Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jazz, atau suara-suara bertabrakan

Grup jazz rangking ke-3 di amerika tampil di tim. ada kecenderungan grup ini mengabaikan segala rumusan musik, mereka mempunyai ciri tersendiri.(ms)

1 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAZZ tumbuh bagaikan sebuah gunung. Dalam dua dasawarsa terakhir jenis musik ini boleh dikatakan menampung segala jenis perkembangan musik. "Dan musik kami adalah ledakan gunung itu," kata Ronald Shannon Jackson, leader The Decoding Society, grup jazz dari Amerika. Benar. Dari sekitar 1/2 jam pertunjukan Jackson di Teater Terbuka Taman Ismail Marzuki, 19 dan 20 September lalu, bisa dicium bau irama jazz lama. Dari zaman ragtime yang manis, hingga masa jazz bebas yang santai. Tapi di sana sini juga tersebar bau musik rock yang keras, dan nada pentatonik yang mirip musik tradisional Cina. Bukan berarti The Decoding Society. Yang menduduki ranking ketiga terbaik tahun ini menurut majalah jazz Amerika Downbeat, tak punya ciri sendiri. Ketika grup ini membawakan Summertime yang populer itu, mula-mula terdengar petikan gitar listrik Vernon Reid, yang monoton, disusul pukulan drum Jackson. Paduan dua instrumen itu menjadi latar belakang lengkingan terompet Henry Scott yang mula-mula patuh pada melodi, tapi lantas menjadi sedikit liar, menjerit-jerit semaunya sendiri. Di tengah permainan, gitar listrik ikut-ikutan melenceng dari kelompok, berdentang-denting melontarkan nada, entah kegirangan entah kejengkelan. Jadinya, Summertime bukan lagi lagu yang mengelus telinga tentang kegembiraan musim panas. Terlontar dari kelima pemain The Decoding Society, yang empat di antaranya memeluk agama Buddha Nichiren Shoshu, lagu itu seperti terdengar mengejek. Ada kecenderungan grup ini mengabaikan segala rumusan musik. Misalnya, banyak ciptaan mereka sendiri yang dibawakan malam itu selesai begitu saja, ketika lagu tersebut terasa masih harus berlanjut. Dengar misalnya Zane's Fangs (Taring si Zane) yang menonjolkan permainan saksofon Zane Mossey, yang bergabung dengan grup ini tiga tahun yang lalu. Lenguhan saksofon sayup-sayup dilatarbelakangi pukulan drum, kemudian ditimpa petikan gilar. Begitu memukau, tiap-tiap pemusik begitu terampil. Saksofon diberi kesempatan tampil memimpin permainan, dengan lenguhan- lenguhan bak suara gajah. Kadang saksofon menghilang, dan suara drum yang rata memenuhi ruang yang disambut petikan bas gitar Bruce Johnson. Muncul saksofon lagi, melengking tinggi - seperti lagu ini mau habis Ternyata tidak. Lagi, muncul dentuman drum dan petikan bas gitar. Dan dengan nada merata, tiba-tiba Zane's Fan berhenti begitu saja. Mengagetkan, seperti menyadarkan bahwa akhir segala sesuatu bukan kita sendiri yang menentukan. Bagi yang mencari alunan jazz yang merdu dan santai, tak diberikan The Decoding Society. Pun, yang ingin mendengar jazz avant garde yang hanya menampilkan sekadar bunyi, tampaknya hal itu bukan lagi urusan grup ini. Yang jelas, grup yang berdiri empat tahun yang lalu ini terasa berpembawaan tegar. Musik yang dibawakannya lebih dekat dengan suara teriakan daripada alunan bunyi. Dan kira-kira itu masih termasuk yang disebut harmolodics, nama komposisi jazz yang diciptakan Ornette Coleman salah seorang tokoh jazz Amerika di pertengahan 1970-an. Ronald Jackson dulu memang termasuk dalam grup Coleman. Prinsip "aliran" ini, setiap instrumen dipersilakan bermain seenak sendiri. Yang ingin dicapai bukan sekadar disharmoni, lagu yang tak selaras. Tapi, disonansi, suara-suara yang saling bertabrakan. Apa boleh buat, misalkan, ada yang sakit telinga karenanya. Si Jackson sendiri kepada TEMPO mengakui banyak pencinta jazz yang sukar menerima harmolodics. "Tapi mungkin yang melihat pertunjukan kami dengan cermat," katanya, "lebih bisa memahami kami." Maksudnya, gerak fisik mereka bisa menjadi kunci apresiasi. Di panggung, kelima pemain memang sangat sering mengangguk-anggukkan dan menggeleng-gelengkan kepala. Mulut mereka pun sering komat-kamit dan mata mereka terpejam. Lalu apa yang dikomat-kamitkan itu? Ini dia: "Nam myoho renge kyo," salah satu judul ceramah Buddha Sakyamuni. Dan lucunya, mereka sendiri tak tahu artinya. Dengan mengucapkan kata-kata itu, "saya mengirimkan bunyi ke alam semesta," tambah Jackson. Musikus yang mengaku mencipta musik karena agama Budhanya ini percaya bahwa bunyi yang dikirimkannya itu akan memantul kembali ke dalam dirinya dan menjelma dalam permainan-permainannya. Wallahu alam bisawab . . . Yang jelas, dalam permainan penutut di malam kedua, grup ini menyuguhkan lagu baru yang belum diberi judul. Sebuah permainan yang amat gemuruh, drum sekaligus menjadi latar belakang dan primadona. Ketika keempat instrumen berhenti, Jackson seperti kesurupan menggarap drumnya. Ketika suara drum memuncak dengan repetisi pukulan drum yang monoton tapi sangat cepat, tiba-tiba musik berhenti. Sunyi. Dan tepuk tangan penonton yang memenuhi sepertiga Teater Terbuka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus