Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bandung - Wilayah Bandung mengukir rekor anyar. Tim peneliti dari Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB) mencatat penurunan tanah (land subsidence) di Bandung menjadi salah satu yang tercepat dan terluas di dunia. "Terjadi penurunan tanah yang sangat masif," kata ketua tim riset Irwan Gumilar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tim yang beranggotakan Heri Andreas dan Hasanuddin Z. Abidin itu mencatat penurunan tanah di beberapa titik di Bandung ada yang berkisar 5-10 sentimeter juga 15-20 sentimeter per tahun. Lokasinya tersebar di daerah Cekungan Bandung yang bertanah sedimen atau endapan. "Seperti Cimahi, Dayeuh Kolot, Gede Bage, Kopo, Banjaran, Majalaya, dan Rancaekek," ujarnya di Bandung, Sabtu, 1 Desember 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Riset itu sudah berjalan sejak 2000. Daerah Leuwigajah, misalnya, laju penurunan tanahnya per tahun 12 sentimeter. Dalam sepuluh tahun bisa ambles sedalam 1,2 meter. Sementara di daerah Gedebage penurunan tanahnya berkisar 8-10 sentimeter per tahun.
Menurut Irwan, penurunan tanah merupakan bencana laten. Julukannya silent hazard atau silent killer. "Kadang tidak disadari orang, baru setelah bertahun-tahun muncul dampaknya."
Tim menggunakan dua metode pengukuran, yaitu dengan citra satelit dan memasang alat Global Positioning System (GPS). Mereka juga banyak mengumpulkan bukti-bukti penurunan tanah di lokasi, seperti jalan pecah, bangunan miring, jembatan hancur, retakan dari lantai hingga tembok.
Temuan tim ITB terkonfirmasi juga oleh kolega peneliti dari luar negeri. Menurut Irwan, sudah tidak ada lagi perdebatan antar saintis apakah tanah di Bandung mengalami penurunan atau tidak. "Sudah disepakati ahli geodesi dan geologi dari kampus dalam dan luar negeri lewat paper (karya ilmiah), subsidence sudah terjadi," ujarnya.
Soal penyebab, kata Heri Andreas, ada lima faktor penurunan tanah. Secara alamiah tanah di suatu daerah bisa turun sendiri, kemudian bisa akibat tektonik.
Adapun yang terkait dengan faktor manusia, yaitu pembangunan infrastruktur atau timbunan, pengambilan air tanah, dan eksploitasi minyak serta gas. "Faktor dominan penurunan tanah yaitu eksploitasi air tanah," ujarnya.
Eksploitasi air tanah dalam lebih signifikan dampaknya bagi penurunan tanah dibandingkan penyedotan air tanah dangkal yang umum dilakukan warga. Selain menurunkan permukaan tanah, eksploitasi ikut menambah kedalaman air tanah dalam. Berdasarkan pemodelan buatan tim, penurunan tanah per 1 meter berdampak pada penurunan air tanah dalam atau minus 20 meter.
Di Bandung beberapa wilayah seperti Leuwigajah, Kopo, Pasir Koja, total ada yang 3-4 meter penurunan tanahnya. Artinya penurunan air tanah berkisar 60-80 meter. Dengan batas minus 45 meter minimalnya, kondisi air tanah dalam daerah tersebut sudah tergolong rusak.
"Land subsidence jadi indikator kerusakan air tanah yang berujung krisis air di Bandung. Pada 2050, air tanahnya akan habis dan terjadi subsidence," kata Heri.
Beberapa negara, seperti Bangkok, Singapura, juga Meksiko punya kisah sukses mengatasi masalah penurunan tanah. "Bangkok 80 persen berhenti karena tidak lagi mengambil air tanah," ujarnya. Kebutuhan airnya dipasok oleh pemerintah.
Ragam metode lain yang bisa diterapkan pemerintah, yaitu membuat kolam-kolam penampungan air, daur ulang air, memperbaiki kondisi sungai sehingga air permukaan bisa diolah agar layak dikonsumsi masyarakat. Sumber daya air, menurut Heri, sesuai aturan dikelola pemerintah untuk kebutuhan warga. "Indonesia berlimpah air tapi dibuang-buang," ujarnya.
ANWAR SISWADI