susu, daging, dan kacang-kacangan, mengandung fosfor yang mencegah berkurangnya kadar kalsium. Fosfor dan zat lainnya pada susu mengoptimalkan serapan kalsium.

Mitos: Lemak susu memicu kegemukan.
Fakta: Asam butirat pada lemak susu memiliki daya cerna tinggi, sebagai antikanker usus besar dan mendukung pertumbuhan bakteri baik (prebiotik). Obesitas jika susu dikonsumsi berlebihan.

Mitos: Kandungan susu kedelai memicu kanker.
Fakta: Susu kedelai mengandung zat-zat yang mencegah peradangan dan pertumbuhan sel abnormal.

Mitos: Susu menyuburkan jerawat. Fakta: Tidak ada hubungan antara makanan dan jerawat. Jerawat timbul akibat beberapa faktor, seperti genetik, tipe kulit, hormon, dan polusi udara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus