Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TANAH gambut itu tak lagi dirimbuni pepohonan. Lahan seluas sekitar tiga kilometer persegi di Teluk Pepadi, Semenanjung Kampar, Riau, itu telah berubah menjadi hamparan tanah yang disekat-sekat oleh kanal yang mengalirkan air kemerahan. Pohon meranti dan ramin yang pernah tegak berdiri di atas lahan itu kini menjadi onggokan kayu yang tersusun rapi di sepanjang jalan becek yang baru dibuka.
Jumat dua pekan lalu, Tempo mengunjungi kawasan yang termasuk lahan konsesi perusahaan bubur kertas PT Riau Andalan Pulp and Paper itu. Belasan alat berat tengah merapikan lahan yang baru digunduli itu. Kanal-kanal dibuat hingga kedalaman lima meter untuk mengeringkan lahan, mengalirkan kayu tebangan, sekaligus menjadi jalur transportasi para mandor dan petinggi perusahaan.
Pembukaan lahan itu mengundang keprihatinan lembaga pelestari lingkungan Greenpeace. Sejak awal bulan ini, mereka mendirikan tenda-tenda yang mereka sebut sebagai climate defender camp di atas lahan itu, sebagai bentuk protes atas penggundulan hutan—salah satu penyebab pemanasan global. ”Kami mendesak Riau Andalan menghentikan pembukaan hutan,” kata Bustar Maitar, juru kampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara.
Hutan di Riau memang menjadi incaran perusahaan bubur kertas dan perkebunan. Masalahnya, separuh hutan di provinsi ini tumbuh di lahan gambut. Luasan gambut Riau meliputi seperlima lahan gambut yang dimiliki Indonesia. Adapun Semenanjung Kampar, menurut data Greenpeace, memiliki 700 ribu hektare gambut. Dari jumlah itu, seluas 300 ribu hektare sudah dibuka. ”Hingga saat ini, alat-alat berat perusahaan terus membuka lahan,” kata Bustar.
Membuka lahan gambut bukan sekadar membuat lahan gundul, tapi juga melepaskan deposit karbon yang terkunci di dalamnya. Pembukaan satu hektare lahan dengan kedalaman gambut sepuluh meter—rata-rata kedalaman gambut di Kampar—akan melepas 5.000 ton karbon ke udara. Hasil studi Kelompok Gas Rumah Kaca dan Gambut, proyek bersama Indonesia dan Australia, menyebutkan bahwa karbon dari lahan gambut menyumbang hingga lima persen total emisi dunia, menimbulkan efek rumah kaca.
Tanah gambut terbentuk ketika bahan organik terurai ribuan tahun silam. Bentuknya seperti busa pencuci yang menyerap dan menyimpan air dalam jumlah besar. Di dalamnya, zat organik terdekomposisi secara lambat, menjadi cikal bakal batu bara. Dalam kondisi normal, gambut tak mudah terbakar karena berair. Tanah gambut menjadi ancaman manakala diubah menjadi pertanian atau perkebunan. Lahan dikotak-kotakkan dengan kanal, airnya dialirkan ke sungai. Ketika tanah itu kering, seluruh kawasan dibakar untuk menetralkan tingkat keasamannya.
Dalam kondisi seperti itu, tanah gambut menjadi sumber pelepasan karbon ke atmosfer yang sangat besar. Emisi bisa lebih cepat dan disertai gas beracun ketika tanah yang sudah kering itu diamuk api. Pembakaran lahan mungkin hanya berlangsung dalam hitungan jam atau hari, tapi bara yang tersimpan di bawah tanah bisa bertahan berbulan-bulan, terus mengepulkan asap, dan sewaktu-waktu bisa menyulut kebakaran.
Studi oleh lembaga peneliti kehutanan internasional Center for International Forestry Research mengungkapkan, dari konversi lahan gambut saja, Indonesia melepas 1.100 juta ton karbon dioksida (CO2) ke udara per tahun. ”Ini setara dengan seluruh emisi yang dikeluarkan Jerman,” kata Daniel Murdiyarso, ahli klimatologi Institut Pertanian Bogor.
Karena itu, sejumlah lembaga pelestari lingkungan hidup, seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Jaringan Penyelamat Hutan Riau, dan Greenpeace, mendesak moratorium pembukaan lahan gambut. ”Pembukaan lahan bertolak belakang dengan tekad Presiden Yudhoyono yang ingin mengurangi emisi karbon Indonesia hingga 26 persen,” kata Bustar Maitar.
Target itu dikemukakan Presiden dalam forum pertemuan negara kelompok G-20 di Pittsburgh, Amerika Serikat, September lalu. Meski ada yang menganggap target itu tidak masuk akal, karena negara-negara industri maju tak mampu memenuhi kewajiban yang tertuang dalam Protokol Kyoto untuk mengurangi emisi 5,2 persen, para aktivis lingkungan hidup mendukung tekad tersebut. ”Asal diimplementasikan dengan sungguh-sungguh, antara lain dengan moratorium pembukaan lahan hutan dan gambut,” kata Bustar.
Untuk mengingatkan tekad itu pula, para aktivis Greenpeace dari berbagai negara mendirikan kemah di atas lahan PT Riau Andalan. Selain mendesak penghentian pembukaan lahan, para aktivis menuntut pemerintah memberikan bantuan kepada masyarakat di sekitar hutan supaya mereka tidak tergoda rayuan perusahaan yang hendak merusak hutan.
Tempo mengikuti salah satu rangkaian aksi pada Kamis dua pekan lalu. Dari lokasi kemah di Teluk Meranti, para aktivis berangkat pagi hari menggunakan kapal motor kecil menuju Teluk Pepadi. Setibanya di Teluk, rombongan sempat dihentikan oleh tiga orang petugas satuan pengamanan. Petugas keamanan bahkan membekap seorang aktivis asing.
Aksi lalu dilakukan tepat di ujung lahan yang dibuka. Para aktivis mengembangkan baliho berukuran 20 x 40 meter. Pada baliho merah itu tertulis, ”Obama You Can Stop This”. Sebagian aktivis menuju alat berat yang masih terparkir. Mereka merantai dan mengikatkan diri ke alat berat itu supaya tak bisa berjalan.
Buntut aksi tersebut, polisi menahan 32 aktivis, sebelas di antaranya orang asing. Polisi menuding aktivis masuk wilayah orang tanpa izin. Mereka diangkut paksa ke Markas Kepolisian Resor Pelalawan. Sebanyak 21 aktivis, seluruhnya dari Indonesia, dijadikan tersangka dengan status wajib lapor. Adapun semua aktivis asing dideportasi karena dianggap menyalahi visa. ”Padahal visa mereka bukan visa turis, melainkan bisnis. Kalau ada visa demo, pasti kami ajukan,” kata Bustar, yang juga menjadi tersangka.
Penangkapan aktivis itu berdasarkan laporan manajemen Riau Andalan. Neil Franklin, Direktur APRIL Group, perusahaan induk Riau Andalan, mengatakan pihaknya melapor karena ada aksi penyegelan terhadap aset-aset perusahaan oleh pengunjuk rasa. ”Pada dasarnya kami mau berdialog dengan siapa saja tentang usaha yang kami lakukan. Kami hanya memiliki 56 ribu hektare izin legal. Hutan tanaman industri yang kami bangun memiliki izin lengkap,” katanya.
Presiden Direktur Riau Andalan Kusnan Rahmin mengatakan izin itu diperoleh karena perusahaannya mengikuti semua prosedur. ”Yang mengeluarkan izin kan Menteri,” katanya kepada Maria Hasugian dari Tempo. Seandainya ada pelanggaran hukum, ia meminta pelanggaran itu ditunjukkan.
Meski memiliki izin lengkap, termasuk dari Departemen Kehutanan, tak bisa dimungkiri bahwa lahan konsesi Riau Andalan memang berada di lahan gambut. ”Bahkan di Semenanjung Kampar itu berada di atas lahan gambut sangat dalam, lebih dari sepuluh meter,” kata Daniel Mudyarso.
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14 Tahun 2009, hanya lahan gambut dengan ketebalan kurang dari tiga meter yang boleh dimanfaatkan.
Dalam rapat kerja dengan Komisi Kehutanan Dewan Perwakilan Rakyat, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menyatakan telah memerintahkan evaluasi izin-izin yang diberikan kepada Riau Andalan. Zulkifli juga meminta perusahaan tersebut menghentikan kegiatan di lahan gambut. Ia mengatakan izin diberikan, oleh pendahulunya, Malem Sambat Kaban, atas rekomendasi Gubernur Riau. ”Kalau salah, kita akan ambil tindakan,” katanya.
Adek Media, Tito Sianipar, Jupernalis Samosir (Teluk Meranti), Kartika Candra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo