PAMERAN tunggal Otto Djaya, di TIM, 9 - 14 Januari 1978, agaknya
hendak melukiskan kemeriahan pesta-pesta.
Komposisi Otto adalah komposisi dinamis, bergerak, meriah.
Warnanya yang jingga, merah, hijau, kuning, mendominasi suasana
keseluruhan karya. Tema lukisan memungkinkan penyuguhan
kemeriahan itu: Bali Operette, Pria Pemain Suling dan 7 Wanita,
Pcrtunjukan Wayalg Golek, Penghidupan Malanl, Pesta, dan
lain-lain. Semua itu dilukiskan secara biasa saja: orang menari
ya orang menari, kuda kepang ya kuda kepang, wanita ya wanita.
Ia melihat dunia seolah bagai panggung sandiwara. Coba lihat,
hampir semua laki-laki dalam lukisannya berbaju surjan dan
berblangkon, sementara wanitanya berkain meskipun pasarnya
herlampu neon (lukisan Pasar Batik). Di sana-sini ada humor -
berhasil mengundang senyum kita atau tidak, tidak soal. Dalam
Padukunan misalnya, dukun seolah sedang bersin, dan wanita yang
datang "berobat" tersenyum-senyum. Dalam Purbasari Ayu Wangi,
melukiskan Purba Sari lagi mandi di Pancuran, ada monyet (Lutung
Kasarung, tentunya) bergelantung pada bambu pancuran. Sekedar
contoh.
Bisa ditebak, dengan cara penyuguhan bagai ketoprak atau
Srimulat. dengan banyaknya mengambil tema dari mitologi atau
cerita rakyat, agaknya ia memang ingin bercerita. Dan cerita
itu, yang tentu sudah kita kenal bila ia merupakan mitologi atau
cerita rakyat, hanya bernilai semacam berita kalau ia mengambil
kenyataan kini. Warung di Jawa (dalam katalogus salah cetak
menjadi Warung di Bali hanya menceritakan warung yang bukan
menjual penganan atau barang lain tapi menawarkan pelayannya.
Biasa, bukan?
Kalau hanya biasa-biasa saja, lalu apa yang musti kita lihat
dari Otto Djaya (lahir di Rangkasbitung, Banten, 1916)?
Melihat ke belakang (karya Otto yang menjadi koleksi Direktorat
Kesenian sekarang tergantung di Balai Seni Rupa, Jakarta, yang
melukiskan dua orang pria-wanita duduk di pinggir tempat tidur),
agaknya kekuatan Otto ada pada pelukisan karikatural. Ia
melukiskan satu peristiwa atau cerita dengan lucu, menyindir,
simpatik. Itulah yang sekarang hanya nampak remang-remang.
Kanvas Otto kini meriah tanpa makna. Seolah hanya hendak
mengatakan: itu pesta, itu orang menari, tanpa sesuatu untuk
dinikmati selain apa yang dikatakan judul lukisan. Seperti
lukisan dinding yang banyak menghiasi rumah geduny di
kampung-kampung: jelas melukiskan apa, tapi hanya berhenti pada
bentuk - yang toh jauh dari menarik.
Banbang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini