Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Anies Baswedan Tolak Normalisasi Sungai, Ini Pesan Ahli ITB

Normalisasi sungai adalah pekerjaan paling gampang di antara upaya menanggulangi banjir Jakarta.

9 Januari 2020 | 16.37 WIB

Foto udara kondisi banjir di Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta, Rabu, 1 Januari 2020. Banjir disebabkan oleh hujan deras yang turun terus menerus sejak Selasa sore, 31 Desember 2019. TEMPO/Subekti
Perbesar
Foto udara kondisi banjir di Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta, Rabu, 1 Januari 2020. Banjir disebabkan oleh hujan deras yang turun terus menerus sejak Selasa sore, 31 Desember 2019. TEMPO/Subekti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Normalisasi sungai adalah pekerjaan paling gampang di antara upaya menanggulangi banjir Jakarta. Normalisasi sama-sama menambah lebar dan kedalaman sungai demi menampung lebih banyak debit air, tapi mengambil lahan sekitarnya tak sebanyak naturalisasi.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penjelasan ini disampaikan ahli perencanaan kota dan wilayah dari ITB, Jehansyah Siregar, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu 8 Januari 2020. "Normalisasi itu tidak menyentuh bagian permukiman yang banyak, konsep itu hanya menguatkan tebing sungai dengan betonisasi. Itu pekerjaan yang paling gampang," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Menurut Jehan, pembebasan lahan di program normalisasi sungai bisa saja hanya merelokasi satu baris rumah di pinggir sungai itu, masing-masing di kanan dan kiri. Dampaknya, permukiman yang tersisa masih mungkin dilanda banjir.

Dalam hal ini dia sepakat dengan Gubernur Jakarta Anies Baswedan yang sejak awal pemerintahannya enggan melanjutkan program normalisasi sungai. Pilihan Anies itu belakangan memicu kritik deras saat Jakarta kembali tak mampu mengelak dari banjir besar di awal tahun ini. 

“Dari sisi perumahan permukiman, cara itu (normalisasi) memang salah," katanya sambil menjelaskan wilayah dekat meander atau aliran sungai tak lain tempat tidur air. "Ketika meluap, itu delta-deltanya akan terendam," katanya lagi.

Susasana evakuasi warga RW 04, Kelurahan Cipinang Melayu, Kecamatan Makassar, Jakarta Timur, pada Rabu, 1 Desember 2019 oleh tim dari Basarnas. Tempo/Adam Prireza

Untuk penataan permukiman, lulusan Ph.D University of Tokyo itu menyatakan setuju dengan naturalisasi. Tapi cara ini bukan tanpa syarat. Dia menjelaskan, meski menggunakan unsur alami sebanyak mungkin dan beton hanya seperlunya, naturalisasi butuh mengembalikan penampang sungai baik palung maupun kedua sempadannya ke ukuran alami semula. 

Di Tokyo, Jehan memberikan contoh, pinggiran sungainya jika musim hujan akan tenggelam, sementara saat musim panas akan menjadi taman yang indah, bisa menjadi tempat rekreasi. “Jadi sempadannya besar, ini yang disebut dengan naturalisasi,” kata dia.

Pembebasan lahan sempadan sebagai syarat naturalisasi sungai, Jehan mengingatkan, juga telah dimandatkan dalam Undang-undang Sumber Daya Air. Dia menyebut lebar kanan kiri sungai harus dibebaskan sejauh 50 meter. Kalau di luar kota 200 meter. "UU juga mengatakan bahwa DAS itu harus menyediakan sempadan sungai dan palung sungai,” kata Jehan.

 

Zacharias Wuragil

Zacharias Wuragil

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus