Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font color=#FF3300>Eksil</font> Membawa Tanah Air

Pameran Buku Frankfurt tahun ini memilih Cina sebagai negara tamu kehormatan. Sejumlah penulis eksil negara yang baru saja merayakan 60 tahun usianya itu diundang. Tapi, sejak awal, pemerintah Cina, yang membawa rombongan penulis sendiri, berusaha menghalang-halangi. Mengapa kehadiran mereka seperti ditakuti? Dan bagaimana mereka bisa survive di pengasingan? Tempo melaporkan dari Frankfurt.

23 November 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA puluh tahun lalu, Dai Qing adalah penentang gigih proyek dam raksasa Three Gorges di Sungai Yangtze. Selain menulis di media massa (dia wartawan investigasi), pada 1989, dengan menempuh risiko besar, dia menerbitkan Yangtze! Yangtze!, sebuah kumpulan esai, wawancara, dan petisi oleh kaum intelektual pengkritik rencana pembangunan dam yang jika terlaksana bakal menggenangi 800 desa, memaksa pemindahan 1,8 juta orang, dan menelan 100 ribu hektare lahan pertanian paling subur di Cina; belum lagi, di antara itu, kerusakan lingkungan besar-besaran pasti tak terelakkan.

Berkat Yangtze! Yangtze!, tekanan terhadap rencana pembangunan dam kian besar hingga pemerintah Cina akhirnya memutuskan menunda proyek itu. Tapi, pada Juni tahun yang sama, terjadi tragedi Tiananmen—ketika pemerintah Cina membasmi dengan tangan besi demonstrasi prodemokrasi oleh mahasiswa; tindakan yang menewaskan setidaknya 3.000 orang. Dengan alasan bahwa Yangtze! Yangtze! telah ”mendorong timbulnya kekacauan”, militer pun resmi membredel. Dai dilarang pula menerbitkan apa pun di Cina; dia juga dijebloskan ke penjara selama 10 bulan.

Tapi putri seorang martir revolusi, mantan teknisi rudal, dan pernah menjadi agen intelijen yang kini berusia 68 tahun itu tak pernah menyerah. Dan karena itulah, di mata pemerintah Cina, dia bukanlah penulis yang patut mendapat restu untuk hadir di Pameran Buku Frankfurt tahun ini, yang memilih Cina sebagai tamu kehormatan (guest of honor).

Berbagai cara dilakukan untuk menghalangi kepergian Dai, juga penulis-penulis disiden lainnya. Undangan dari PEN (Poets, Essayists, Novelists) Jerman, organisasi penulis independen, yang dikirim melalui General Administration of Press and Publication, tidak diteruskan kepada Dai. ”Saya mengetahuinya (ada undangan) lewat e-mail PEN,” kata Dai kepada Tempo. Ketika Dai bertanya, dijawab undangan belum sampai, lalu hilang di jalan. Pada hari Dai berangkat, tiketnya dinyatakan tidak berlaku; Dai saat itu juga membeli tiket baru dan terbang ke Jerman.

Insiden terjadi di ruang simposium bertemakan ”Cina dan Dunia—Persepsi dan Fakta”, salah satu kegiatan pemanasan menjelang pameran tahunan yang dijadwalkan berlangsung pada 14-18 Oktober. Ketika Dai dan Bei Ling, salah seorang penulis Cina dalam pengasingan, dipanggil untuk naik ke podium di salah satu ruang Instituto Cervantes, Frankfurt, itu, delegasi pemerintah Cina seketika berdiri lalu meninggalkan ruangan. Saat itu tiada satu kata pun diucapkan.

Penyelenggara menyayangkan hal itu. ”Sebenarnya tujuan utama kami menyelenggarakan simposium itu adalah membangun dialog antara pemerintah Cina dan mereka yang punya pendapat berbeda dari pemerintah,” ujar Christa Schuenke, Wakil Presiden PEN Jerman, ketika ditemui di stan PEN Jerman di arena Pameran Buku Frankfurt, 13 Oktober lalu. ”Sayangnya upaya kami gagal.”

Tujuan itu memang dalam realitasnya bagaikan mendaki tebing curam tanpa peralatan dan kemampuan apa pun. Insiden di ruang simposium sesungguhnya menunjukkan derajat ketegangan hubungan antara pemerintah Cina dan para penulis kritis yang karena itu dianggap membangkang. Di antara para penulis itu ada yang memilih meninggalkan Cina (eksil)—dari sekitar 100 orang, banyak di antaranya yang melakukannya segera setelah terjadi peristiwa berdarah di Lapangan Tiananmen. Mereka menghindari represi dan ancaman keamanan, serta menghirup udara kebebasan berekspresi. Bukan keputusan yang mudah.

l l l

Gu Cheng, barangkali, adalah contoh bagaimana hidup di pengasingan membubuhkan tekanan yang luar biasa pada keadaan kejiwaannya. Bersama istrinya, Xie Ye, penyair yang pada akhir 1970-an bergabung dengan gerakan puisi menglong (berkabut, samar-samar) yang dilancarkan melalui jurnal Jintian (Today) ini memutuskan tinggal di Selandia Baru pada 1987; dia mengajar di University of Auckland. Hidupnya tak pernah normal. Suatu hari pada 1994, dia mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri setelah berusaha dengan keji membunuh istrinya (sang istri meninggal kemudian di rumah sakit).

Menurut Oliver Kramer dalam wawancara dengan Road to Asia, tindakan Gu Cheng itu sebenarnya tak mengejutkan. Ada beberapa isyarat. Dalam sebuah wawancara, misalnya, dia berbicara tentang firasat mengenai kematiannya. Istrinya suatu kali juga mengatakan bahwa dia ingin mati bersama suaminya tapi tak mau bunuh diri. Tragedi mereka berdua terjadi tak lama sepulang mereka dari tur ke Eropa. ”Seorang mahasiswa yang melihat suami-istri itu sebelum pulang ke Selandia Baru mengatakan kepada saya betapa Gu Cheng sudah bertindak tak waras, dan bagaimana setiap langkahnya selalu harus dijaga oleh istrinya,” kata Kramer.

Tapi sebagian besar penulis tak sampai menempuh jalan yang dilalui Gu Cheng. Mereka bahkan terus berkarya. Yang Lian, misalnya. Dia penyair yang juga aktif menulis untuk Jintian. Lahir di Swiss pada 1955 (ayahnya seorang diplomat), Yang muda dikirim ke pedesaan Changping, dekat Beijing, untuk mengikuti program reedukasi oleh negara segera setelah orang tuanya pulang kampung. Seorang putra diplomat berpendidikan tinggi memang diwajibkan belajar dari petani. Metode ini berlaku di masa Mao Zedong pada akhir 1960-an hingga awal 1970-an. Selama di pedesaan, Yang mulai menulis puisi.

Sekembalinya ke Beijing, Yang bekerja di stasiun pemancar radio pemerintah. Pada 1979, dia bergabung dengan kelompok penyair yang menulis untuk Jintian. Gaya puisi pria yang kini berusia 54 tahun ini berubah menjadi modern, eksperimental, yang jamak dipraktekkan kelompok yang pada 1980-an dijuluki Misty Poets itu. Pada 1983, karyanya berjudul Norlang (nama suatu air terjun di Tibet) membuat geram penguasa Cina, yang waktu itu sedang melancarkan kampanye antipencemaran spiritual. Surat penangkapan dikeluarkan, tapi Yang lolos.

Karena ikut berdemonstrasi mengecam kebrutalan di Tiananmen, Yang pun kehilangan kewarganegaraan Cina, yang dicabut oleh penguasa di Beijing—di samping larangan beredar bagi karya-karyanya. Yang lalu meminta suaka di Selandia Baru, tempatnya bermukim sejak meninggalkan Cina. Kini Yang sudah lebih dari 15 tahun eksil, situasi yang dia sebut sebagai cara ”untuk memiliki ketidaksepakatan dari diri sendiri, dari mana dia berasal dan bahkan dari bahasa yang dipelajari, serta asal bahasa yang telah dipelajari”.

Yang kini tinggal di London, Inggris, tempat yang dia anggap sangat menarik secara simbolis, ”contoh bagaimana tempat yang konkret berubah menjadi tulisan saya”. ”Cina menjadi negara asing bagi saya, tapi saya menulis dalam bahasa ibu. Saya tidak mengakui badan politiknya (Cina), tapi saya mengakui bahasa dan tradisinya,” katanya.

Dalam kata-kata Ma Jian, yang meninggalkan Cina tak lama setelah Yang, ”bahasa adalah tanah air saya”. Bahasalah yang terpenting baginya. ”Jika saya membawa bahasa keliling dunia,” katanya, ”artinya saya membawa tanah air bersama saya.”

Ma, 56 tahun, menarik perhatian masyarakat berbahasa Inggris berkat kumpulan cerita pendeknya yang berjudul Stick Out Your Tongue, terjemahan ke dalam bahasa Inggris pada 2006. Cerita-cerita di dalamnya berlatar Tibet. Yang menonjol di dalamnya: kultur tradisional Tibet sama sekali jauh dari idealisasi, tapi digambarkan sebagai keras dan kerap tak manusiawi. Buku ini dilarang di Cina karena dianggap sebagai ”buku vulgar dan cabul yang menodai imaji tentang saudara-saudara Tibet kita”.

Pada 1986, setelah pemerintah memperketat kontrol terhadap suara-suara bebas, karya Ma termasuk yang dilarang beredar kala itu, Ma melarikan diri ke Hong Kong. Setelah pindah ke Jerman, dua tahun kemudian, pada 1999, dia pindah ke Inggris, lalu menetap di London bersama pasangan hidupnya sekaligus penerjemahnya, Flora Drew.

Hidup di pengasingan, bagi Ma, adalah cara untuk mencari jati diri; untuk menjaga dan mempertahankan kebebasan. ”Mungkin, jika Anda lihat,” katanya, ”sebagian besar karya sastra klasik, seperti Konfusius, Qu Yuan, Zhuang Zi, karya sastra mereka yang terbaik ketika mereka berada di pengasingan.” Karena itu, dia menambahkan, ”Jika Anda benar-benar ingin mendapatkan buah dari kesusastraan, jalan terbaik adalah pergi ke luar negeri, pergi ke pengasingan.”

Di pengasinganlah Ma merampungkan Beijing Coma, novel terbarunya yang diterbitkan tahun lalu. Roman 672 halaman ini, melalui Dai Wei, tokohnya, bercerita tentang tragedi Tiananmen pada 4 Juni 1989. Dai Wei adalah mahasiswa Universitas Beijing berusia 23 tahun yang sedang menyelesaikan penelitian doktoralnya di bidang biologi molekuler. Dia merupakan satu dari begitu banyak mahasiswa yang turut dalam aksi demonstrasi di Lapangan Tiananmen. Di antara detail kehidupan mahasiswa, juga atmosfer Beijing beberapa bulan menjelang hari berdarah itu, Ma melontarkan kritiknya mengenai apa yang dia sebut sebagai penghapusan sejarah.

”Partai melakukan segala cara untuk menghancurkan ingatan kolektif,” katanya. Menurut dia, banyak dari generasi muda yang saat ini berusia 20-an tidak akan pernah mengetahui peristiwa 1989. ”Termasuk juga putri saya.” Putri sulung Ma hingga kini hidup di Cina bersama ibunya.

l l l

Barangkali satu hal yang juga membuat semangat bertahan para penulis itu tetap menyala adalah tekad untuk terus menyebarluaskan situasi yang sesungguhnya di Cina. Misalnya tentang begitu banyak penulis yang kini mendekam dalam penjara. ”Secara linguistik, ini merupakan bagian terburuk dari yang terburuk dari Cina, yaitu sensor tegas terhadap pendapat dan pemikiran bebas.... Di titik ini, tidak disangkal lagi, kita harus berjuang demi pembebasan para penulis itu,” kata Yang Lian.

Karena itulah, ketika dipilih menjadi anggota Dewan PEN Internasional, Yang berusaha mendorong perubahan di lapisan lain di Cina dengan berfokus pada para penulis yang ditahan. Dia, misalnya, mempublikasikan daftar penulis yang berada di penjara ke segenap pelosok dunia.

Kaiser A. Ozhun lebih spesifik lagi. Undangan untuk hadir di Pameran Buku Frankfurt dia manfaatkan untuk memberikan informasi dan menjelaskan apa yang terjadi di Uighur. Di forum seperti ini dia bertemu dengan kawan baru, juga para simpatisan. Dia tahu bahwa hal itu tak bisa mengubah apa-apa dan bahwa sesudahnya apa yang telah dia sampaikan bakal dilupakan. Tapi dia mengaku bahwa kekuatan untuk mendobrak, untuk melawan, ”terus menggelembung setelah saya tinggal di luar negeri, sebagai disiden”.

Ozhun adalah Ketua PEN Uighur. Pria 40 tahun ini beralih kewarganegaraan dan menetap di Swedia sejak tujuh tahun lalu. ”Saya mesti rela berpisah dengan orang tua dan keluarga,” katanya.

Uighur adalah etnis yang hidup tersebar dari Uzbekistan hingga Turki. Pemerintah Cina memberi nama Xinjiang untuk wilayahnya yang dihuni etnis Uighur; orang setempat menamainya Turkestan, dengan ibu kota Urumqi. Menurut Ozhun, selama 60 tahun warga Uighur mengalami cuci otak. Kebebasan yang berlaku hanyalah yang sesuai dengan kebijakan Partai Komunis Cina. ”Literatur Uighur,” katanya, ”itu bukan literatur. Itu propaganda.” Propaganda itu lahir karena ”kami dipaksa berbahasa dan mengikuti ideologi Cina, padahal selama berabad-abad Uighur punya bahasa dan kultur sendiri”.

Ma Jian percaya perubahan dari keadaan seperti itu menuju Cina sebagai negara bebas suatu saat bakal terwujud. Menurut dia, tekanan sistem pemerintah diktator ”malah membangkitkan keberanian kami untuk melawan”. Tapi, bagaimanapun, harus diakui suatu saat itu adalah masa yang bisa tiba setelah periode yang lama. Apalagi jika mengingat kenyataan bahkan untuk berdialog di satu forum seperti yang berlangsung di Frankfurt saja tak ada pejabat Cina yang mau, dengan alasan tak mau digurui soal hukum dan demokrasi.

Ma Jian, Yang Lian, Bei Ling, Kaiser Ozhun, dan para penulis eksil lainnya masih harus menempuh jalan panjang nan sepi untuk mewujudkan harapan mereka—dan karena itu mereka belum akan berhenti membawa-bawa tanah air, bahasa mereka, di mana pun mereka berada.

PS, Luky Setyarini, Sri Pudyastuti Baumeister (Frankfurt)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus