MEREKA melihat adanya dua "hantu" yang membayangi ekonomi
Indonesia dalam beberapa tahun mendatang, yaitu resesi dunia
yang belum diketahui kapan berakhirnya dan menurunnya penerimaan
dari minyak bumi.
Saran yang disodorkan Pusat Pengkajian masalah-masalah
Internasional dan Strategis (CSIS) dalam seminarnya akhir pekan
lalu lebih menekankan perlunya dipercepat dan diperluasnya laju
industri. "Menurut saya, pembangunan industri harus jalan terus
dan kalau perlu harus ditingkatkan lagi," kata Menteri
Perindustrian A.R. Soehoed dalam seminar yang mengambil tema
"Industrialisasi Dalam Rangka Pembangunan Nasional" itu.
Secara terperinci Menteri Soehoed mengungkapkan rencana
departemennya yang akan membangun 30 proyek kunci pada
pertengahan 1980, dan setidaknya sebelum 2 tahun sudah bisa
beroperasi sekitar 10 proyek. Ia tidak mau tahu dari mana sumber
dananya berasal "Kalau perlu, sekitar 50 persen cadangan devisa
digunakan," katanya. Dengan "modal" cadangan devisa sekitar US$
3,5 milyar itu, ia memperkirakan Indonesia dapat memancing
investasi sedikitnya US$ 10 milyar.
Soehoed percaya bila gagasannya ini terwujud, pada akhir Pelita
111 atau awal Pelita IV (1985/1986), pertumbuhan ekonomi
Indonesia akan terkatrol lagi. Menurut perkiraannya, penerimaan
dari minyak akan menurun, penerimaan gas alam naik, dan industri
dalam keadaan lebih kuat. "Mumpung kita mempunyai cadangan
devisa yang bisa dimanfaatkan," katanya. Dalam mengejar keadaan
ekonomi yang lebih baik itu, ia tampaknya kurang memperhatikan
faktor tenaga kerja. "Tenaga kerja nantinya toh akan tersedot
oleh perluasan industri," kata A.R. Soehoed.
Pengangguran Meningkat.
Namun masalah tenaga kerja yang agak "disisihkan" dalam seminar
CSIS di Hotel Kartika Chandra Jakarta itu, justru mendapat
perhatian khusus Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI).
Masalah pokok yang dibahas dalam sidang plenonya 10-12 Desember
lalu di Yogyakarta itu ialah "Kesempatan Kerja di Indonesia,
sebagai penjelmaan masalah utama yang dihadapi Indonesia
sekarang." "Presiden telah sependapat dengan hasil sidang pleno
ISEI, bahwa masalah kesempatan kerja perlu mendapat perhatian
khusus," kata Arifin M. Siregar, Ketua Umum ISEI selesai
melaporkan hasilnya kepada Presiden Soeharto di Bina Graha Senin
lalu.
ISEI berpendapat: untuk sementara pemerintah harus puas dengan
prestasi gemilang dalam mengatasi kekacauan moneter dan
pertumbuhan ekonomi yang nyaris nol pada awal Orde Baru itu Laju
inflasi dapat ditekan kurang dari 10% dalam 1981 dan pertumbuhan
ekonomi rata-rata 7% setahun selama Pelita III sekitar 6-7%
saja. "Dengan tercapainya stabilitas moneter dan pertumbuhan
ekonomi yang pesat itu, timbul perubahan dalam aspirasi dan
prioritas masyarakat," kata Arifin menyimpulkan hasil sidang
pleno. Keinginan yang lebih penting dan mendesak ialah meratakan
hasil pembangunan. "Dan kesempatan kerja merupakan salah satu
jalur untuk n-encapai tujuan pemerataan itu," tambahnya.
Pertumbuhan angkatan kerja selama 1971-1977, rata-rata 3,1%
setahun, kelihatan lebih cepat dibanding pertumbuhan lapangan
kerja yang cuma 2,7% itu. Kalau masalah ini tidak segera
diatasi, pada akhir Pelita IV nanti jumlah tenaga kerja
diperkirakan akan menggelembung menjadi 71,7 juta orang.
Artinya, selama Pelita IV saja akan muncul setidaknya 8,9 juta
tenaga kerja baru. Sedang lapangan kerja yang tersedia
diperkirakan hanya mampu menyerap 6,9 juu orang. "Ini berarti,
tingkat pengangguran terbuka akan jauh lebih tinggi dibanding
dasa warsa yang lampau," kata Ketua Umum ISEI itu kepada
wartawan.
Tidak Menggembirakan
Tapi ISEI dalam diskusinya di Yogya itu tidak menutup mata pada
keadaan ekonomi yang tidak bakal cerah seperti resesi dunia dan
akibatnya bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Keadaan ekomomi
yang tidak menggembirakan itu pasti akan mengakibatkan
membengkaknya pengangguran. Karena itu, strategi pembangunan
nasional harus dilandaskan pada asas pemerataan kesempatan kerja
dan berusaha yang produktif. "Perluasan kesempatan kerja
seyogyanya ditempatkan sebagai dasar utama strategi pembangunan
nasional," kata Arifin.
Beberapa saran yang disodorkan ISEI kepada pemerintah antara
lain perlu peningkatan kadar padat karya dalam proses
pembangunan dan produktivitas tenaga kerja. Toh para sarjana
ekonomi ini tidak menutup kemungkinan adanya usaha yang tidak
perlu padat karya seperti pengilangan minyak, pabrik gas alam
cair (LNG), industri baja Cilegon dan proyek industri padat
modal lainnya.
Cuma untuk proyek yang bisa dilaksanakan padat karya, pemerintah
harus mengupayakan agar makin banyak tenaga kerja yang
tertampung. Yang perlu mendapat perhatian khusus, agaknya sektor
pertanian yang melibatkan sekitar 63,6% dari seluruh tenaga
kerja dalam 1979. Untuk memecahkan masalah itu, menurut Arifin,
perlu ada perencanaan pendidikan tenaga kerja di luar sektor
pertanian. "Dus tidak hanya mengarahkan mereka untuk menjadi
petani semata," katanya.
Agaknya keprihatinan ISEI ini sejalan dengan yang dirasakan
peserta "Temu Karya Kesempatan Kerja, Kemiskinan dan Mobilitas
Penduduk Daerah Pedesaan" yang diselenggarakan Leknas/LIPI 7-9
Desember lalu di Sala. Pengangguran di desa semakin membengkak
karena pemilik tanah di bawah 0,5 hektar meningkat dari 46%
tahun 1973 menjadi 66%. pada 1980. Kesimpulan yang dicapai mirip
ISEI: persoalan pokok yang tetap menghantui dan perlu penanganan
lebih serius ialah pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja yang
lebih cepat dibanding kesempatan kerja yang tersedia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini