RATUSAN sarjana dan ahli enerji berkumpul dan berdiskusi selama
lima hari di New Delhi, India sejak hari Minggu kemarin. Yang
dibahas adalah satu sumber enerji matahari. Maklum, matahari tak
pernah absen memancarkan enerjinya ke luka bumi, sementara
minyak bumi bakal habis.
Konferensi intel-nasional itu penting, jika diingat yang
dibicarakan memeng sudah bukan teori lagi. Hanya sebulan
sebelum konferensi dibuka, sekelompok sarjana Amerika yang sudah
25 tahun meneliti sumber enerji itu dengan optimis mengemukakan:
Dalam 5 sampai 10 tahun mendatang, enerji matahari akan
digunakan secara luas di Asia." Juga di negeri-negeri Dunia
Ketiga lainnya, terutama Afrika. Yang mengatakan itu adalah Dr
Paul Rappoport, Direktur Institut Penyelidikan Tenaga Matahari
A.S. yang berkedudukan di Colorado, seperti disiarkan oleh
lembaga penelitian lingkungan Earthscan di London.
"Tenaga matahari" itu khususnya ditangkap dengan sel-sel silicon
(selanjutnya ditulis: silikon) murni. Bila disinari matahari,
sel itu dapat melepaskan tenaga listrik. Satu sel berukuran
4 cmÿFD dapat membangkitkan 0,38 volt. Dengan merangkaikan banyak
sel matahari, seperti yang sudah dicoba pula di Pusat Penerangan
Penetrapan Tenaga Matahari Universitas Gajah Mada tegangannya
dapat dinaikkan jadi 12 volt -- untuk mengisi aki. Timbunan
tenaga listrik dalam aki itu kemudian dapat digunakan di malam
hari. Daya listrik yang dapat diharapkan dari baterai atau
rangkaian sel matahari itu berkisar dari 1 sampai 1000 watt.
Hambatan Masih Ada
Pengembangan tenaga matahari melalui baterai listrik matahari
itu di AS sana didukung oleh Kongres. Khususnya melalui Biro
Penilaian Teknologi (Office of Technology Assessment). Menurut
penyelidikan badan Kongres itu, dua tahun lagi sel-sel matahari
akan dapat menyediakan tenaga listrik seharga kurang dari 2
dollar per kilowatjam. Dua atau tiga tahun kemudian, biaya
tenaga listrik-matahari akan turun lagi sampai kurang dari 1
dollar/kilowat jam. Ancar-ancar pemerintah Amerika untuk tahun
1986: biaya listrik-matahari seharga 50 sen dollar/kilowatjam.
Hambatan terbesar sampai saat ini adalah usaha mendapatkan
silikon murni. Meskipun zat kimia yang peka terhadap cahaya itu
kini tersebar di seluruh dunia di darat maupun di laut dalam
bentuk pasir kwarsa, toh ongkos produksinya masih cukup tinggi.
Harga satu ton silikon murni jadi 65 dollar AS. Atau sekitar Rp
27 ribu per ton. Namun mengingat proses produksi silikon ini
cukup padat karya, diharapkan pembuatannya di negeri-negeri
berkembang yang masih rendah gaji buruhnya akan menurunkan harga
silikon murni berikut sel matahari.
Itu sebabnya dewan penasehat Presiden Jimmy Carter untuk
Kwalitas Lingkungan mengusulkan agar pemerintah AS mengekspor
teknologi sel matahari itu ke negeri berkembang.
Tenaga matahari model lain yang juga dibahas di New Delhi adalah
tenaga panas matahari. Pengalaman praktis sekali lagi
menunjukkan bahwa penyinaran matahari pada lempeng logam yang
disatukan dengan tabung air berliku-liku seperti radiator mobil
dapat memamaskan air sampai titik didih atau uap sanpai 200ø C.
Kalau mau diubah lagi menjadi tenaga listrik akan dicapai tenaga
listrik dalam orde besaran kilowat .
Bisa di Desa Terpencil
Kedua jenis teknologi tenaga matahari ini tampaknya lebih cocok
dengan kebutuhan enerji di negeri-negeri berkembang. Instalasi
tenaga matahari mini seperti ini mudah didirikan di desa yang
paling terpencil sekalipun. Cara pengoperasiannya pun tak perlu
minyak pelumas atau penggantian onderdil berkali-kali seperti
pembangkit listrik yang bermotor. Paling-paling sel yang sudah
mati perlu diperbaharui. Luas tempat yang membutuhkan tak
banyak. Sebab satu meter persegi rangkaian sel matahari sudah
dapat menampuug 1 kilowat enerji matahari dalam cuaca terang.
Tapi tenaga matahari tak cuma berguna bagi penduduk miskin di
negeri miskin. Juga penduduk kaya di negeri kaya - yang saat ini
semakin tergantung pada bahan bakar fosil seperti minyak
batubara dan gas alam--memerlukannya. Anlory B. Lovins dalam
bukunya Soft Energi Paths: Toward a Durable Peace (Pelican
Books. 1977) mengusulkan arah baru dalam pembangkitan energi
yang disebutnya arah enerji lunak. Strategi itu lebih menjagokan
sumber energi yang lestari seperti matahari, angin, dan
tetumbuhan.
Lovins tak menyangkal, bahwa ada juga cara pembangkitan tenaga
matahari yang raksasa dan sangat tinggi teknologinya. Misalnya
menampung panas mata hari dengan cermin raksasa di padang pasir,
memanfaatkan selisih temperatur akibat penyinaran tenaga
matahari di samudera (lihat: "Tenaga Dalam" Sang Laut), atau
menyedot sinar matahart tongan satelit lalu dipancarkan lagi ke
cermin raksasa di bumi. Tapi cara-cara itu ditolak oleh Lovins,
yang juga menentang tenaga nuklir dengan alasan sama: "Skalanya
tak ekonomis bagi kebanyakan konsumen.
Apakah Indonesia juga akan menempuh jalan "energi lunak" itu?
Prof. Sumitro Djojohadikusumo dalam proyeksi tahun 2000-nya
yang sudah diperbaharui dan dilaporkan pada Presiden minggu
lalu, menyatakan bahwa energi matahari sudah waktunya mulai
digarap secara serius. Di samping batubara, gas alam, dan
panas bumi (goo-thermis). Namun kapan ancar-ancarnya, dan
berapa persen dari kebutuhan enerji total tahun 2000 tak tapat
disebutkan oleh sang peramal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini