Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Aparat Membabat, Acong Menyantap

Para maling berkongsi dengan aparat keamanan menjarah taman nasional.

30 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AWALNYA cuma deru mesin. Tiba-tiba dari rerimbunan hutan muncullah satu rombongan truk raksasa. Berduyun-duyun puluhan trailer itu menderu, mengangkut ratusan gelondong kayu segar. Mereka beringsut, merangkak, meliuk-liuk di sepanjang jalan tikus di tengah jantung Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), di perbatasan Aceh dan Sumatra Utara.

Bahwa taman nasional ramai-ramai digarong bukanlah berita baru. Tapi kini makin jelas saja, penggarongan itu dibeking aparat keamanan. "Saya punya bukti," kata Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Soeripto, Rabu lalu. Tanpa tedeng aling-aling, ia menyebut Yayasan Bukit Barisan (YBB) milik Kodam Bukit Barisan ikut menikmati kayu colongan itu. Soeripto mengajukan bukti berupa perjanjian antara YBB dan PT Tegas Nusantara untuk membuka lahan perkebunan sawit ilegal di dalam area TNGL.

Dilihat dari luar, kawasan yang terkenal dengan kekayaan jenis vegetasinya itu tampak hijau nan rimbun. Tapi, dari udara, paras TNGL penuh bopeng, bolong di sana-sini. Kerusakan ini memang bukan cuma karena kebun sawit. Puluhan penggergajian kayu yang menjamur di sekitarnya ikut mempercepat kebangkrutan kawasan kaya kayu itu. Dalam 30 tahun terakhir, 40 persen luas TNGL atau sekitar 200 ribu hektare habis dijarah pembabat hutan liar.

Upaya meredam penghancuran TNGL bukan tak pernah ada. Sudah lama para pemerhati lingkungan mendesak aparat untuk mengambil tindakan tegas, tapi tak pernah ada hasil. Barangkali karena tak sabar, sejumlah penggiat lingkungan di Sumatra Utara pekan lalu mengajukan gugatan ke pengadilan. Sepuluh pejabat, dari kepala desa, camat, bupati, kepala TNGL, sampai Menteri Kehutanan, dituntut karena dinilai lamban bertindak. "Cabut semua izin HPH dan kilang kayu di seputar Leuser," begitu tuntutan mereka. Tapi, selama gugatan berlangsung, pembabatan Leuser tak juga mereda.

Celakanya, cerita penghancuran taman nasional bukan cuma di Leuser. Di Kalimantan Timur, Taman Nasional Kutai dikapling ribuan orang. Hampir 50 ribu hektare atau sekitar seperempat wilayah Taman Nasional Kutai habis dijadikan kebun. "Para pengapling sudah memasuki zona inti," kata Adief Mulyadi, Direktur Bina Kelola Lingkungan Kutai.

Orang bilang pengaplingan massal ini terjadi gara-gara "janji surga" Pelaksana Tugas Bupati Kutai Timur, Awang Farouk. Mantan anggota DPR-RI yang berambisi menjadi bupati Kutai Timur ini berjanji akan melepaskan 15 ribu hektare TN Kutai jika terpilih kelak. Belum lagi pemilihan digelar, orang banyak sudah ramai-ramai menyerbu taman nasional yang terkenal dengan hutan mangrove-nya ini.

Tentu saja Awang menolak tuduhan orang bahwa ia menjadi penyebab kerusakan taman nasional. "Boleh saja orang menuding," katanya, "tapi lihat dong kelakuan 'acong-acong' di sana." Maksud Awang: para pemegang HPH. Di seputar Kutai, ada tiga HPH yang dimiliki Porodisa, Kiani Lestari, dan Surya Hutani. Ada indikasi yang menunjukkan para pengusaha ini menyisir hutan Kutai untuk mencari kayu ulin. Jejak pencurian itu tampak dari puluhan jalan tikus yang menyusup jauh ke dalam taman nasional.

Menurut Direktur Konservasi Kawasan di Departemen Kehutanan, Widodo S. Ramono, para pengusaha bisa saja menjarah tanpa harus kena getah. Caranya, mereka meminjam tangan masyarakat sekitar taman nasional untuk mencuri kayu. Modus seperti ini terjadi, misalnya, di Taman Nasional Tanjungputing, Kalimantan Tengah, dan Taman Nasional Lorentz di Papua. Penduduk lokal diupah Rp 10 ribu-Rp 15 ribu sehari dan dipinjami chain saw (gergaji mesin). Kayunya diangkut ke pabrik-pabrik milik para cukong. Dengan cara ini, "Pencuri aslinya praktis tak tersentuh, untouchable," katanya.

Menurut Widodo, penjarahan taman nasional makin marak lantaran kapasitas industri kayu sudah jauh melebihi kemampuan hutan untuk menyediakan bahan bakunya secara lestari. Akibatnya, pabrik yang lapar kayu itu melahap apa saja—termasuk kayu ilegal. Kebutuhan pabrik kayu ini, kata Widodo, seperti dijawab oleh lemahnya sanksi dan penerapan hukum. "Sejak reformasi," katanya, "semua milik pemerintah dianggap sebagai milik rakyat."

Tapi, itu bukan berarti Widodo menuding rakyat. Ia mengaku, selama ini pemerintah pusat tak pernah melibatkan "daerah" dalam penetapan sebuah kawasan menjadi taman nasional. Pemerintah pusat langsung memplot taman nasional begitu saja. Padahal, di negara-negara maju, penetapan ini diserahkan kepada masyarakat setelah mereka memperhitungkan untung-ruginya.

Karena itu, Widodo mengaku sulit mengatasi pembabatan hutan yang dilakukan para cukong dengan memakai orang-orang lokal. Soalnya, suku-suku yang tinggal di dalam taman nasional merasa punya hak atas kawasan konservasi itu. Lebih celaka lagi, pemerintah tak pernah meminta izin untuk mengubah peruntukan hutan mereka menjadi taman nasional. Akibatnya, warga suku-suku lokal ini merasa bebas menguras isi hutan, termasuk membabati kayunya untuk para cukong.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengingatkan penggerogotan oleh masyarakat yang dicukongi pengusaha seperti ini amat membahayakan nasib taman nasional. Menurut Walhi, pembabatan seperti ini merupakan siasat terencana dari pengusaha berdasi untuk mengubah peruntukan taman nasional. Sebuah kawasan ditetapkan sebagai taman nasional jika terdapat flora atau satwa khas yang hidup di dalamnya. Nah, kalau hewan atau pohon istimewa itu punah, buat apa dijadikan taman nasional?

Peringatan Walhi ini bukan tak pernah terjadi. Taman Nasional Kutai mengalami nasib seperti itu. Enam puluh lima tahun lalu, kawasan konservasi ini ditetapkan oleh pemerintah Belanda seluas 2 juta hektare. Tapi, setelah zona intinya bopeng-bopeng, luas Kutai terus menyusut. Sepuluh tahun lalu, luas taman nasional dengan vegetasi khusus mangrove ini tinggal 200 ribu hektare.

Dari yang tinggal seupil itu pun kini masih dipertanyakan statusnya. Soalnya, fungsi Taman Nasional Kutai sebagai kawasan konservasi perlindungan orang utan sudah tak lagi menonjol. Hasil survei 30 tahun lalu menunjukkan populasi orang utan masih tiga ekor tiap kilometer persegi. Tapi survei terakhir setahun lalu menunjukkan kepadatan hewan primata itu tinggal 0,8 ekor per kilometer persegi.

Seberapa parah kerusakan taman nasional ini secara total, tak pernah ada angka yang pasti. Departemen Kehutanan dan Perkebunan, yang mestinya bertanggung jawab soal ini, pun tak punya data. Yang ada cuma taksiran. Menurut Natural Resources Management Jakarta, sebuah lembaga penelitian yang memiliki perhatian terhadap sumber daya alam, kerusakannya sekitar 40 persen dari seluruh luas taman nasional.

Lalu, apa yang bisa dilakukan? Sejauh ini, harus diakui, tak ada resep-resep yang istimewa. Departemen Kehutanan dan Perkebunan hanya memakai jurus-jurus lama. Misalnya, bekerja sama dengan Bank Dunia untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat sekitar hutan.

Selain itu, pemerintah juga berusaha meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitar taman nasional. Caranya, dengan mengaktifkan pemanfaatan kawasan di seputar taman nasional. Di kawasan bumper itu, masyarakat diizinkan melakukan aktivitas produktif asal tak merusak habitat flora dan satwa taman nasional.

Itu saja? Mau apa lagi. Paling banter pemerintah ingin menambah jumlah polisi hutan dan perlengkapannya. Dari 39 taman nasional yang ada saat ini, hanya ada 7.000 polisi. Berapa jumlah idealnya, tak ada angka yang baku. Jika masyarakat setempat bisa dilibatkan dalam penjagaan, "Polisinya tak perlu banyak-banyak," kata Widodo.

Baguslah. Ngapain juga banyak-banyak kalau pada berkongsi dengan para maling?

Agung Rulianto, Karina Andari, Koresponden Daerah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus