Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Akibat Air Buangan Madukismo

Perairan sekitar desa nyunengan, Yogya, tercemar air buangan pabrik gula & pabrik spritus Madukismo ikan-ikan pada mati, tapi air limbah itu ada juga berkatnya bagi tanaman padi, bisa menyuburkan. (ling)

19 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENAMBAH penghasilan dengan beternak ikan, agaknya tak mungkin bagi para petani di Desa Nyunengan, Bantul, Yogyakarta. Soalnya perairan sekitar desa itu tercemar air buangan Pabrik Gula dan Pabrik Spiritus Madukismo. Ngatijo, 30 tahun, seorang di antara petani desa itu, 2 tahun lalu mencoba beternak ikan Tombro, Tawes dan Nila. "Tapi begitu pabrik gula mulai giling dan air buangan masuk ke kolam saya, ikan mati semua," cerita Ngatijo. Kolamnya itu hanya 200 m dari mulut selokan pembuangan pabrik. "Bukan hanya milik saya, juga ikan di kolam petani lainnya. " Tapi air limbah itu ada juga berkatnya bagi Ngatijo dan teman sedesa itu. Ternyata tanaman padi, yang menggunakan air buangan itu, luar biasa suburnya, bahkan bisa panen tiga kali setahun. Dari 1.400 mÿFD sawah milik Ngatijo, sekali panen bisa menghasilkan 450 kg. Sedangkan sebelum menggunakan air dari pabrik, paling banyak hasilnya 300 kg. Hasil menyolok berkat air buangan pabrik gula itu diperoleh pada musim tanam 1979. Ketika itu kelompok tani "Randu Gumbolo", dari Desa Mrisi yang bertetangga juga dengan pabrik Madukismo--sempat jadi juara DIY dalam lomba Intensifikasi Khusus (Insus). Waktu itu, "Randu Gumbolo" menanam jenis padi IR-36, dan hasilnya mencapai 8,364 ton per hektar. Kenyataan itu agaknya mendorong Dra. Tjut Sugandawaty dari Fakultas Biologi UGM menilai, "pencemaran pengairan oleh Madukismo itu, sebagai pencemaran yang bermanfaat." Ia bersama Dra. Ny. Harminani S. Djalal Tanjung, juga dari Fakultas Biologi UGM, akhir 1980 meneliti pengaruh pencemaran air buangan Madukismo itu. Sasaran penelitian itu ialah ikan air tawar, seperti ikan Nila (Tilapia nilotica) dan ikan Tombro (Cyprinus carpio) di perairan yang tercemar limbah Madukismo itu. Hasil penelitian di laboratorium UGM menunjukkan ikan itu mengalami perubahan warna, menjadi lebih gelap atau sebaliknya, lebih pucat. "Perubahan warna ini suatu pertanda kematian ikan," ujar Harminani Tanjung menjelaskan. Selain itu ikan juga bisa mengalami pendarahan insang. "Karena zat beracun yang merusak kapiler darah di kanan kiri insang," kata Tjut Sugandawaty. Pada kulit terjadi disintegrasi otot dan daging, yang menyebabkan ikan jadi tidak enak. Di laboratorium UGM itu ikan Tombro dan Nila diteliti dalam air yang kondisinya dibuat serupa dengan perairan sekitar pabrik Madukismo. Kedua dosen di Fakultas Biologi UGM itu, memperkirakan kandungan air limbah pabrik berupa bahan organik, menyebabkan BOD (Biochemical Oxygen Demand) naik. Akibatnya--pada ikan yang diuji dalam kondisi laboratorium--terjadi hypoxia (kurangan oksigen) bahkan mungkin sekali anoxia (hypoxia yang sudah gawat). Jadi kematian ikan itu selain dapat disebabkan oleh efek racun berbagai zat yang terdapat dalam air buangan, juga dapat disebabkan oleh kondisi hypoxia atau anoxia. Bahkan juga oleh gabungan kedua efek itu. Luar Biasa Semua jenis hewan akuatik, hidupnya tergantung pada persediaan oksigen dalam perairan, dan ikan merupakan jenis hewan yang paling banyak membutuhkan oksigen. "Ikan tidak bisa hidup tanpa oksigen," kata Harminani Tanjung. Maka di selokan pembuangan air limbah pabrik Madukismo, sudah dapat dipastikan tidak ada ikan. Kenaikan BOD akibat limbah pabrik itu memang ditemukan pada anak sungai Winongo yang melintas daerah itu dan digunakan untuk irigasi. Meski begitu kedua peneliti dari UGM itu menandaskan perairan anak sungai itu tetap memenuhi syarat sebagai sumber air irigasi. Tapi tidak sebagai sumber air baku atau perikanan. Tapi bau air buangan itu amat menusuk hidung, terutama pada musim giling yang berlangsung 6 sampai 8 bulan. "Baunya luar biasa," kata Ngatijo, "kadang pusing." Tampaknya penduduk di sekitar sudah terbiasa, dan mereka tidak protes. Menurut Praptomo dari bagian instalasi PG Madukismo, air limbah pabrik gula sudah bisa diatasi. "Tapi sebagian kecil air buangan pabrik spiritus belum bisa dinetralisasi," ucap Praptomo. Menghilangkan bau itu dengan cara menampung kotoran dari pabrik dan kemudian dibuang ke tanah milik pabrik di Desa Kembaran! Secara keseluruhan, menurut Harminani Tanjung, faktor pencemaran utama di daerah itu ialah bau. Ini bisa dihilangkan dengan cara menambah oksigen pada kotoran pabrik itu kalau diaduk-aduk. Endapannya disimpan dan air bersihnya baru dibuang. Tapi "biaya untuk membeli mesinnya sangat mahal," ujar Praptomo keberatan. Mungkin petani sekitar sana keberatan juga. Soalnya yang bikin subur padi di sawah kan endapan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus