Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
2012
Produksi: Columbia Pictures 2009
Sutradara dan penulis naskah: Roland Emmerich
Pemain: John Cusack, Amanda Peet, Chiwetel Ejiofor
HARI itu 21 Desember 2012. Perut bumi menggelegak. Daratan, lautan, dan angkasa beserta seluruh isinya lantak. Tak terkecuali simbol-simbol keagamaan: Basilica St. Peter di Vatikan, Patung Yesus Sang Penebus di Rio de Janeiro, dan kuil-kuil di Tibet. Ka’bah di Mekah sesak dirubung jutaan manusia—tapi tak diperlihatkan runtuh.
”Saya tak mau difatwa mati karena menghancurkan simbol Islam itu. Film ini cuma hiburan,” kata Roland Emmerich, sutradara 2012, film yang paling menyita perhatian pekan-pekan ini.
Oke, jadi dari sinilah kita berangkat: hiburan. Ini penting lantaran banyak yang sudah berpretensi macam-macam—bahkan sampai mau melarang peredaran film ini di Indonesia.
Film ini berpijak pada ramalan suku Maya kuno: dunia akan berakhir pada 21 Desember 2012. Bumi, bulan, dan matahari berada dalam posisi sejajar. Dunia tempat kita tinggal pun memanas dan buyarlah segenap isinya. Maka di layar pun terpampang kerusakan dunia yang mahadahsyat: langit terbelah dan mengantarkan halilintar tanpa jeda, gunung-gunung murka dan melontarkan lidah api, laut bergulung-gulung dan menelan apa saja yang dilaluinya. Kiamat sudah tiba—setidaknya menurut film buatan Emmerich ini. Sang sutradara memang langganan meluncurkan film bertema kerusakan bumi, seperti Independence Day (1996) dan The Day After Tomorrow (2004).
Sejatinya, peristiwa besar kiamat itu hanyalah ”latar” dari kehidupan Jackson Curtis (John Cusack) dan Kate (Amanda Peet), pasangan yang sudah bercerai. Dua anak mereka tinggal dengan ibu dan pacar barunya. Di saat sang ayah tengah berusaha meraih kembali cinta dan perhatian anak-anaknya, mereka malah dihadapkan pada sebuah katastrofi bernama kiamat. Bukan hanya keluarga ini, tapi seluruh penghuni bumi dalam sekejap hanya tinggal debu.
Tentu saja, seperti laiknya sebuah hiburan, apa enaknya menonton film kalau semua tokoh musnah? Maka Amerika lagi-lagi menjadi pahlawan penyelamat dunia. Negara itu sudah mempersiapkan skenario ”penyelamatan spesies umat manusia” jika kiamat tiba. Tak hanya manusia, tapi aneka jenis hewan juga diselamatkan. Ini skenario yang sama dengan Nabi Nuh dan bahteranya.
Kebanyakan penonton ”terlena” hanya memandang film ini dari aspek sinematografisnya (yang memang dahsyat) dan temanya yang kontroversial. Padahal, meski jalan ceritanya datar, film ini mengandung banyak dialog cerdas—dan kerap luput dari perhatian. Misalnya, ketika memilih siapa yang harus diselamatkan, Presiden Amerika menyatakan: ”Seorang ilmuwan lebih berharga daripada politikus.”
Untuk apa kiamat diumumkan ke publik jika hanya akan menerbitkan kepanikan dan kekacauan? Geolog Adrian Helmsley (Chiwetel Ejiofor), sang pahlawan, menjawab bijak: ”Supaya kita bisa saling menenangkan, meminta maaf, dan mengucap salam perpisahan kepada keluarga.”
Singkatnya, jika sekadar ingin menikmati kedahsyatan special effect-nya (dan bukan jalan ceritanya), film ini layak ditonton. Sebagai hiburan, tentu saja. Pasalnya, dari segi ilmiah, sudah banyak ilmuwan yang merontokkan teori kiamat 2012. David Stuart, sejarawan dari University of Texas at Austin, menyatakan suku Maya tak menyebut 21 Desember 2012 sebagai akhir dunia, tapi akhir siklus penanggalan.
Artinya, setelah tanggal itu, kalender dimulai dari nol lagi. Tak ada hubungannya dengan kehancuran bumi. Namun profesor yang sudah lama meneliti suku Maya itu tak gusar dengan penyelewengan tafsir 2012 versi film ini. ”Saya justru memakai film ini sebagai bahan diskusi di kelas,” katanya.
Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo