Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Tunggu Tubang, Peran Perempuan dan Adat Jaga Ketahanan Pangan di Semende

Cerita ketahanan pangan turun temurun dari Suku Semende di Pelosok Sumatera Selatan.

17 Februari 2025 | 18.19 WIB

Persawahan di Kecamatan Semende Darat Tengah, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, 12 Februari 2025. TEMPO/Yuni Rahmawati
Perbesar
Persawahan di Kecamatan Semende Darat Tengah, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, 12 Februari 2025. TEMPO/Yuni Rahmawati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Palembang - Tak pernah ada krisis pangan dalam kamus masyarakat adat Suku Semende di Muara Enim, Sumatera Selatan. Ketahanan pangan terjaga turun temurun karena mereka masih terus berpegang kepada hukum adat Tunggu Tubang seperti sekarang ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Semende merupakan daerah di Sumatera Selatan yang memiliki sistem matrilineal, atau garis keturunan ibu. Secara hukum adat Suku Semende, Tunggu Tubang adalah gelar untuk anak perempuan pertama di sebuah keluarga, yang nantinya akan menerima dan merawat harta wakaf keluarga berupa rumah dan sawah, tanpa boleh diperjual-belikan, setelah ia resmi menikah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Umaya, seorang ibu berusia 44 tahun, warga Desa Muara Tenang, Kecamatan Semende Darat Tengah, adalah satu contoh pemilik gelar Tunggu Tubang. Dia adalah generasi ke-13 yang mewarisi sawah keluarga dan kelak akan menurunkannya kepada anak perempuan tertuanya, Sangkut Mawati--Tunggu Tubang penggantinya nanti. 

Itu sebabnya pula, Umaya biasa setiap hari berjalan kaki sejauh tiga kilometer dari rumahnya dengan menjinjing tas berisi arit. Kadang, dia sembari menggendong si bungsu, Valdiasyah. "Sawah seluas tiga hektare ini sudah ada sejak aku belum lahir," kata Umaya kepada Tempo di sebuah rumah panggung penyimpanan padi yang disebut sebagai Tengkiang oleh masyarakat adat Semende, Rabu 12 Febuari 2025.

Tengkiang untuk menyimpan padi hasil panen sawah di Desa Muara Tenang, Kecamatan Semende Darat Tengah, Muara Enim, Sumatera Selatan, 12 Februari 2025. Tempo/Yuni Rahmawati

Beberapa ilmu juga turun ke Umaya dalam merawat sawah. Sejak dahulu nenek moyangnya atau yang biasa disebut Puyang telah mewariskan pengetahuan dalam menjaga lanskap sawah. Salah satunya menanam padi dengan periode satu kali dalam setahun. Alasannya agar tanah memiliki waktu untuk beristirahat setelah panen.

Waktu tanam disebutnya setiap Januari-Februari, lalu panen jatuh pada pertengahan tahun. "Biasanya, kalau bagus merawatnya, kami bisa panen hingga 2,5 ton, tapi kalau tidak, hanya 1,5 ton," kata Umaya sambil mengaduk cangkir kopi tanpa gula.

Tidak hanya itu, pemahaman mengenai kelestarian sumber air juga turut diturunkan dari generasi ke generasi, yaitu dengan menjaga sumber di tebat atau biasa disebut sebagai kolam. Tebat tidak boleh dirusak karena, fungsinya yang mengaliri persawahan. Selain juga berperan menjaga hutan, yang umumnya disebut Hutan Ulu Ayek oleh masyarakat adat Semende.

Umaya menuturkan, padi dari sawah tiga hektare yang sudah dipanennya akan disimpan di Tengkiang. Hasilnya, untuk memenuhi kebutuhan keluarga dalam satu rumah untuk setahun. Sisanya, kata Umaya, akan dibagi-bagi. 

"Sebagian untuk diberikan kepada sanak-keluarga saat ada upacara adat, sebagian disimpan atau dijual sebagai bekal pendidikan anak-anak," katanya.

Maka, dengan  berlangsungnya hukum adat Tunggu Tubang, Umaya menyatakan bahwa terjaga pula keberlanjutan pangan yang dihasilkan dari sawah turun-temurun keluarga. Data Badan Pusat Statistik atau BPS 2017 pernah mencatat Semende memiliki 4.167 hektare sawah yang dapat menghidupi tiga kecamatan: Semende Darat Tengah, Semende Darat Laut, dan Semende Darat Ulu.

Persawahan di Kecamatan Semende Darat Tengah, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, 12 Februari 2025. TEMPO/Yuni Rahmawati

Data itu diyakini bergeming hingga kini. Tokoh Masyarakat Adat Suku Semende di Desa Palak Tanah, Kecamatan Semende Darat Tengah Ahmad Karmansyah menegaskannya dengan menyatakan belum pernah ada literatur sejarah yang menyebutkan Semende mengalami krisis pangan oleh gagal panen, apalagi oleh menyusutnya persawahan. 

Sebab, dia meyakini, masih terjaganya hukum adat Tunggu Tubang. "Kenapa orang Semende mewariskan sawah, kemungkinan besar ya adalah untuk ketahanan pangan," kata Karman saat ditemui di rumahnya. 

Ditambah dengan adanya aturan di Tengkiang. Karman menjelaskan, dalam satu tahun, padi di Tengkiang tidak boleh habis hingga panen berikutnya. "Kalau nanti sudah mendekati panen berikutnya, tapi padi di Tengkiang masih ada, barulah padi boleh dijual. Padi ya, bukan sawahnya," katanya juga sambil menyeduh kopi.

Menurut Karman, gelar dan hukum adat Tunggu Tubang ada sejak Semende ada. Dan dianggap telah membawa Suku Semende bertahan hingga saat ini. Hukum adat itu juga menempatkan perempuan sebagai pemilik andil dalam menjaga dan merawat lingkungan.

"Karena tidak bisa dijualnya rumah dan sawah, maka bertahanlah Semende ini. Seandainya boleh dijual, mungkin Semende hanya tinggal nama," katanya. 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus