SAMPAH ternyata tak selamanya menjadi musuh. Di Desa Marengmang,
Subang, Jawa Barat, sampah itu dicari dan ternyata bisa
memakmurkan rakyat. Desa yang dulu terkenal paling miskin,
berpenduduk sekitar 4.000 jiwa, sejak lima tahun lalu
mendatangkan tiga ton sampah sehari dari Subang. "Kalau
dihitung, sudah 4.000 truk sampah yang kami angkut ke mari
selama ini," kata Kepala Desa Marengmang, Ono Suhadna.
Berkat sampah dari rumah-rumah penduduk kota itu, Marengmang
sekarang menjadi hutan rambutan dan jambu batu. Padahal, lima
tahun lalu Marengmang digelari Si Ririwit, desa yang sering
sakit-sakitan, oleh Bupati Subang Sukanda Kartasasmita.
Pemberian gelar itu cukup beralasan. Tahun 1968 misalnya,
penduduk Marengmang diserang penyakit kelaparan alias HO.
Desa Marengmang, yang terletak di lereng bukit, menjadi tandus
akibat erosi. Dari 1.463 hektar areal desa, tak sampai 400
hektar yang bisa dijadikan sawah. Untung, pada suatu hari di
tahun 1978, Ono Suhadna memperhatikan betapa pohon rambutan dan
jambu tumbuh subur di dekat pembuangan sampah. Tanpa perlu minta
bantuan lembaga penehtian, kepala desa yang berpangkat sersan
mayor AURI itu sampai pada kesimpulan bahwa sampah bisa
menyuburkan tanah. Maka, penduduk Marengmang pun
diperintahkannya mengumpulkan sampah di rumah masing-masing dan
menggunakannya sebagai pupuk tanaman. Hasilnya tak mengecewakan.
Pohon rambutan di pekarangan rumah penduduk, yang dulu kerdil,
menjadi gemuk.
Tentu saja sampah di Desa Marengmang terlalu sedikit untuk
memupuk tanaman di pekarangan rumah dan kebun penduduk. Apalagi,
pada saat sampah diketahui begitu mujarab, tanah-tanah tandus
ramai-ramai ditanami rakyat dengan rambutan dan jambu batu.
Apa akal untuk mencari pupuk alam itu? Pamong desa bermusyawarah
dengan penduduk. Keputusannya: sampah harus dicari di tempat
lain. Sasaran utama ditetapkan Subang. Selain kota itu merupakan
kota terdekat, 15 km dari Marengmang, Subang punya masalah
dengan berserakannya sampah di sudut-sudut kota. Setelah
penduduk Marengmang pun menyerbu Subang, setiap hari tak kurang
dari enam ton sampah diangkut dari sana, kota itu pun menjadi
bersih.
Di Marengman, sampah itu disortir. Beling, kaleng, dan pastik
disisihkan. Kemudian sampah itu ditumpuk di kebun selama
setengah bulan - menunggu busuk. Setelah itu penduduk, dengan
bimbingan petugas penyuluh pertanian lapangan (PPL), merauki
pohon jambu atau rambutan mereka dengan sampah yang busuk tadi.
"Hasil panen meningkat 40% dibandingkan dengan pohon tanpa
sampah," kata Karna Sukarna, petani buah setempat.
Karna, 45 tahun, memberi pupuk berupa 10 kg sampah yang dicampur
setengah kilogram kapur tembok, untuk setiap batan rambutan
atau jambu batu. Ia memupuk dua kali: setiap musim bunga dan
lepas panen. Sepohon rambutan di kebunnya, setelah dipupuk
dengan sampah, menurut Karna, menghasilkan buah 4 kuintal.
Dengan kebun seluas 1,5 hektar, Karna Sukarna mengantungi Rp 1
juta setiap panen. Dalam setahun, panen rambutan dua kali dan
panen jambu batu tiga kali. "Tahun depan bersama istri saya
akan naik haji," kata Karna yang mendiami sebuah rumah tembok.
Kini Marengmang tak lagi merupakan desa miskin. Setiap musim
panen, sekitar sembilan ribu pohon rambutan dan tiga ribu pohon
jambu di sana menghasilkan 300 ton buah. Daerah pemasarannya
Bandung dan Cirebon. Belakangan ini sudah menembus pasar di
Semarang, Madiun, dan Surabaya. "Penghasilan penduduk di sini
sehari rata-rata Rp 750 per orang," ujar kepala desa Ono
Suhadna. Tak cuma penghasilan yang berubah. Juga desa.
Marengmang sekarang kelihatan lebih semarak. Di pinggir jalan
desa, sepanjang 6 km, berjejer pohon rambutan dan jambu. Dan di
tengah kerimbunan pohon ini terlihat rumah penduduk yang
kebanyakan sudah bertembok - sebelumnya terbuat dari gedek.
Kepemimpinan Ono Suhadna oleh kalangan pejabat pemerintahan di
Subang dinilai cukup baik. Lebih-lebih kegotong-royongan
masyarakat Marengmang dibuktikan lagi dengan membeli sebuah truk
Toyota seharga Rp 6 juta. Truk itu untuk mengangkut sampah
sehingga tidak perlu menyewa lagi.
UNTUK biaya operasinya, penduduk secara bersama-sama
mengeluarkan uang guna keperluan sopir, kenek, bensin, dan
ongkos menaikkan sampah. Perhitungannya, untuk setiap truk
sampah dikeluarkan ongkos Rp 5.000. Satu truk sampah mampu
memupuki sekitar 30 pohon rambutan dan jambu batu.
Yang menarik, meski Marengmang menjadi "tong sampah" untuk
Subang, desa itu sendiri kelihatan cukup bersih. Di jalanan dan
di halaman rumah penduduk tak ditemukan sampah berserakan. "Dan,
di sini kami tak ada yang kena penyakit kulit," ujar Ono
Suhadna.
Keberhasilan Marengmang tercium di desa sekitarnya. Mulai tahun
ini, desa tetangganya, seperti Wanakerta, Sawangan, dan Kosar,
ikut memanfaatkan sampah dari Subang untuk memupuk kebun mereka.
"Sekarang kami tak bingung lagi ke mana membuang sampah. Begitu
sampah menumpuk, langsung diangkut ke desa," ujar Ir. Sudjana
Wirakusuma, kepala Dinas PU Kabupaten Subang.
Kalau saja semua desa meniru, sampah tentu tak akan menumpuk
lagi di dalam kota. "Problem sampah perkotaan dengan sendirinya
teratasi," komentar Dr. Eddy, dari Lembaga Ekologi Universitas
Padjadjaran, Bandung.
Eddy benar. Bahkan kemakmuran seperti Desa Marengmang - tahun
ini dicalonkan pemerintah daerah Jawa Barat untuk lomba desa
tingkat nasional - dengan sendirinya ikut menular.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini